02 || too soon?

6.4K 598 11
                                    

0 2

t o o    s o o n ?

sometimes, two people have to fall apart to realize how much they need to fall back together

✿ㅡ✿

soojung's apartment
new year's eve, 2018

AKU SEDANG MENCICIP bumbu pastaku saat kudengar derik pintu apartemen dibuka. Sontak, aku melesat menuju sumber suara dan menemukan figurnya di lorong. Ia menutup pelan pintu yang ada di belakangnya dan hampir terjatuh ke belakang saat aku melompat ke dalam pelukannya.

"Happy new year, baby." Bisiknya, lirih. Ia terkekeh melihat tingkahku. "Sorry I didn't get you anything."

Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya, disaat yang sama menyembunyikan wajahku disana saat kebahagiaan membanjiriku bagaikan salju di hari natal.

Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk melingkarkan kedua tangannya di pinggangku dan menarikku lebih erat, terlalu erat hingga aku tidak bisa merasakan tanah di bawah kakiku selama beberapa detik.

"Happy new year," suaraku teredam di sweter rajutnya. "It's okay, kurasa aku juga sudah tidak memiliki vas bunga lagi mengingat kau selalu membawa bunga setiap kau kemari."

"Mhm. Your hair smells good," bisiknya sambil menghirup puncak kepalaku dan membawaku kembali ke bumi, namun tak sesentipun mengendurkan pelukan kami.

Aku tertawa kecil sebelum kemudian menarik kepala ke belakang, berusaha melihat matanya dibawah cahaya temaram lampu. "Have you been drinking?"

Ia mengangkat tangan kirinya dan mendaratkannya di pipiku, seolah ia lupa bagaimana kulitku terasa di bawah sentuhannya. "Hanya satu gelas. Perayaan kecil-kecilan bersama para member."

"Dan kau menyetir kesini sendirian? Jongin, apa yang kita bicarakan tentang-"

"Drunk driving, I know, baby. Aku juga tidak akan menyetir sendiri jika aku tidak merasa sanggup, itu hanya satu gelas. Kau tahu aku adalah peminum yang kuat."

Aku mengerucutkan bibir, tidak tahan dengan bayangan akan apa yang bisa saja terjadi. "Aku tidak peduli. Berjanjilah padaku kau tidak akan melakukannya lagi."

Bisa kulihat matanya bergerak dengan ragu, alih-alih menjawab, ia mendaratkan bibirnya di bibirku, begitu ringan dan cepat hingga tahu-tahu bibirnya sudah hilang sebelum aku sempat membalas ciumannya. Aku merengut, kemudian berjinjit kearahnya, menuntut lebih. Ia memang tidak mendaratkan jenis ciuman yang kuinginkan, tapi kecupan bertubi-tubi yang ia berikan pada seluruh wajahku membuatku terharu. Ternyata ia juga merindukanku sebesar aku merindukannya.

"Jongin," aku merengek, ingin mengatakan bahwa kecupannya sudah cukup banyak dan aku mendambakan kecupan lain yang lebih dalam, tapi gerakannya yang tiba-tiba membuat tawaku pecah.

Bibirnya turun melalui rahangku dan terus ke leher, itu aneh bagaimana ia bisa membuatku tertawa dan gugup disaat yang bersamaan. Aku bahkan harus bergantungan pada lehernya, tidak mempercayai kakiku sendiri yang kini terasa seperti agar-agar.

"Hm?" Jawabnya setelah ia menghentikan serangannya dan mensejajarkan wajah kami.

Wajahnya yang berada terlalu dekat membuyarkan konsentrasiku saat itu juga. Rambutnya yang masih tertata rapi mengingat ia baru saja kembali dari acara musik terjatuh dengan lembut di tengkuk dan keningnya. Membuatku gatal untuk menyelipkan tanganku disana.

Rasanya seperti seabad dari semenjak aku merasakan bibirnya di bibirku. Dan itu menakutkanku apakah percikan yang dulu ada masih akan timbul jika kami melakukannya. Aku tahu ia juga merasakan hal yang sama saat ia tidak kunjung membuat gerakan setelah beberapa detik yang menyiksa.

Memberanikan diri, aku menangkup wajahnya dan menggambar lingkaran kecil menggunakan jempolku disana, seolah meyakinkannya bahwa itu akan baik-baik saja. Ia tersenyum, menangkap maksudku, kemudian mencondongkan wajahnya dan menangkap bibirku sekali lagi.

Hanya saja kali ini ia tidak langsung menarik diri, salah satu tangannya menarik rambutku sehingga kepalaku tertarik ke satu sisi, mendalamkan ciuman kami. Seolah masih belum cukup, ia kemudian menarik tubuhku sehingga kini punggungku bersentuhan dengan tembok, membuatnya lebih leluasa lagi untuk menempelkan tubuhnya pada tubuhku.

Meskipun tembok dan tubuhnya sudah menahanku di tempat, aku masih merasa harus melingkarkan kedua tanganku di lehernya karna aku hampir tidak bisa berdiri dengan tegak sekarang. Melihat tingkahku, Jongin terkekeh dan menarik tangannya ke wajahku, sementara tangannya yang lain meremas bagian luar pahaku seolah memintaku untuk melingkarkan kakiku di pinggangnya.

"Easy, baby, I'm not going anywhere." Bisiknya di sela-sela ciuman kami.

Maka dengan senang hati aku menurut, ikut terkekeh saat suara erangan rendah lolos dari dalam kerongkongannya.

Aku melarikan salah satu tanganku ke dadanya, dan meskipun masih ada kain yang menghalangi kami, bisa kurasakan betapa kencang jantungnya berdetak. Gagasan itu membuat wajahku memerah oleh rasa malu sekaligus lega. Malu jika mengingat bahwa aku yang menyebabkan itu padanya; lega karna akhirnya aku tahu ia masih merupakan bocah lelaki yang pernah kucintai dulu. Koreksi, aku tidak pernah berhenti mencintainya. Dan percikan itu masih ada.

Aku tahu karna bisa kurasakan jantungku juga berdegup sama kencangnya dengan miliknya. Dan nampaknya ia tidak memiliki niatan untuk melakukan apapun dengan itu, tidak jika ia melepaskan bibirku hanya untuk menempelkan ciuman-ciuman basah pada leherku.

Dan tak peduli seberapa besar aku menyukainya, aku tidak berniat untuk makan pasta gosong malam ini.

"Jongin," tuturku terbata-bata, tidak mampu menemukan kata lain untuk menarik perhatiannya.

Meninggalkan satu kecupan terakhir pada tulang selangkaku, ia akhirnya mendongak, mengunciku dengan tatapannya.

Aku menggigit bibir, jari jemariku terpaut dengan gugup di belakang lehernya. Entah bagaimana, aku baru sadar betapa tak berdayanya tubuhku dalam posisi seperti ini; terhimpit oleh tembok dan lekukan tubuhnya, satu kaki melingkar di pinggangnya, genggamannya pada pahaku, dan tatapannya diatasku.

"Hey, look at me, what is it?" ia menarik daguku dengan kedua jarinya saat aku menghindari tatapannya. "Apa kita bergerak terlalu cepat?"

Kemudian sesuatu seperti menghantam akal sehatnya dan ia tiba-tiba mundur selangkah, membuat kedua kaki dan tanganku terjatuh di kedua sisi tubuhku.

"Maafkan aku, kau seharusnya menghentikanku tadi," Meski begitu, ia tetap mengulurkan kedua tangannya ke wajahku. Namun jelas sekali bahwa ia sedang menahan diri karna mereka berhenti di udara, hanya berjarak satu senti dari wajahku. Ia bergerak seolah aku akan rusak dibawah sentuhannya. "Kau tahu aku tidak akan membuatmu melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan, kan?"

Meskipun reaksinya sangat masuk akal jika mengingat kami baru meluruskan hubungan kami beberapa hari yang lalu, namun tentu saja, ketidakpercayaan dirinya membuat tawaku pecah.

"Um, okay, may I ask why the hell are you laughing?" Kini giliran kedua tangannya yang terjatuh. "Jung-ah?"

Menghapus air mata yang keluar dari sudut mataku, aku berjinjit untuk mendaratkan kecupan pada bibir dan alisnya yang menyatu sebelum kemudian melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya.

"Komporku masih menyala, Jongin. Tidakkah kau lapar? Kau tidak mau makan makanan gosong, kan?"

Aku tahu ia mengerti maksudku saat kulihat ekspresi wajahnya melembut secara perlahan.

"Maksudmu kau mencampakkanku demi makanan?" Pura-pura tersinggung, ia membiarkan kedua tangannya tetap berada di kedua sisi tubuhnya, enggan membalas pelukanku.  "Tidak bisa dipercaya."

"Hey, berterima kasihlah padaku karna setidaknya aku tidak meledakkan seluruh gedung."

Tidak ingin itu benar-benar terjadi, aku memberikan kecupan terakhir di sudut bibirnya sebelum kemudian berjalan kearah dapur.

"C'mere, baby. I made pasta, our favorite."[]

24 hoursWhere stories live. Discover now