Perempuan itu sibuk menyusun bukunya, lalu melepas kacamata yang hanya di pakai saat ia butuhkan. Seketika ia mengacak rambutnya dengan kasar, karena mengingat tugas biologinya yang belum selesai. Padahal tugas tersebut akan di kumpul besok.
Apanya yang menyenangkan saat SMA. Hanya tersiksa.
"Woi, Sa! Laki lo manggil tuh!" sahut seseorang dari ambang pintu. Perempuan itu hanya mendecak kesal, karena ia tau siapa orang yang di maksud Ganda. Dengan langkah malas, perempuan itu berjalan sedikit cepat. Saat tiba di depan kelas, perempuan itu langsung menarik tangan laki-laki yang menunggunya sedari tadi.
"Woi apaan sih!" kesal laki-laki itu sambil memandang tajam ke arah perempuan itu. Langkah kaki perempuan itu semakin cepat membuat laki-laki itu harus melangkah dengan tempo yang sama. Saat tiba di gudang sekolah, perempuan itu langsung menhempas tangan laki-laki itu.
"Gue udah bilang berapa kali kan, Van! Lo tuh batu banget sih!" kesal perempuan itu.
"Bilang apaan sih? Dari tadi loh aja pegang tangan gue," jawab laki-laki yang katanya bernama Revan itu.
"Gue gak mau jadi ampas dari gebetan, cewek, bahkan mantan lo yang segudang itu! Gue udah bilang, kalo di sekolah jauhin gue!" kesal perempuan itu, namun nadanya terdengar getir seakan ingin menangis. Revan hanya terdiam.
"Anggap kita tuh gak kenal satu sama lain, lo tuh ngerti gak sih?!" suara perempuan itu bercampur aduk, antara marah dan sedih. Setetes cairan bening jatuh dari pelupuk mata perempuan itu.
"Hiks... lo bebas, Van. Silahkan berhubungan dengan cewek manapun. Tapi sikap lo yang playboy akut, itu seakan benalu bagi gue. Lo tuh malah ngerugiin gue!" kedua tangan perempuan itu terangkat dan menutup wajahnya. Ia ingat sekali hari itu, hari dimana dirinya di kunci dalam gudang sekolah oleh segerombolan mantan Revan.
Revan langsung menarik perempuan itu dalam pelukannya, "Iya-iya, gue minta maaf, ya."
Perempuan itu hanya terdiam. Terdiam tanpa kata. Selama ia berteman dengan Revan, mereka tidak pernah sedekat ini. Perempuan itu menggigit bibirnya, lalu memejamkan mata.
"Maaf, aku melanggar kata janji itu saat kita terakhir kali berpisah. Seseorang hanya mencoba menghiburku, Dav, tidak lebih. Tangannya hanya sebentar memeluk tubuhku. Aku tidak tau sebentarnya berapa lama, karna aku lupa menghitung waktunya tadi," batin perempuan itu.
###
Sofi berjalan tanpa alas kaki sembari membawa kedua sepatunya yang lembab. Beberapa kali ia menggenggam erat sepatu itu sebagai pelampiasan emosinya. Ingin sekali ia marah mengingat kejadian tadi. Apakah pemerintah tidak bisa menangani sikap bulyying yang terjadi di setiap sekolah? Dan sekarang ia adalah korban buli. Langkah Sofi terhenti saat melihat loker bernomor 61 itu terbuka. Ia tau siapa pemilik loker itu.
Dengan cepat ia langsung membalikkan badannya dan ingin pergi mengubah rute jalan.
"Sofi!" sahut laki-laki itu, membuat Sofi menghentikan langkahnya dan mendecak kesal.
"Balik badan," perintah laki-laki itu. Sofi langsung membalikkan badannya dengan malas. Ia tersenyum kikuk melirik laki-laki yang ada di depannya.
"Sepatu lo kok di lepas? Terus itu kenapa?" tangan laki-laki itu menyentuh sepatu Sofi yang lembab. "Basah? Kok basah?"
"Ya... karna lo kepo..?" jawab Sofi dengan asal.
YOU ARE READING
FiloSofi
Teen Fiction#CERITA INI TIDAK DILANJUTKAN 🙏 Perempuan yang sedari tadi asyik menyeruput jus nya itu terdiam, saat sepasang mata di depannya terus menatapnya. "Kenapa?" tanya perempuan itu. "Tidak. Saya hanya hanya kesal pada pipet itu," jawab laki-laki itu sem...