Tentang Gadis Berlesung Pipi

4.4K 130 6
                                    

Jika ada yang boleh kusesali di dunia ini, adalah ketika aku melabuhkan hati pada seorang lelaki tanpa ridho Illahi. Meski dibaliknya aku bersukur, dengan apa yang telah kulalui saat itu. Tanpa luka yang menganga, jiwa ini tidak pernah bisa belajar tentang sebuah keikhlasan meski dalam konteks ini 'keikhlasan' pada hal yang keliru.

Kisah klasik memang, hanya perasaan menggebu khas anak SMA pada lawan jenisnya. Lukanya pun sudah lama kukubur dalam. Terbukti jika pada masa sekarang, aku berhasil kembali jatuh hati, meski –menurutku—kali ini bisa mengontrol rasa yang menggelora.

Azmya Zaina Raesha, namaku. Abi memberikan nama penuh doa. Pemimpin cantik yang diberkahi Allah. Abi berharap, kelak putrinya bisa menjadi pemimpin para muslimah. Membimbing sesama agar semakin mencintai Rabbnya.

Aku mencintai Abi dan Ummi seperti cinta yang mereka selipkan pada setiap hembusan nafasnya. Kepada dua putri yang telah mereka jaga, aku yakin mereka memiliki cinta yang lebih besar daripada cinta yang kami suguhkan.

Ada yang bertanya soal usia? Oke, aku termasuk satu diantara banyak wanita yang takut dengan pertanyaan semacam itu. Ah iya, usiaku sudah menginjak dua puluh lima tahun nyaris dua puluh enam tahun. Dan tinggiku hanya 155 sentimeter, oke ini tidak penting. Karena bagaimanapun aku tetap bersyukur Allah telah memberi kesempatan untuk hidup di dunia.

Pertanyaan selanjutnya setelah usia, sudah pasti bin wajib. Sudah menikah atau belum? Seandainya mereka tahu, Aku lebih senang jika diberi pertanyaan 'kapan kamu mati'. Bukannnya aku sudah siap, hanya saja pertanyaan itu tentu lebih mengusik nurani, lalu bertanya pada  hati sudah mempersiapkan apa untuk bekal di akhirat nanti?

Oh iya, soal pernikahan, dengan senang hati menjawab, belum menikah. Jujur saja, aku sudah siap menjalani rumah tangga. Meski bukan berarti akhlaku sudah sempurna untuk bertemu dengan penuntunku menjuju surga. Bukan itu alasannya, tapi bagaimana aku menjelaskannya ya? Hatiku sudah terlanjur jatuh pada seorang ikhwan jaman masih kuliah dulu, atau tepatnya sudah hampir lima tahun. Semoga Allah mengampuniku karena telah membiarkan rasa ini tumbuh kepada salah satu hambaNya.

Dia adalah senior saat aku tergabung dalam forum Lembaga dakwah keislaman kampus, sejenis rohis atau unit kegiatan islam di tempat kuliah dulu. Dalam organisasi kami, pergaulan antara ikhwan dengan akhwat memang sangat dibatasi. Jadi sudah bisa dipastikan jika aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk dekat apalagi memandangnya, tapi aku bersyukur. Karena pada akhirnya nanti aku tidak pernah tahu apakah kami akan ditakdirkan untuk Bersama atau tidak. Bukankah urusan jodoh, kematian itu mutlak hanya Allah yang tahu? Kita sebagai manusia hanya bisa berikhtiar untuk keduanya, tapi dengan jalan yang sesuai syariat tentunya.

"Zaa kok melamun, itu TV nya kasihan masa disuruh nonton kamu?" Jadi ternyata aku sedang menonton televisi ya?

"Iiih Abiii..." Kupeluk Abi dengan sayang. Kata orang, anak perempuan itu cenderung lebih dekat dengan ayahnya. Kenapa ya? Mungkin naluri alami. Sejatinya seorang wanita memang merasa nyaman apabila ada lawan jenis yang menyayanginya. Tapi, bukan berati aku tak dekat dengan Ummi. Sekali lagi, aku sangat bersyukur karena Ummi dan Abi adalah dua orang yang tak sempurna namun mampu menjalankan peran sebagai orangtua dengan sempurna. Ummi mendidik sementara Abi melindungi.

"Udah duapuluh enam tahun masih aja manja kayak anak SMP." Itu Ummi, wanita hebat sekaligus bidadari surgaku.

"Ummi.. Azza Cuma pinjam Abi sebentar kok, masa iya Ummi cemburu sama anak sendiri. Lagian kan Ummi udah puas sama Abi terus sepanjang waktu. Pinjem Abi sebentar boleh kan Mi.."

"Aduh buat apa cemburu, Ummi tahu kok cintanya Abi ke Ummi nggak pernah luntur."

Dan drama pun terjadi. Abi melepas pelukanku kemudian menyusul Ummi yang tengah sibuk meracik bahan-bahan untuk membuat kue, dan memeluk Ummi dari belakang.

See? Aku tidak perlu repot-repot menonton drama korea untuk melihat adegan romantis. Karena di rumah sendiri saja sudah ada, live pula. Apalagi saat Kak Aish—Kakakku— dan suaminya Kak Hafiz berkunjung ke rumah. Lengkap sudah, drama serial di rumah ini. Padahal kelihatannya, Kak Hhafiz itu lelaki dingin dan kaku, tapi jika sudah di depan istrinya, dia akan bersaing dengan Abi untuk melakukan hal romantis pada pasangannya.

Sementara Azza? Aku cukup duduk di sofa ruang keluarga sambil menggendong si kecil, Risha. Biarkan orang dewasa berekspresi, begitu. Aku suka memandang  dua cekungan di pipi keponakanku saat tertawa. Karena dengan melihat tawanya aku merasa sedang melihat tawaku sendiri. 

#TBC

Alhamdulillah..

Aaa lesung pipi? terlalu mainstream yaa?

Antara Khitbah dan MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang