Menjemput Cinta

882 47 0
                                    

Waktu cepat berlalu. Melesat bagai busur panah yang tak mau kembali kepada si pemanah.

Rasanya baru kemarin Bima datang ke tempat ini, sekarang hampir dua bulan telah berlalu.

Setiap harinya, dari sebelum terbit fajar hingga menjelang tengah malam, pemuda itu tak pernah Lelah untuk belajar.

Selepas salat tahajud, ia akan melanjutkan membaca buku-buku tauhid dan akidah serta mencatat apapun untuk ditanyakan kepada Ustadz Fahri ataupun beberapa Ustadz lain yang mengajar di pesantren ini.

Pagi itu juga, ia akan menyimak para santri yang tilawah bersama di masjid. Meski belum sepenuhnya lancar, ia tetap berusaha.

Jujur, tiga minggu pertama begitu berat untuknya. Harus bangun jam tiga dan menahan kantuk sampai malam tiba.

Semua itu ia lakukan dengan mengharap ridhoNya.

Satu persatu yang ia pelajari dalam ilmu fiqih mulai ia terapkan. Dimulai dari tata cara wudhu yang benar, hingga tuntunan yang mengatur hidupnya sehari hari. Dia sadar, Islam begitu memperhatikan kehidupan dalam hal sekecil apapun.

***

"Apa kamu sudah yakin?"

Tentu dia sangat yakin. Bagaimanapun perasaan ini sudah ia pendam sekian lama. Masalahnya, ia merasa tak pantas untuknya. Dia begitu salihah, mengenal islam lebih dalam darinya. Sementara ia, benar-benar masih banyak yang perlu dipelajari.

"Kamu masih ragu?" Ustadz Fahri kembali bertanya.

"Saya tidak meragukan perasaan saya padanya Ustadz. Tapi.. saya merasa tidak pantas jika bersanding dengannya. Apa saya pantas menjadi imamnya? Saya takut tidak bisa menjadi imam yang terbaik untuknya.."

Ustadz Fahri tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan santrinya.

"Kamu pernah mendengar kalimat 'lelaki baik untuk perempuan baik' ataupun sebaliknya?"

Bima hanya mengangguk, karena masih belum bisa menebak apa maksud dari perkataan UStadz Fahri.

"Baik yang dimaksud kalimat itu, bukan baik menurut penilaian manusia. Karena sebaik baiknya penilaian adalah penilaian Allah. Jadi jangan pernah berkecil hati. jangan pernah Lelah untuk memperbaiki diri. Karena kita tidak pernah tau akhir dari hidup kita. Kamu pernah mendengar sebuah cerita tentang ahli ibadah yang pada akhirnya menjadi penyembah setan?"

Bima termenung. Cerita itu sudah pernah disampaikan oleh Ustadz Fahri beberapa minggu yang lalu saat kajian. Tentu dia masih ingat.

"Teruslah belajar karena IlmuNya begitu luas. Pun menjadi seorang suami atau orangtua, tidak ada sekolah khusus untuk keduanya. Ilmu itu terkadang bisa kau dapatkan dengan perlahan, dan proses yang panjang.."

Hening menyergap. Bima sibuk dengan pikirannya.

"Jadi bagaimana?"

"InsyaaAllah, saya siap mengkhitbahnya besok."

Keputusannya sudah final. Hasil apapun yang akan ia dapatkan, insyaaAllah Bima akan menerimanya dengan lapang dada. Kalau pun ternyata mereka tak berjodoh, ia yakin Allah telah menyiapkan jodoh terbaik untuknya.

***

Di sinilah aku sekarang..

Di depan sebuah rumah yang tidak terlalu mewah tapi sepertinya begitu nyaman.

Di sampingku ada Ayah dan Ustadz Fahri. Dua orang yang amat berarti itu akan menjadi saksi perjuanganku menjemput cinta.

Belum sempat mengucap salam, pintu rumah terbuka. Menampakan sosok perempuan yang mirip sekali dengan Azza. Hanya saja ia lebih tinggi. Perempuan yang kuyakini sebagai saudara perempuan Azza terkejut melihat kami. Sementara anak kecil dalam gendongannya tersenyum kepada.. Ustadz Fahri? Ah iya, mereka sekeluarga kan salah satu jamaah kajian di pesantren.

Antara Khitbah dan MenikahWhere stories live. Discover now