Merangkai Harapan

1.2K 61 0
                                    


Dua bulan berlalu sejak perkataan Luna malam itu. Sepertinya, lelaki bernama Bima tidak serius dengan ucapannya. Hingga hari ini dia tidak juga datang. Bukan aku mengharapkannya, tapi mau tidak mau lelaki itu sering mencuri perhatianku. Terkadang aku berpikir, jika kelak dia datang jawaban apa yang akan aku berikan?

"Assalamu'alaikum..." Suara salam terdengar dari balik pintu. Saat ini aku sedang di rumah sendirian. Abi menemani Umi check up.

"Wa'alaikumussalam..." Kalau dari suaranya, aku kenal betul.

"Kak!" sedikit berlari aku mneghambur ke pelukan Kakakku.

"Kamu apakabar Dek?"

"Alhamdulillah baik Kak. Risha mana?"

"Masih di mobil sama Mas Hafiz. Bantuin Kakak siapin kamar ya?"

Kami berdua berjalan menuju kamar yang biasa dipakai Kak Aish jika menginap.

"Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini Kak? Kan bisa Azza siapin dulu kamarnya. Ini udah lama nggak dipakai jadi lumayan kotor."

"Nggak apa-apa Dek. Tadinya mau ngasih kejutan buat kalian, eh ternyata Abi dan Umi ngga di rumah.."

Beberapa saat kemudian kamar sudah tertata rapi. Kami kembali ke depan untuk menjemput Risha yang ternyata masih tertidur.

"Kakak mau menginap beberapa hari. Mas Hafiz ada tugas luar kota."

"Serius? Akhirnya setelah sekian lama..." Rasanya bahagia sekali. Sudah beberapa minggu Kak Aish tidak ke rumah. Aku sangat merindukan mereka.

"Kak Hafiz nggak mampir dulu?" Setelah membaringkan Risha di Kasur, Kakak iparku itu segera bergegas.

"Nggak dulu Dek. Soalnya sebentar lagi harus ke bandara. Titip salam buat Abi dan Umi ya.."

"Oh gitu. Oke Kak."

Suami istri itu meninggalkanku dan Risha di kamar. Sudah bisa ditebak kan mereka mau ngapain? Aku masih belum kebal untuk menyaksikan kemesraan mereka. Apalagi Kak Hafiz mau pamit ke luar kota untuk beberapa hari. Pastilah harus ada sesi perpisahan di depan pintu rumah. Walaupun hanya mencium kening dan saling berpandangan, tapi itu bisa membuat manusia jomblo macam aku keki. Hmm.. bukan iri loh.

"Dek.."

"Udah acara perpisahannya?" Pertanyaan retoris sebenarnya. aku sendiri barusan mendengar mobil Kak Hafiz meninggalkan pekarangan rumah.

"Ih kamu ini. Namanya juga suami mau pergi, ya harus begitu dong.. Makanya cepat nikah biar ada yang kamu antar ke depan rumah tiap pagi.."

Aku mnghadiahi Kak Aish dengan lemparan bantal sofa. Selalu saja dengan ucapan yang sama.

"Eh Dek mumpung Risha masih tidur, ayo kita ngobrol. Udah lama loh kita ngga certia cerita." Benar memang. Aku sendiri sudah lupa kapan terakhir kali bisa bersantai bersama Kak Aish. Rasanya sudah lama sekali.

"Oke, Kakak tunggu di ruang TV yah, aku mau ambil kue dulu. Kemarin aku dan Umi bikin kue."

Akhir akhir ini, dapur menjadi sahabat baikku. Aku sempat berpikir untuk kembali bekerja kantoran, tapi Abi memintaku untuk tetap di rumah. Jadilah beberapa bulan ini aku menjadi pengusaha dadakan. Mulai dari berjualan kue sampai jual jilbab dan ghamis secara online. Selain mendapat uang, aku masih bisa terus mendampingi Umi.

Saat aku kembali, Kak Aish sedang asyik membuka-buka album foto kami. Sesekali ia tersenyum geli. Mungkin mengingat masa masa saat kami masih menggemaskan dulu.

"Kak, coba deh kuenya. Ini baru dua hari dijual. Omsetnya lumayan. Cuma menurutku kurang banyak varian aja." Kusodorkan sepiring kue kering yang menjadi barang jualanku.

Antara Khitbah dan MenikahOnde histórias criam vida. Descubra agora