Forever—it composed of Nows—
'Tis not a different time—
Except of Infiniteness—
And latitude of Home.
(Emily Dickinson)
⏱️
T
iga hari berlalu sejak Azalea kehilangan kontak dengan Mahesa, tapi sampai saat ini Mahesa masih tidak bisa dihubungi. Bukan cuma ponselnya yang tidak aktif, Esa juga tidak terlihat di sekitar kampus.
Lea berpikir hilangnya Mahesa Januar yang biasa menjadi poros perhatian, akan membuat sebagian orang khawatir atau setidaknya bertanya-tanya. Namun ternyata tidak, segalanya mengalir begitu saja. Teman-temannya Mahesa yang tak mengetahui keberadaan pemuda itu bahkan tak berusaha mencari tahu.
“Udahlah Le, nanti juga dia nongol lagi,” gumam Kania seraya menepuk bahu Lea.
Saat ini mereka tengah duduk di Kantin, menikmati makan siang mereka. Tapi hanya Kania dan Bryan yang menyantap makanannya dengan lahap, sementara mie ayam Azalea masih utuh belum tersentuh.
Mie ayam yang malang.
Bryan menganggukan kepala setuju pada Kania. “Kan dengar sendiri katanya kak Bella, kak Esa itu udah biasa ngilang nggak ada kabar, berapa hari lagi juga dese nongol.”
Lea meletakkan ponselnya, lalu menyedot es tehnya tanpa minat. “Bukan itu sih yang gue khawatir, tapi kalian ngerasa nggak sih, kak Esa mungkin nggak punya teman yang peduli sama dia, lo lihat sendiri gimana respon teman-temannya.”
Kania dan Bryan mengangguk-angguk, namun tak merasa aneh. Sebagai pemuja Mahesa Januar sejati, mereka sudah lama tahu bahwa Mahesa tak memiliki sahabat karib. Semua orang yang ada di kampus ini memang mengenalnya, tapi tidak benar-benar berteman dengannya.
Tak ada orang yang merasa cukup pantas untuk berdiri sejajar dengannya.
Pemuda itu layaknya gunung es yang terlalu sulit untuk diraih. Dari luar, tampak begitu mengagumkan dan rupawan. Anggun dan tak tesentuh. Sekaligus dingin dan misterius. Tak pernah ada yang tahu apa yang Mahesa simpan di kedalaman lautnya. Ia serupa misteri milik semesta, tak ada orang yang mampu atau bahkan berani untuk menggalinya. Ia dekat sekaligus jauh, nyata namun juga seperti imaji, terlihat walau kadang menjadi ilusi.
“Nggak aneh darl, dese memang terlalu tinggi untuk digapai,” ujar Bryan seraya menyuap potongan baksonya.
“Tapi yang buat gue mikir, gimana dia ngejalanin itu semua ya? Nggak punya teman, nggak ada yang peduli, apa nggak kesepian hidup kayak gitu?”
Kania dan Bryan terhenyak. Mereka tak berpikir sampai ke sana. Karena kenyataannya Mahesa adalah pemuda yang cukup mandiri untuk memiliki teman. Seluruh tugas kelompok ia kerjakan secara mandiri, pun segala urusan perkuliahan. Mahesa tak pernah merengek pada teman-temannya agar mengisi KRS bersama dan ia tampak tak keberatan makan di Kantin sendirian. Hidupnya pun tampak sempurna dan nihil cacat.
Tanpa orang-orang disekitarnya, rancangan masa depan pemuda itupun sudah sempurna.
Jadi, apa Mahesa masih membutuhkan seorang teman?
Keheningan di antara ketiganya akhirnya terputus ketika ada keributan yang samar di belakang mereka. Ketiganya sontak menoleh dan melongo saat melihat siapa yang berdiri di sana.
YOU ARE READING
About Forever
RomanceKita adalah sepasang ganjil, yang digenapkan oleh tangan Tuhan. Sekeping hati, yang tiada lengkap tanpa sepetak dari yang lain. Mulanya, kukira semesta mempertemukan hanya untuk membuat kita saling jatuh cinta. Namun di antara takdir yang telah diko...