Ter-unfaedah

17.6K 1.6K 181
                                    

Saya bingung, enakan pakai sudut pandang 1 apa 3 ya?

-
Gue pernah punya pacar.

Itu mungkin satu fakta yang membuat Joni tercengang siang ini.

"Serius lo? Ada yang mau emang?"

"Gue ganteng. Banyak lah yang mau." Gue menjawab pertanyaan tak masuk akal Joni.

"Ha? Apa? Nggak denger. Telinga gue dengung-dengung."

Gue menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Biasanya cara ini selalu ampuh untuk menghilangkan kekesalan gue kepada manusia lain. Tapi karena Joni ini berasal dari kalangan primata, trik ini sepertinya nggak berhasil. Mungkin lain kali gue harus browsing cara meredakan emosi terhadap anoa.

"Oh, pantesan goblok." Itu bukan suara gue. Gue dan Joni menoleh ke arah Diksa yang tiba-tiba sudah berdiri di depan meja gue dan Joni. Joni yang dikatai goblok oleh Diksa pun mengumpat. Diksa terkekeh, memutar kursi lalu duduk menghadap Joni. Mungkin besok gue bisa bekerja sama dengan Diksa untuk membully Joni.

"Beli dong tiket gue, Ya, La." Diksa memasang cengirannya yang jika gue perhatikan lumayan ganteng. Bukan, ganteng banget. Membuat siapun betah berlama-lama menatapnya. Gue yang cowok aja terpesona, apalagi cewek. Kulitnya sedikit kecoklatan, matanya sayu-tapi bukan sejenis sayu seperti orang berpenyakitan, hidungnya mancung dan ada kumis tipis di atas bibirnya. Dan jangan lupakan tahi lalat di dekat cuping hidung kanannya.

"Tiket apaan? Nonton fifty shades freed?"

Diksa tertawa lalu memukul kepala Joni dengan tiket-tiket di tangannya. Tadinya gue kira itu buku catatan hutang.

"Basket. Ramein gitu, jadi supporter biar dapetin supporter award. Temen sekelas lo yang lain udah pada beli."

"Gimana, Breh? Ikut nggak?" Ingatkan gue untuk memukul kepala Joni nanti, karena membuat gue berada di keadaan yang menjebak. Ikut nggak mau, menolak pun segan.

"Ikut aja sih. Kebanyakan mikir lo berdua. Solidaritas woi. Ini event gede! Kita udah lima tahun berturut-turut dapat supporter award. Masa tahun ini lepas gitu aja-" Gue dan Joni diam aja saat diceramahi tentang solidaritas dan kawan-kawannya.

"-alumni aja kom-tunggu, kalian dengerin gue ngomong nggak?" Diksa tersadar bahwa sedari tadi ucapannya hanya bagai angin lalu bagi gue dan Joni, mungkin karena melihat Joni menguap dengar lebarnya.

"Ck! Pokoknya lo berdua harus ikut. Titik." Diksa meletakkan dua tiket di meja gue. Gue dan Joni masih ragu mengambilnya.

"Lima belas ribu dong elah. Apa nggak malu sama titit?"

" Apa hubungannya njir." Gue dan Joni tergelak, lantas mengeluarkan sejumlah uang dari kantung masing-masing.

"Gitu kek dari tadi." Diksa mengantungi uang yang gue dan Joni berikan. "Btw, Atha juga main ntar. Lo berdua kan udah pada kenalan tu. Itung-itung kasih semangat. Pertandingannya dua hari lagi."

"Kalau gitu gue cabut dulu ya." Diksa bangkit lalu melenggang keluar kelas, nggak lupa buat tebar pesona kepada segerombolan cewek-cewek di pojok kelas yang sedari tadi menatapnya dengan penuh minat. Gue rasa Diksa tau itu, karena gue juga merasa kami bertiga diawasi sejak tadi. And well, it happened.

"Kantin yuk. Mumpung guru masih pada breafing."

Gue menatap Joni malas. "Bakwan?"

Joni nyengir seraya mengangkat sebelah alisnya mencoba untuk terlihat keren, namun gagal. "Apalagi?"

📖📖📖

Jantung gue nyaris bengkok saat bahu gue tiba-tiba ditepuk seseorang, membuat gue refleks menoleh.

Boys' Day OutWhere stories live. Discover now