Delapan : Marahan?

4.7K 647 236
                                    

"Apaan tadi?" Sasuke bertanya kesal. Menatap gadis di depannya dengan wajah masam.

Naruto mengernyit. "Tadi yang mana?"

"Jangan pura- pura bodoh. Bilang donk kalau kau sudah punya calon suami."

"Harus ya?"

'Lagi pula cuma calon. Jadi juga belum,' lanjutnya membatin.

Sasuke mendengus. Melempar lirikan tajam untuk si pirang yang menampilkan ekspresi serupa.

Ia memang langsung menyeret Naruto pergi ketika pemuda Shimura itu bahkan belum sempat melontarkan kalimat balasan untuknya.

Kepalang kesal.

Sasuke tidak lagi peduli pada tatapan orang- orang yang dilayangkan padanya dan Naruto. Tidak juga peduli barangkali saja akan ada beberapa guru memergoki dirinya yang tengah menyeret paksa si pirang hingga ke tempat ini.


"Kok jawabnya begitu?" sahut pemuda itu dengan alis bertaut. "Sudah tidak sayang padaku?" tambahnya.

Kernyitan samar kembali menjadi balasan.

"Memang kapan aku pernah bilang aku sayang padamu?" Naruto mencibir. Tiba- tiba merasa dongkol bukan kepalang.

"Barusan?"

Si pirang mendecih. Kesal bukan main dengan kelakuan Sasuke yang seenaknya sendiri. Mengusap pergelangan tangannya yang sakit karena rematan kuat jemari si Uchiha muda kala menariknya pergi dari taman sekolah.

Ini sih tindak kekerasan namanya.

Sasuke itu sukanya main kasar, ya?

"Tidak tahu malu," makinya. "Pacarmu banyak kenapa aku tidak boleh? Kita menikah juga belum. Jadi suami juga belum. Salah ya?"

Sasuke sukses terdiam.

"Jadi kau ingin punya pacar?" tanyanya kemudian.

"Malas," balas Naruto jemu. Memalingkan wajah kesal. Melirik koridor sekolah yang lumayan sepi karena jarang ada siswa yang mendekati area gudang dan ruang penyimpanan buku perpustakaan lama ini.

Bilangnya angker. Tapi Naruto merasa lebih angker lagi kalau hanya berdua begini dengan si Teme. Bagaimana kalau Sasuke melakukan penganiayaan? Balas dendam terselubung barangkali? Jelas saat ini jiwa raganya tengah terancam bahaya.

"Jadi ceritanya kau sedang kesal karena aku punya banyak pacar di sana sini?" Sasuke bertanya. Paham jika situasi sedang tidak mendukung dirinya untuk bermain- main sekarang.

"Hoo, sadar diri rupanya," Naruto mendesis malas. Menepis kasar kala Sasuke mengulurkan tangan untuk meraih dagunya dalam cubitan gemas.

Si Uchiha diam. Geram tangannya ditepis begitu saja. Tapi, biasanya tidak semenyebalkan ini, kan?

"Ceritanya kau mau balas dendam padaku? Begitu?"

Naruto enggan membalas.

Masih berusaha menepis jemari kokoh Sasuke yang kini berniat mengusap puncak kepalanya.

"Jangan sentuh. Tanganmu kotor-"

"Kotor begini juga tangan calon suamimu nanti."

"Siapa sudi. Sudah pegang- pegang berapa cewek hari ini?"

Duh, mulutnya kasar

"Kok begitu? Kemarin- kemarin kau tidak begini."

"Iya, kemarin. Ini kan sudah sekarang lalu akan jadi besok dan seterusnya. Memang siapa yang betah lama- lama jadi mainanmu begini?"

Sasuke mengerutkan kening dalam. Jelas tidak suka dengan kata 'mainan' yang disematkan Naruto untuk dirinya sendiri. Naruto itu bukan mainan.

Benarkan?

Iya, kan?

Coba jawab iya.

"Kalau kau begitu terus aku tidak sudi menjadi istrimu nanti-"

BRAK

Tong sampah ditendang ke semak.
Sasuke menggeram pelan. Jelas ia tersulut amarah karena ucapan Naruto yang terbilang kasar meski itu benar. Lantas pemuda itu berlalu pergi tanpa ucapan apapun.

Si pirang diam mematung. Melirik tong sampah malang di area taman tak terawat di belakang gudang. Pandangannya bergulir pada punggung tegap yang melangkah semakin jauh meninggalkannya.

Hatinya sakit. Namun ditepisnya secepat mungkin.



"Siapa yang salah, siapa yang marah?" gumamnya.

Kemudian terpekur. Menyadari betapa kekanakan tingkahnya hari ini. Dia paham betul dari awal kelakuan Sasuke memang begitu. Seharusnya ia tidak terpancing, bersikap biasa, seperti biasanya saja. Namun entah kenapa kali ini emosinya meledak- ledak hanya karena -

karena apa?

Naruto bimbang.

Ia sadar kata- katanya menyakiti pemuda itu. Namun dia merasa enggan untuk mengucap kata maaf terlebih dulu.

Sasuke juga salah kan?

Keras kepala.

..
..
..

Seperti yang pernah Naruto bilang. Sai itu oke. Iya, oke. Dia pemuda ramah dan pendiam.

Cih.

Tapi sekalinya bicara bisa membuat orang lain bernafsu untuk menggunduli kepalanya.

"Percuma punya muka mulus tapi kelakuan bikin murus," celetuk pria itu ketika melewati dirinya dengan ransel di punggung yang artinya mereka hendak pulang dari sekolah.

Sasuke mengerling penuh benci mendengarnya. Melihat pemuda Shimura di depannya yang digadang- gadang Naruto sebagai kandidat calon pacar terbaik untuk gadis itu.

Terbaik apanya?

Sasuke merasa masih jauh lebih baik tuh dari manusia tembok di depannya ini.

Manusia sombong.

"Memang apa urusanmu?" sahutnya ketus.

Sai melirik malas.

"Sudah panas mataku lihat perilakumu yang tidak bisa jadi contoh untuk adik- adik kelas, pacar dimana- mana," ujarnya.

Mata Sasuke menyipit. Memicing tajam.

Sindiran dua kali. Tapi telak menusuk hati. Yang pertama tentu dari Naruto yang memilih pulang lebih dulu bersama ekor kesayangannya.

Sai mendengus. Lantas melenggang pergi.

"Kesal karena ditolak?" seru Sasuke bertanya. Menghentikan langkah Sai.

"Kasihan sekali dirimu-"

"Siapa bilang? Namikaze belum membalas apapun tadi. Tidak ingat?" Sai menoleh. Melempar seringai sinis menyebalkan di mata Sasuke.
"Artinya aku masih ada kesempatan, bukannya begitu, Uchiha?"

Lantas Sai berlalu.

Meninggalkan Sasuke seorang diri dalam kebisuan.

Syaland.

. . .

Sasuke & Naruto : korban perjodohan.
Status hubungan : tanda tanya.
Status perasaan : membingungkan.

Nah loh,

Marahan. Siapa yang salah kalo begini?

Enemy, oh, my enemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang