[27] Setelah Kamu Tidur

22.9K 1.7K 377
                                    

Siapkan cemilan yah, Kak Lian beraksi.
Konten melanglang buana, sedikit. 😎 Harap maklum, Siwi lagi nganu.


🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂
🍂


Lian menjauhiku lalu memperhatikan karyanya di kepalaku. "Sempurna," ucapnya bangga. Jeda. Dia masih terlihat jumawa dengan hasil kerjanya. "Kenapa aku bisa sehebat ini?" Dia pura-pura berpikir lalu menggeleng sementara aku menyipitkan mata. "Ini karena kamu yang sangat cantik."

Jantungku bagai segumpal mentega yang meleleh akibat dipanaskan di atas teflon dengan nyala api biru. Dia sering memuji akhir-akhir ini. Aku sangat lemah terhadap pujian. Terlebih pujian yang berasal dari bibirnya. Seseorang yang menggenggam hatiku. Seseorang yang kuharap akan membalas perasaanku.

"Terlalu berlebihan, Li. Kamu ingin imbalan atas jasamu atau atas pujianmu kepadaku?" tanyaku sembari menggigit bibir.

Lian berjasa memangkas rambutku, memotong sedikit. Dia bilang, tidak ingin ada orang lain yang melihat rambut hitam panjangku. Kujelaskan bahwa ada salon khusus dimana semua pekerjanya adalah wanita. Aku sering menggunakan jasa mereka. Tapi Lian memberikan alasan lain yang membuatku jengkel.

"Aku bisa memotong rambutmu. Kalau aku yang melakukannya, aku akan potong sesuai seleraku. Karena cantik atau jelek hasilnya, hanya aku yang menikmati. Bukan orang lain." Dia mengetuk dagu. "Tentu saja aku sebenarnya suka dengan rambut panjang, tapi karena kamu bersikeras ingin memotong, maka aku akan memotongnya. Sedikit." Begitulah yang dia jejalkan ke telingaku hingga menyerah dan dia memegang gunting.

"Semalam kamu tidur terlalu cepat, Istri." Lian tengah menyisir rambut baruku.

Aku mengangguk. Masih duduk di bangku depan cermin besar yang Lian bawa dari kamar. Kami memotong rambutku di dekat pintu masuk apartemen.

"Karena aku terlalu lelah kamu seret-seret di pesta itu."

"Aku tahu, justru karena itulah aku tidak mengganggumu."

Kami ibarat teman lama yang tidak diimpit masalah apa pun. Mengobrol santai hingga lupa bahwa cuilan perasaan ragu masih bersarang dalam dadaku. Aku sangsi Lian tidak tahu soal kehamilanku.

"Apakah aku harus mengucapkan terima kasih?" Hanya itu yang bisa kutanggapi darinya. Namun, dia terkekeh lantas menggeleng.

"Tidak. Kamu harus membalasnya dengan sesuatu." Dia cengar-cengir.

Aku mulai gelagapan ketika dia menatap bibirku. "Le-lepaskan pandanganmu. Kita belum memutuskan," untuk membuat bayi.

"Kamu yang membuat semua ini sulit." Dia mengeluh. "Coba kalau istriku jelek, tentu aku tidak akan merindukan yang satu ini."

"Aku ingin keramas. Banyak rambut di bajuku sampai ke leher. Rasanya tidak nyaman," ucapku lalu berdiri.

Dia menyentak tangan kiriku hingga hampir membuatku jatuh. Tak ada pilihan lain, aku terpaksa berpegangan kepada dadanya. Napasnya sedetak terlalu lambat sementara jantungnya terasa sedetak lebih cepat. Aku menggigil. Dia menyentuh bibir bawahku. Aku kebas, bingung harus melakukan apa. Potongan rambut yang menempel di leher menusuk perih seperti halnya sesuatu yang menyakitkan dalam tubuhku tapi menyenangkan ketika dia menyibak rambutku. Dia meniupkan udara ke leherku yang berantakan oleh potongan rambut.

Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang