Aku Hanya Ingin Teman

577 43 25
                                    

Mama Papa, Apakah kalian masih ingat kepadaku? Aku kesepian.


Awan mendung menggantung di langit. Tidak butuh waktu lama hujan sudah turun. Beberapa menit di awal hanya rintikan, lama-lama butiran-butiran air besar yang turun. Banzai duduk di bangku halte di dekat mall, masih menunggu bis. Sebenarnya dia tidak tahu bis yang lewat di halte ini akan ada yang mengarah ke rumahnya atau tidak. Apa naik taksi saja ya? pikirnya. Tak lama kemudian, sebuah mobil yang cukup mewah berhenti di depannya. Ini membuat Banzai tersadar dari lamunannya. Tadi sekejap dia kepikiran tentang kapan terakhir kali dia pergi ke mall bersama orangtuanya.

Seseorang membuka pintu penumpang dan mengembangkan payung. "Banzai, ayo bareng saja." Ternyata dia Si Cewek Permen Karet. Dia masih memakai seragam SMP. Dia berjalan mendekati Banzai dengan payungnya yang besar itu.

"Loh kamu kok bisa disini sih?" tanya Banzai.

"Aku cuma kebetulan lewat dan kelihatan kamu duduk sendirian disini. Ayo bareng aku aja. Lagi nunggu bis kan?"

Banzai diam sejenak. Sebenarnya dia sedikit curiga. "Oke deh," ucapnya kemudian. Dia ikut berteduh di bawah payung cewek permen karet dan mereka pun menuju mobil.

"Jalan, Pak," perintah Si Cewek Permen Karet pada supirnya. "Kita antar Banzai dulu ke rumahnya."

"Kamu tahu rumahku dimana?"

"Ya nggak tahulah. Dimana alamatmu?" sergah Si Cewek Permen Karet. Berikutnya Banzai mengatakan jalan dan nomor rumahnya.

"Wah ternyata tidak terlalu jauh dari rumahku. Searah."

"Kamu habis darimana? Kok belum pulang?"

Cewek permen karet melirik. "Oh. Aku tadi ke toko buku dulu."

"Ah masa?"

"Kenapa memangnya?" tanya Si Cewek Permen Karet dengan alis berkerut. "Apa tampangku ini tidak cocok ke toko buku?"

"Kamu kan biasanya nyontek di kelas. Masa pernah baca buku?"

"Ooh mulutmu pedas juga ya. Sudah kuberi tumpangan juga." Kini Si Cewek Permen Karet bersedekap dan cemberut. Banzai hanya diam dan memandang pemandangan di luar. Sebenarnya malu juga harus dibarengi oleh cewek ini. Takutnya besok-besok malah diungkit-ungkit lagi.

"Apa teman-temanmu menyuruhmu pulang sendirian?" Setelah beberapa saat saling diam, Cewek Permen Karet--yang sekarang tidak sedang mengunyah permen karet--tidak tahan untuk menanyakan hal yang membuatnya sangat penasaran. Banzai menoleh dengan gerakan perlahan dan masih memasang tampang tertekuk.

"Mereka tidak seperti itu. Aku hanya diusir oleh Pak Satpam karena memakai seragam," cicit Banzai. Suaranya terdengar kecil, terdengar tidak yakin. Cewek Permen Karet mengerutkan alis. "Tadi kami senang-senang disana tapi Pak Satpam kemudian mengacaukan semuanya."

"Kamu benar-benar sudah mengenal mereka?"

Banzai hanya mengangguk. Gengsi sekali harus mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak ingin terlihat sama menyedihkannya dengan cewek yang sekarang duduk di sampingnya ini karena sama-sama tidak memiliki teman di sekolah. Ngomong-ngomong, saat melihat mobil ini, suatu pemikiran terlintas di benak Banzai. Sepertinya cewek itu bisa bertahan di sekolah karena menyogok. Lihatlah mobil mewahnya ini.

Banzai kini menegakkan badan. Rumahnya sudah terlihat.

"Itu rumahmu?"

"Yap."

Setelah mobil berhenti, Banzai lekas membuka pintu. "Terimakasih ya." Senyuman kecil tersungging di wajahnya. Bagaimanapun dia harus mengucapkannya sebagai bagian dari penerapan tata krama di negara ini.

Cewek Permen Karet segera menahan Banzai dengan ucapannya. "Zai! Kalau kamu merasa ada yang aneh dengan teman-temanmu, kamu harus menceritakannya dengan orang lain. Mungkin orangtuamu? Jangan diam saja."

"Ya terimakasih sarannya. Dan saranku kamu juga seharusnya bercerita pada orang-orang terdekatmu dan meminta tips agar bisa berhenti menyontek. Iya kan? Daah." Banzai menutup pintu mobil sepersekian detik setelah selesai berbicara. Dasar sok menasihati. Apa cewek itu tidak pernah berkaca? Banzai merasa baad mood sekali hari ini. Apalagi tadi cewek itu sempat mengatakan sesuatu tentang orangtuanya. Ah, dia tidak tahu saja, Banzai sudah banyak kali mencoba untuk bercerita apapun kepada orangtuanya. Tapi satu kali pun Bantai tidak pernah merasa orangtuanya menanggapinya dengan serius. Mereka selalu mengatakan, "Kami percaya padamu Anakku. Ambil keputusan yang tepat dan jaga diri baik-baik. See you. Kita bertemu liburan nanti ya." Dan berikutnya hanya terdengar sambungan telepon yang putus, bahkan sebelum Banzai sempat membalas dengan perkataan apapun. Apa mereka orangtua khusus liburan? Sering seperti itu, selalu seperti itu. Sampai bosan rasanya. Dan sudah beberapa minggu belakangan ini, Banzai mogok menelepon orangtuanya. Dan lihatlah, mereka bahkan tidak menelepon balik.

Apakah mereka masih sadar bahwa aku masih hidup?

Fake FriendsWhere stories live. Discover now