Part 25

185 14 0
                                    

"Gue mau bilang, kalau gue nyesel pernah nolak lo."

Rachel memacu mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Dirinya tidak memperdulikan suara klakson dari mobil-mobil lain. Untung saja jalanan di Jakarta sedang bersahabat dengannya. Dirinya terus memacu mobilnya, sebenarnya Rachel juga tidak tau dirinya mau pergi kemana. Rachel hanya butuh tempat yang sepi untuk mencurahkan seluruh isi hatinya.

Sampailah Rachel di suatu tempat. Tempat itu adalah rumah pohon yang waktu SMA sering ia datangi bersama Devan.

Rachel memarkirkan mobilnya di lapangan basket yang berada di depan rumah pohon. Rachel sengaja tidak keluar dari mobilnya, ia ingin berada di dalam mobilnya saja.

Rachel memukul stir mobilnya cukup keras, dan suara klakson mobilnya berbunyi dengan keras. Rachel menangis. Menangis tanpa suara, hanya air mata saja yang turun dengan deras di pipinya.

Dirinya juga tidak tau mengapa dirinya menangis. Hanya saja yang ia tau, hatinya sakit sekali. Rachel terus menagis sampai matanya sembab.

"Gue benci lo Devan."

***

Devan memasukkan motornya ke dalam garasi rumahnya. Orang lain pasti megetahui bahwa suasana hati Devan sedang tidak baik.

Tok tok.

Devan mengetuk pintu utama rumahnya. Lalu tak lama bundanya membukakan pintu untuknya.

"Hai bun." sapa Devan tidak seperti biasanya.

"Kamu kenapa?" tanya bundanya langsung. Bundanya langsung mengetahui perubahan sikap anaknya itu.

Devan menyelonong masuk ke dalam rumahnya tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan bundanya.

Devan duduk di kursi ruang keluarga sambil menatap tv dihadapannya dengan pandangan kosong. Tak lama bundanya datang menghampiri Devan dan duduk di samping anak sulungnya itu.

"Orang tua nanya tuh di jawab Van." ucap bundanya. Devan hanya membalasnya dengan gumaman singkat.

Bundanya menatap anaknya itu dengan penuh tanda tanya. Karena aneh sekali anaknya seperti ini.

"Rachel ya?" tanya bundanya tepat sasaran. Memang bundanya lah yang mengerti perasaan anak-anaknya.

"Kok bunda tau?"

"Abisnya sikap kamu aneh banget. Kalau udah sikap kamu aneh kayak gitu pasti berhubungan sama Rachel." ujar bundanya.

Devan menarik nafas "Iya bun, bunda bener."

"Kenapa lagi emangnya?"

"Aku tadi ketemu dia pas acara reunian." cerita Devan, bundanya terus mendengarkan kelanjutan cerita Devan. Devan tau pasti bundanya itu sedang menunggu kelanjutan ceritannya.

"Dia berubah bun."

"Berubah kayak power rangers?" canda bundanya.

"Ih bunda, aku kan lagi ngomong serius." kesal Devan karena di bercandakan oleh bundanya sendiri.

"Iya iya, oke bunda serius. Jadi gimana?"

Devan menarik nafas dalam karena dirinya akan menceritakan pertemuannya denga Rachel tadi dan perubahan sikap Rachel terhadapnya.

"Tadi pas aku reuni, aku ketemu sama Rachel."

"Terus?"

"Ya aku sapa dia, dia juga sapa balik."

"Terus masalahnya ada dimana?" tanya bundanya yang terus memotong cerita Devan.

"Bunda nih kebiasaan kalau aku cerita, pasti di potong."

"Hehehe, maaf deh. Ya udah ayo lanjutin."

Devan pun melanjutkan ceritanya "Tapi pas aku mau ajak Rachel ngobrol cumam 4 mata dia gak mau, dan malah ngalihin pembicaraan. Terus pas udah pulang dari acara itu, sengaja aku tungguin dia di parkiran untung udah sepi. Tapi dia tetep untuk nolak gak mau ngobrol sama aku. Aku juga ngerasa dia berubah bukan seperti Rachel yang dulu lagi bun." cerita Devan, bundanya mengetahui dari suara Devan, Devan sangatlah putus asa dan frustasi.

Bundanya tau perjuangan Devan selama 6 tahun ini. Devan selalu datang ke rumah Rachel walaupun di dalam rumah itu tidak ada orang, Devan selalu berharap kalau Rachel akan pulang ke rumah itu. Devan juga selalu datang ke rumah pohon untuk membersihkan rumah itu. Intinya Devan selalu melakukan hal yang sama seperti Devan selalu bersama dengan Rachel, walaupun nyatanya tidak.

Bunda mengelus pundak Devan menenangkan. Bunda tau bagaimana rasanya menunggu seseorang selama itu.

"Mungkin Rachel belum siap kalau ngebahas itu sayang." lembut bunda.
"Mungkin."

***

Setelah cukup lama Rachel menangis di dalam mobil sampai-sampai ia tertidur.

Rachel membuka matanya dan cukup kaget ternyata dirinya masih di dalam mobil. Dan lebih terkejut lagi ketika dirinya masih berada di lingkungan rumah pohon.

Rachel menatap rumah pohon itu dengan mata sembabnya. Dirinya masih meyakinkan hatinya apakah dirinya harus turun atau tidak. Karena ia takut. Takut akan kenyataan yang dulu ia terima.

Entah keberanian dari mana, Rachel turun dari mobilnya dan menuju rumah pohon. Cukup lama ia menatap rumah pohon itu, yang di mana dulu sering sekali ia kunjungi.
Rachel dapat melihat dengan jelas rumah pohon itu dirawat dan kebersihannya juga tetap terjaga. Siapa yang merawatnya?

Rachel juga dapat melihat ring basket yang dulu ia sering mainkan dan terdapat bola basket di samping rumah pohon. Dirinya mendekati bola orange itu, dan mulai memantulkannya.

Rachel memainkan bola itu hanya seorang diri, kadang bola itu ia lemparkan ke arah ring. Cukup lama Rachel bermain basket, sampai tak terasa matahari sudah ingin terbenam.

Rachel sebenarnya ingin sekali naik ke atas rumah pohon, tapi ia ragu. Jadilah ia hanya duduk di bawah rumah pohon sambil menikmati langit sore yang mulai berubah menjadi gelap.

Semilir angin menerpa wajah cantik Rachel, Rachel terdiam menikmati ini semua. Andai saja perasaan itu tidak ada di hatinya. Andai saja dulu ia tidak pernah mengungkapkannya ke Devan. Andai saja, ah terlalu banyak andai.

"Maaf Dev."

Hanya kalimat itu saja yang bisa Rachel ucapkan atas perbuatannya di parkiran tadi. Ia juga tidak tau mengapa bersikap seperti itu.

***

JANGAN LUPA VOTE YAA.

Ready For It?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora