ter-bingung

10.3K 1.3K 120
                                    

Tolong kalau ada yang ga nyambung sama part part sebelumnya atau segala macamnya bantu ingetin yah. Thank you

📖📖📖

Gue lelah kalau begini terus.

"Bang, udahan dong. Cape gue."

"Belum ah. Masa gitu doang cape." Bang Aksa bahkan nggak menoleh ke gue sedikitpun. Gue sakit hati.

"Heh trus lo mau nyuruh gue berapa lama ngipas-ngipas gini?! Pegel nih tangan." Gue nyolot, serius. Hal yang paling bikin Bang Aksa kesel, dinyolotin. Tapi sendirinya selalu aja bikin orang nyolot.

"Eh nyolot lo ya. Entar lo juga kebagian, ganteng!"

"Lagian, sok romantestis banget lo. Bucin!"

"Bilang aja iri. Jomblo!"

"Gue singel. Bukan jomblo."

"Sama aja. Sama-sama nggak punya pasangan."

Gue cemberut. Gue memang paling males kalau berdebat sama Bang Aksa. Karena si tua bangka itu nggak akan pernah rela kalau gue menang.

Lagian, kenapa juga gue mau aja disuruh menuntaskan kebucinannya, sedangkan nggak ada hubungan timbal balik yang berarti ke gue. Gue mendingan mendem di kamar, ngerusuh di grup kelas sambil menikmati hidup. Gue bego nggak sih?

"Ck. Bodo ah bang. Makan tu bucin." Gue melemparkan kertas karton yang gue gunakan sebagai kipas tadi ke Bang Aksa. Dia protes tak terima. Tapi untunglah kecepatan larinya nggak sebanding dengan gue yang memang di atas rata-rata menyamai Flash.

Gue melihat pantulan diri gue di cermin. Muka gue udah memerah karena duduk lumayan lama di dekat bara api. Gue termasuk jarang bercermin, karena nggak terima melihat kulit gue yang putih banget untuk ukuran cowok. Gue tersugesti sama ucapan teman-teman bermain gue waktu kecil.

Cowok sejati itu yang kulitnya coklat. *Sambil menatap gue dengan pandangan menyebalkan melebihi Joni*

Hilih. Mau-mau aja gue dibegoin sama bocah. Pasti mereka ngiri karena gue lebih ganteng dari mereka. Karena walaupun gue udah sama panas-panasannya bareng mereka, kulit gue tetap putih, walaupun agak gelap dari sebelumnya, tetap aja lebih putih dari cowok kebanyakan. Dan hal itu selalu membuat gue jadi bahan bullyan sekumpulan bocah yang iri dengan kulit putih gue.

Soal Bang Aksa, kasihan juga dia kerepotan sendirian. Harusnya gue sebagai adik yang baik harus membantunya dalam masalah apapun. Termasuk menuntaskan kebucinannya.

"Kenapa? Lo baru nyadar kalau hidup dan mati lo ada di tangan gue?"

Gue disambut dengan salakannya Bang Aksa ketika sampai di teras. Benar juga, Bang Aksa bisa saja membuang dan menelantarkan gue lalu bilang ke orang tua gue kalau gue sudah mati ditabrak kereta. Dengan itu orang tua gue nggak akan mengirimkan uang jajan gue lagi karena mengganggap anaknya sudah mati. Dan nggak berapa lama gue sungguhan mati karena kelaparan.

Tapi Bang Aksa nggak setega itu untuk berbuat demikian.

Gue mengambil kipas di tangan Bang Aksa secara paksa, padahal Bang Aksa dengan sukarela dan senang hati memberikannya ke gue. Tapi entahlah, hidup gue memang seribet itu.

"Yang bagian ini udah mateng." Bang Aksa membalikkan ayam bakarnya. Terlihat lezat dan menggiurkan.

"Nanti gue kebagian kan?" Air liur gue nyaris menetes.

"Setengah potong doang. Karna lo bantunya setengah-setengah."

"Buset. Pelit amat lo jadi manusia."

"Udah kipas aja buruan. Berisik banget lo jadi manusia."

Untung gue udah kebal.

"Lagian kenapa juga pacar lo tiba-tiba pengen ayam bakar buatan lo? Dan kenapa juga bakar-bakarnya harus di sini? Kenapa nggak di rumah pacar lo aja?"

Boys' Day OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang