Draw | verji

541 94 7
                                    

Siang itu matahari sedang memberi kehangatan bagi penduduk bumi. Musim dingin telah berlalu, dan taman sekitar sungai Han mulai terlihat hijau lagi, menandakan musim semi telah tiba.

Umji duduk menyendiri di salah satu bangku sebelah jalur sepeda. Sesekali matanya menyapu sekitar, dan sesekali melirik buku sketsa di pangkuannya. Tangannya menari-nari indah dengan sebuah pensil biru yang sering ia gunakan untuk menggambar sketsa kasar.

Umji ikut klub seni di sekolahnya. Ia termasuk anak yang sangat pandai menyampaikan perasaannya lewat gambaran yang sangat indah. Umji lebih suka sketsa acak-acakan daripada harus melukis di atas kanvas di dalam kelas. Alasannya adalah karena ia senang mengamati tempat ramai untuk mencari inspirasi. Dan hal ini dapat disebut rutinitasnya setiap akhir pekan. Setiap minggu siang, ketika orang-orang sedang piknik di taman samping sungai Han, Umji sering duduk sendiri dalam kehangatan kebersamaan yang ikut ia rasakan.

Angin sejuk musim semi membuat rambut Umji ikut menari, seakan angin lalu tersebut adalah alunan musik baginya. Tangannya masih sibuk menorehkan semua kehangatan di sekitarnya pada secarik kertas putih lewat sebuah sketsa berantakan. Umji tidak terusik dengan suara heboh berbagai orang. Ia terus fokus tanpa mempedulikan rambutnya yang sudah berantakan oleh angin.

Tanpa Umji sadari, seseorang duduk di sampingnya. Ok, itu terdengar janggal. Aku ralat, Umji sadar ada seseorang yang duduk di sebelahnya, tetapi Umji tidak terlalu peduli. Mungkin orang itu sedang berisitirahat setelah bersepeda atau apapun. Bukan urusan Umji.

Sementara lelaki tersebut sebenarnya datang karena Umji. Ia kenal Umji. Um, sebenarnya tidak juga, 'sih. Ia hanya sering mengamatinya dari jauh. Setiap minggu siang, ketika lelaki ini sering berkumpul untuk sekedar makan ayam bersama ketiga-belas temannya, mata cokelatnya selalu menangkap sosok Umji yang seringkali duduk menyendiri di bangku yang sama setiap minggu.

Lelaki ini penasaran dengan gadis yang ia tidak ketahui namanya ini. Ingin rasanya mendekat, tapi terlalu malu. Karena pasti teman-temannya akan menggoda dirinya karena menyukai seseorang yang bahkan dirinya tidak kenal.

Tetapi siang itu, ia bertekad untuk berkenalan. Maka dari itu, disinilah dirinya, duduk canggung di samping gadis yang selalu menarik perhatiannya. "Um, halo. Maaf kalau mengganggu, namaku Vernon." Ujar lelaki itu dengan senyum terbaiknya.

Tapi sayang, Umji tidak mengubris perkataan Vernon, sama sekali. Dirinya masih sibuk memberi shade ke sketsanya.

Vernon tidak putus asa, ia mencoba lagi walau mungkin tidak akan dihiraukan lagi.

"Permisi, bolehkan aku berkenalan?" Tanyanya lagi. Dan gadis di sampingnya lagi-lagi tidak membalas. Vernon menghela nafas, dari kenalan saja sudah tarik-ulur? Ternyata perempuan ini tidak seperti perempuan lain yang bahkan hanya dengan satu senyuman saja dapat jatuh cinta kepada Vernon.

"Permisi—"

Umji menoleh saat Vernon menepuk pundaknya pelan. Dengan mata terbelak, Umji hampir saja jatuh karena kaget dari kehadiran lelaki yang tidak ia kenal itu secara tiba-tiba. Untung saja Umji tidak jadi terjatuh karena dirinya malah terpaku di tempat. Ada bule ganteng di depan matanya, wow, mimpi apa dirinya semalam?

Vernon ikut membelakkan matanya karena melihat respons Umji, padahal dirinya hanya menepuk pelan pundak gadis tersebut. "Ma-maaf, apa aku mengagetkanmu?"

Umji masih membuka matanya lebar-lebar. Dalam satu hentakan, ia merobek sketsa yang tadi ia buat dan mencoretkan sesuatu di atasnya. Vernon tahu, biasanya orang tidak senang jika diperhatikan saat sedang menggambar, tetapi bukankah perempuan ini berlebihan? Padahal tidak perlu sampai merobek sketsanya yang sudah hampir jadi itu.

Tetapi tak lama kemudian, sebelum Vernon dapat berperisangka lebih buruk, Umji menyerahkan secarik kertas tersebut kepadanya. Vernon menerimanya dengan bingung, dan sadar bahwa ia salah menilai.

Sorry, were you talking to me? I am deaf. Sorry if i had ignored you.

Vernon menyesal telah berperisangka bahwa gadis dengan mata polos itu sedang tarik-ulur dengannya. Ia menggaruk tengkuknya canggung, kemudian mengisyaratkan untuk meminjam pensil Umji.

Setelah menulis beberapa kata di atas kertas tadi, Vernon memberikannya lagi kepada Umji dengan malu-malu. Di atasnya terdapat kalimat:

Ah, maaf, aku tidak tahu kau... Oh, tidak perlu menulis dengan bahasa Inggris, aku orang Korea, 'kok! Dan aku ingin berkenalan. Namaku Vernon, kau?

Umji terpaku, memandang wajah Vernon dimana terukir sebuah senyuman manis yang meluluhkan hatinya. Berbeda dengan senyum mengejek yang biasa Umji dapatkan dari teman-temannya. Senyum jijik setelah mengetahui bahwa gadis itu tuli dan bisu.

Namaku Umji. Senang berkenalan denganmu.

Dan untuk pertama kalinya, Vernon merasakan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya, setelah gadis yang sekarang ia ketahui namanya Umji itu mengukir sebuah senyuman sehangat sinar matahari yang menerangi sungai Han kala itu.

Siang itu adalah siang pertama Vernon benar-benar tidak berbicara banyak. Rasanya aneh, tetapi nyaman juga, karena ternyata jika terdiam Vernon dapat mendengar suara dedaunan yang saling bergesekan. Setelah itu terjadi 'percakapan' di atas kertas antara keduanya.

Kau suka menggambar? Sebenarnya aku sering melihatmu duduk disini setiap hari minggu.

Aku ikut klub seni di sekolahku dan terkadang mengikuti beberapa les menggambar. Aku ingin menjadi seorang illustrator.

Benarkah? Oh, aku senang membuat cerita! Jika aku berkesempatan menerbitkan novel, kau mau jadi illustrator untuk ceritaku?

Dengan senang hati!

Vernon tertawa, dan Umji hanya tersenyum bahagia. Tidak ia sangka ada seorang lelaki yang tiba-tiba mau mengajaknya berkenalan bahkan sampai menanyakan hal ini-itu tentangnya. Vernon kembali menulis pertanyaan lain.

Apa yang membuatmu suka menggambar?

Umji membaca tulian Vernon sekilas, hatinya berdebar lebih cepat setiap kali ada yang bertanya seperti itu. Dengan cekatan ia menuliskan jawabannya dan menyerahkan kertas itu kembali kepada Vernon.

Karena ini adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan perasaanku.

Rasanya angin yang menerpa tubuh Vernon membuat tubuhnya merinding. Oh bukan, pernyataan Umji-lah yang telah membuat bulu kuduknya berdiri. Benar juga, pikir Vernon. Mempunyai kelemahan fisik seperti ini membuatnya tidak dapat mengatakan apa perasaannya. Hanya ekspresi wajahnya yang dapat dilihatkan, tapi terkadang wajah dapat menyembunyikan perasaan sebenarnya. Vernon saja tidak tahu apa yang Umji sedang pikirkan di balik senyum manisnya itu.

Tangan Vernon kembali sibuk menuliskan sesuatu. Setelah selesai menulis sebuah kalimat, Vernon menunjuk rombongan temannya, mengisyaratkan untuk kembali bergabung bersama mereka. Umji menerima kertas dengan balasan Vernon dan melambaikan tangannya ketika lelaki blasteran itu melangkah pergi darinya.

Senyuman merekah di wajah Umji, dan kehangatan menjalar ke kedua pipinya.

Di kertas itu tertulis,

Um, mau tidak, menggambar masa depan bersamaku?

Diikuti nomor telepon Vernon di bawahnya.

-march eleventh

MAU VERNON AKU MAU

Cosmos | svt + gfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang