5. What this end for my story?

356 16 4
                                        

Ketika sebuah kebenaran terkuak?
Bolehkah aku bahagia?
☪☪☪

“Maaf, mas. Saya tidak menerima tamu laki-laki, tolong pergi dari sini,” ucap Melisa tegas. Walau dalam hatinya menjerit meneriakkan nama pria di hadapannya. Tak ingin pria itu pergi, ingin ia menemaninya di malam-malamnya. Tergesa, Melisa menutup pintu.

Belum sempat Arsen mencegah, pintu sudah tertutup lagi. Diketuknya tak sabar pintu itu. Namun sayang, sampai tangannya sakit karena mengetuk pintu kayu itu, pintu itu tak mau terbuka. Alih-alih terbuka, satpam datang dan meminta Arsen pergi. Karena sang satpam mendapat laporan bahwa kelakuan Arsen mengganggu kenyamanan pengunjung hotel lainnya.

Terpaksa, Arsen melangkah pergi. Namun ia bertekad akan menemui Melisa lagi. Malang tak dapat dihindari, satu jam setelah Arsen pergi. Melisa keluar menggeret kopernya. Ia meninggalkan kota itu lagi untuk kedua kalinya. Lari menghindar.

***

Satu tahun berlalu seperti sejam saja untuk Arsen. Apalagi, ia dengan gencar mencari dan meneror Fanisa supaya memberitahu di mana keberadaan Melisa. Melihat Arsen yang sudah seperti orang gila mencari Melisa. Hati Fanisa luluh.

Please, Fan. Kasih tau gue. Di mana Melisa. Apa perlu gue harus sujud di kaki lo baru lo mau kasih tahu di mana Melisa.”

Dihelanya napas berat dan panjang. Fanisa menatap lekat wajah Arsen yang kuyu. Ia tahu, seberapa keras usaha Arsen mencari Melisa di sela kesibukannya bekerja. Hati Fanisa terenyuh, ia mengangkat tangannya memanggil pelayan. Seorang pelayan laki-laki datang. Arsen hanya mampu menatap Fanisa, menunggu kelanjutan aksi Fanisa.

“Saya minta notes dan pulpen ya, mas.”

“Oh, iya. Ini mbak.” Pelayan itu merogoh saku kemejanya dan menarik sebuah notes dari sana. Diserahkannya notes itu pada Fanisa.

Fanisa menerimanya dan menyobek secarik untuknya. Dikembalikannya lagi notes itu.

“Terima kasih, mas boleh pergi.”

“Sama-sama, mbak.” Pelayan itu melangkah pergi.

Fanisa menulis sebuah alamat di notes itu. Kemudian, diserahkannya alamat itu ke Arsen.

“Apa ini?” tanya Arsen bingung.

“Alamat Melisa.”

Thanks, Fan.” Euforia meledak di hatinya. Bukan hanya euforia, tapi kelegaan juga. Akhirnya, ia mampu menuntaskan hasrat gelora rindunya. Belum sempat kaki Arsen melangkah, sebuah tangan mencekal lengannya.

“Ingat baik-baik ya, sen. Lo tanamin dalam-dalam di otak lo.” Tatapan Fanisa berubah tajam. “Melisa sahabat baik gue. Dia wanita baik-baik. Sekali lo ---tuding Fanisa di dada Arsen --- nyakitin salah satu dari mereka. Lo berhadapan ma gue.”

Fanisa meninggalkan Arsen tercenung di tempatnya. Kata-kata Fanisa menohok jantungnya dalam. ‘Salah satu dari mereka’ kata-kata itu terus saja berputar di otaknya. Jadi benar perasaannya selama ini, Belle, wanita hamil yang ditemuinya adalah Melisa-nya.

Tak ingin membuang waktu, Arsen segera membayar makanannya dan Fanisa. Ia lajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju alamat yang diberikan Fanisa. Sebuah rumah minimalis dengan halaman cukup luas dan pepohonan rindang. Sebuah pagar berwarna hitam di depannya.

Seorang anak kecil berusia sekitar enam bulan atau tujuh bulan sedang merangkak bebas di rerumputan. Tak jauh dari sana, terdapat tikar dan seorang wanita duduk mengawasi ke mana saja perginya anak itu merangkak.

Perasaan haru menyusup ke hati Arsen. Anak itu, mirip sekali dengannya sewaktu kecil. Tak sadar, setetes air jatuh dari pelupuknya. Anak itu merangkak ke arah pagar. Tak sadar jika pagarnya terbuka sedikit, Melisa melangkah masuk mengambil mainan.

Cinta Palsu Mendatangkan Rindu [Complete]Where stories live. Discover now