[14] Empat Belash

481 64 24
                                    

Wydi

Ding ding wala wala ding ding!
Empat bulan berlalu, dan alhamdulillah sekarang gue udah resmi jadi dokter.

Waktu wisuda beberapa bulan lalu, Shawn dan yang lainnya nepatin janji mereka buat dateng. Gue terharu, mereka semua pake baju kapel warna ijo dengan bunga-bunga yang ditempelin di seluruh badan. "Wydi, buket bunga udah mainstream, mending kita aja yang jadi bunga buat lo yekan?"

Gue? Ngangguk. "Yaudah iyain."

Ini adalah hari pertama gue kerja di rumah sakit, ya walaupun ditempatin di bagian IGD yang katanya bener-bener berat, tapi gue tetep seneng. Hari pertama cuy! Gimana ga seneng.

Dengan balutan jas putih dan stetoskop yang tergantung di leher, gue berjalan menghampiri pasien pertama yang ternyata seorang anak berusia lima tahun. Bukan bener-bener gue tangani sejak awal sih, katanya kondisi dia udah mulai membaik, dan sekarang harus dipindahin ke ruangan pasien. Gue cuma harus meriksa tekanan darahnya aja.

"Gimana kondisi adek sekarang?" tanya gue imut sambil masangin alat di tangan anak itu.

"Baik doktel. Tapi emang ambulans itu suka bawa orang cakit ya doktel?"

"Iya, kenapa emangnya?"

"Coalnya aku kila ambulans itu bawa hiu, suaranya kan hiuhiuhiuhiu."

"Iyain."

Itulah. Itulah pengalaman pertama gue yang sangat mengesankan, wow. Setelah itu, pasien demi pasien dengan berbagai kondisi mulai berdatangan, gue bener-bener sibuk, dan sesekali bingung karena belum terbiasa. Disaat seperti ini, mau pasiennya cogan atau gimanapun juga gue ga peduli, yang terpenting adalah gimana caranya gue bisa nyelamatin nyawa mereka semua. #Wydibijaque2k18

Mungkin matahari sudah mulai lelah bersinar, perlahan dia pun mulai menyembunyikan diri, menyisakan semburat jingga yang kita sebut senja.
Jas dokter yang semula putih bersih kini telah ternodai oleh bercak darah dari beberapa orang yang berjuang untuk hidup. Gue menitihkan air mata, sebesar inikah perjuangan seorang dokter untuk menyelamatkan pasiennya?

Waktu untuk istirahat yang hanya sempat digunakan untuk melahap sebungkus roti telah berakhir. Telpon berdering, memperdengarkan suara panik di sebrang sana.

"Terjadi kecelakaan, pasien harus ditangani sesegera mungkin. Ambulans udah hampir tiba, dok."

Gue ga menjawab dan langsung lari secepat mungkin menuju pintu masuk Instalasi Gawat Darurat, menunggu pasien itu tiba. Suara khas dari mobil ambulans terdengar, mobil pun terhenti. Seorang pria terkulai tak berdaya dengan tubuh yang sudah berlumuran darah. Gue bisa melihat itu dengan begitu jelas.

"Dokter? Dokter?"

Suara panggilan yang berulang itu terdengar, namun tubuh ini tak mampu untuk merespon. Bahkan untuk bergerak pun rasanya tak mampu. Dunia seakan berhenti, air mata pun terlanjur membasahi pipi.

Shawn. Pria itu terbaring disana dengan wajah yang begitu pucat. Kedua matanya menatap ke arah gue, seakan memberi pesan bahwa gue ga usah khawatir dengan keadaannya, karena dia tau bahwa dia akan baik-baik saja.

"Dokter? Dokter?" lagi-lagi panggilan itu terdengar, kini disertai dengan guncangan pada bahu. Gue tersadar.

"Ada apa dok? Kita harus cepat menangani pasien."

Gue memejamkan mata lalu mengepalkan tangan dengan kuat. Gue harus bisa, ini bukan tentang gue dan Shawn, tapi ini tentang dokter yang mempunyai tanggung jawab penuh atas nyawa pasiennya.

"Segera bawa dia ke ruang operasi," seru gue, melepaskan segala ketakutan dalam diri.

Shawn belum sepenuhnya kehilangan kesadaran, matanya masih sedikit terbuka, napasnya terdengar lemah.

Haji Mendes 2Where stories live. Discover now