☪☪☪
Melisa tergeragap bangun. Disambarnya koper. Ia segera melangkah ke kamar mandi mushola yang gelap. Ia bersembunyi dari orang yang berseru memanggil namanya. Bukan hanya satu orang, tapi beberapa orang.
Tubuhnya gemetar, jantungnya berpacu lebih cepat. Tanpa terasa, setetes air jatuh menuruni pipinya. Dibekapnya mulut meredam isakannya. Tuhan, tolong lindungi aku. Batin Melisa. Dilihatnya tiga pasang sepatu di depan pintu toilet.
Lamat-lamat, Melisa mendengar suaranya.
“Sen, gimana?”
“Nggak ada, Yah. Cuma toilet ini yang belum kucek. Tapi kondisinya gelap. Nggak mungkin Melisa di sini.”
Melisa semakin gemetar saat namanya disebut oleh suara yang begitu dihafalnya, Arsen.
“Ke mana Melisa pergi? Jam segini belum ada penerbangan. Masih dua jam. Dan sistem operasional belum buka,” ucap suara bariton lagi, papa Melisa.
“Apa mungkin Melisa ke stasiun?” tanya sebuah suara lembut, bunda.
Melisa semakin tak enak hati. Air semakin deras mengalir di pipinya. Semakin erat pula ia membekap mulutnya, ia tak ingin ketahuan.
“Tapi jelas-jelas satpam dan sopir taksi bilang kalau Melisa turun di bandara, Bun. Nggak mungkin Melisa ke stasiun. Satpam di depan juga bilang kalau Melisa belum keluar dari bandara. Kemungkinan besar Melisa masih di sini.”
“Arsen, kita tunggu sampai pagi. Setidaknya, kita bisa ke bagian informasi untuk mencari tahu soal tujuan Melisa,” saran ayah.
“Iya, yah.”
“Ayah tahu kamu khawatir, tapi kita pasti bisa nemuin Melisa. Percaya ma ayah.”
Arsen mengangguk, mereka bertiga akhirnya meninggalkan bandara. Cukup lama Melisa diam di sana hingga kakinya pegal. Ia putuskan untuk keluar, ia menuju boarding room. Pesawatnya sudah tiba. Beberapa menit lagi, ia akan meninggalkan seluruh kenangannya di sini.
Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. Melisa sempat melihat siluet tubuh Arsen. Senyum mengukir getir di wajahnya. Namun Melisa membulatkan tekad. Ia melangkah tergesa memasuki ruangan, bertemu dengan petugas di sana untuk cek pasport dan kelengkapan.
Begitu Melisa selesai cek, ia segera melangkah pergi. Tak ia pedulikan lagi orang-orang di belakangnya kini. Ia memantapkan hati, ia ingin sendiri. Bebas dari semuanya.
***
Seorang wanita dengan perut buncitnya menapakkan kakinya kembali di kota penuh kenangannya. Menghela napas berat dan panjang, Melisa, menatap sepenjuru bandara. Ia geret koper besarnya menuju pintu keluar. Di sana, sudah ada sebuah mobil menunggunya. Begitu Melisa memasuki mobil, ia sudah ditodong pertanyaan.
“Lo apa kabar, Mel?” tanya seorang wanita sembari melajukan mobilnya keluar area bandara.
“Aku baik. Seperti yang kamu lihat.”
“Tujuh bulan, Mel. Please … tolong gue.”
“Kenapa?”
“Seluruh keluarga lo bahkan keluarga Arsen nyariin. Gila. Mana neror gue mulu.”
“Sorry,” ucap Melisa dengan tatapan menyesal di matanya. Ditatapnya sahabatnya ---Fanisa--- yang merangkap sebagai CEO di online shop-nya.
“It’s oke. Demi lo, ini. Betewe, gimana dedek?”
“Baik kok.”
“Udah jangan pikirin Arsen, cukup lo pikirin hidup lo sekarang.”

YOU ARE READING
Cinta Palsu Mendatangkan Rindu [Complete]
Short StoryMelisa. Seorang wanita matang masih lajang diusianya ke dua puluh tujuh tahun. Hingga ia harus dihadapkan oleh sebuah keadaan di mana ia tak bisa memilih. Apa rencananya untuk terhindar dari ide gila yang menjebaknya di keadaan tak menyenangkan?