Mutan

21.8K 3.1K 504
                                    

"Kami? Mengapa kau tidak minta bantuan Letnan Jan saja dan anak buahnya?!"

"Sudah Kapt!! kami sudah berusaha mengambil sampel itu dari tubuhnya, tapi gagal!"
Dokter Astrid terdengar tak sabar.
"Beberapa bahkan mati karenanya."

Aku menelan ludah.
"Ma..ti?"

Kami berdiri dibelakang Dokter Astrid yang hanya diam didepan ruang kaca observasi yang gelap gulita itu.

"Ini ruang bedah khusus." Jelasnya dengan tetap membelakangi kami.
"Dikelilingi kaca tembus, agar calon dokter bisa mengobservasi teknik operasi bedah secara langsung dari depan sini."

Ia berbalik.
"Kalian siap?"
Tanyanya kemudian melangkah kedepan pintu masuk observasi yang berada di pojok ruangan.

Tanpa menunggu jawaban kami, Ia langsung men-tap layar sentuh yang menempel dipintu observasi.

Piip!

Grak!

Grak!

Grak!

Satu persatu lampu ruang bedah menyala.

Hal pertama yang kulihat ketika lampu menyala adalah makhluk mengerikan berpostur sangat tinggi melemparkan meja besi kearahku.

"APA ITU.. WAAAAKH!!"

Aku menutup wajah dan merunduk.

..

Sudah bersiap saja lemparan meja itu akan menghantami wajahku.

Namun tidak kunjung datang.

"My God!! Untung sekali-"
Teriak Prajurit Felix yang ternyata sama merunduk juga denganku.

Makhluk itu terus mengamuk.
Meja besi yang ia telah lempar untungnya dapat diredam oleh kaca oberservasi.

"Dia benci dengan cahaya." Dokter Astrid berjalan menghampiri kami.
"Maka dari itu ketika ia menyusup, ia memilih lantai dua khusus penelitian sel ini yang juga minim pencahayaan."

Tahu-tahu makhluk itu berhenti mengamuk. Namun wajahnya terlihat lebih marah dari yang sebelumnya.

Matanya yang merah menatap kami dengan intens.

Ia berjalan mendekati kami perlahan, tepat didepan kaca.

Kemudian berhenti.

Kami jadi saling bertatap-tatapan.

Aku mengerjap, mendongak keatas, memandangi makhluk itu yang tingginya hampir menyentuh langit-langit ruang bedah itu.

Oh Tuhan. akan jadi apa dunia ini kedepannya!

Dengan mata sedikit berkaca, aku melihat bagaimana pucatnya kulit mutan itu yang mendekati keabuan dan tebal seperti kulit badak. Serta tangannya panjang tak normal, melebihi dengkul kakinya.

"Kapt, berapa tinggimu?"
Aku menyeplos.

"Seratus sembilan tiga."
Jawabnya masih dengan tercengang.

Yang artinya makhluk itu tingginya lebih dari dua meter. Kapten Ryan paling tinggi diantara kami semua. Namun makhluk itu jauh lebih tinggi lagi.

Aku bahkan masih berharap itu adalah tipuan, memfokuskan mataku berusaha mencari resleting pada badan makhluk itu. Mungkin saja itu hanya kostum belaka.

Namun tidak.

Aku sedang fokus menatap jari jari yang panjangnya terlihat abnormal disertai cakar yang menempel diujung jarinya ketika makhluk itu tiba tiba bergetar.

RED CITY : ISOLATIONWhere stories live. Discover now