[18] Menjadi Orang Asing

24.1K 1.8K 359
                                    

Happy reading. Yey double update. Kalau dua kali sehari, bisa cepet tamat ye kan?








Kakiku melangkah pelan ke arah ruanganku di jurusan. Jadwal mengajar hari ini cukup banyak membuatku mampu melupakan dia yang telah pergi dan menjadi terlarang untuk dipikirkan. Ketika duduk di depan meja dengan dinding ruangan membatasi pandangan, dia menyelinap kembali ke ruang pikiranku.

Ketika hati dipaksa untuk melepaskan, ia meminta waktu lebih lama untuk angkat kaki. Perlahan aku belajar melupakannya. Otakku memaklumi jikalau hari ini aku belum berhasil mengenyahkan bayangannya dari kepala.

Aku tidak pernah main-main dalam pernikahan. Aku tak menganggap pernikahan sebagai ajang coba-coba. Ketika Lian menikahiku, aku meletakkan kepentingan pernikahan di atas keinginan pribadiku. Aku menghargainya sebagai suami. Aku berusaha menjadi seorang istri dan mencintai suamiku. Aku tahu Lian suatu hari akan melepaskanku. Dia akan kembali kepada cintanya dan aku akan terasingkan. Namun, selagi aku istrinya, surgaku ada padanya hingga apa pun demi kebahagiaannya akan kuupayakan. Termasuk menyerahkan suamiku kepada wanita lain.

Aku tidak menyesal. Keputusanku untuk berpisah darinya ialah jalan terbaik. Itu semua demi dia, untuk kebahagiaannya. Aku membuat dia hanya hidup bersama orang yang dia cintai agar senyumannya tetap terjaga. Agar hatinya nyaman tanpa memikirkan perasaanku yang bukan urusannya. Kini bagianku menyembuhkan luka hati.

Aku menangis saat kalimat talak itu menisiki telinga. Terlebih ada sebagian hatiku menginginkan dia tetap di sisi. Namun, dia tidak menginginkan itu. Permintaanku untuk pisah sebenarnya guna menyelamatkan hati dan perasaanku. Pun nanti ada suatu kebahagiaan karena telah memberikan kebebasan untuk lelaki yang kucintai.

Perpisahan ini membuatku sering terbangun di tengah malam dengan dada berguncang dan pipi basah. Keringat bahkan mengaliri pelipisku. Kusyukuri semua itu karena dengan begitu aku diberikan kesempatan untuk bertemu dengan Tuhanku. Aku bermunajat dan mengeluh kepada-Nya di sepertiga malam diiringi tangis. Sudah kupasrahkan hati ini kepada-Nya. Kuminta Ia menjaga keteguhan untuk melupakan dia meski ada lubang yang belum tertutup hingga aku merasakan sebuah kekosongan.

Jam weker kecil pemberian mahasiswaku tahun lalu yang kuletakkan di atas tumpukan dokumen telah menunjuk pukul empat sore. Waktunya aku pulang ke rumah mami. Ketika sedang memasukkan beberapa file ke dalam map untuk kubawa pulang, kudengar pintu ruangan ini diketuk seseorang dari luar. Kupersilakan siapa saja yang ingin menemeuiku. Lalu dia muncul dan duduk di seberang meja.

"Saya sudah menyelesaikannya, Bu," mulainya dengan menyerahkan satu file kertas A4 ke hadapanku. Aku langsung menerima dan membuka proposal penelitiannya lalu mengernyit ketika masih ada yang belum sesuai dengan masukanku minggu lalu.

"Kenapa yang bagian ini masih belum kamu ganti? Sulitkah mendapatkan buku sumber?"

Dia terbata, "Eh iya itu sudah cari kemana-mana tapi belum ketemu sumbernya Bu, jadi—"

"Kalau begitu besok kamu ikut saya, kita akan ambil bukunya di rumah saya. Pagi, ya."

"Tapi, Bu—"

"Kamu berniat memperbaiki atau tidak?" Aku mengancamnya karena terlalu banyak alasan.

Pulang ke rumah, mamiku bermuka masam. Kupeluk tubuh mami yang dibalut daster hijau daun dengan motif batik itu. "Mami kenapa? Kangen, ya, sama Siwi?"

Mami mengusap belakang kepalaku yang hari ini tertutup hijab gold. "Kamu sudah makan? Kenapa lama sekali? Ada apa-apa tadi di jalan?"

Ketelusupkan kepalaku di pundak mami. "Tadi ada mahasiswa yang bimbingan waktu Siwi siap-siap pulang. Dia mahasiswa yang Siwi ceritakan, adik narapidana yang bernama Gara itu."

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora