JENDELA

423 24 4
                                    

Kakekku adalah pengrajin batu marmer yang cukup terkenal di Kota Tulung Agung. Pagi, siang dan malam ia tidak pernah berhenti bekerja kecuali untuk makan atau ada tamu yang sedang bertandang ke rumah. Kakekku termasuk tipe orang yang kolot. Beliau selalu mengimbau kami, cucu-cucunya, untuk tidak ngelayap saat magrib. Selain itu, beliau tidak pernah memercayakan pekerjaannya kepada karyawannya. Semua finishing dikerjaan olehnya, baru setelah itu asisten Kakek yang akan mengurus seluruh proses pengiriman hingga barang tiba di rumah pemesan.
Saat ini keluargaku sedang berlibur di rumah Kakek, aku sangat senang. Apalagi saat mengetahui orangtuaku memutuskan tinggal di rumah Kakek lebih lama dari liburan yang biasa kami lakukan. Jujur saja, bertandang ke rumah Kakek ini adalah hal yang kunanti-nanti, sebab alam pedesaannya sangat indah, masih rimbun ditumbuhi pohon besar dan banyak suara serangga hutan yang masih terdengar di sekitaran. Keistimewaannya yang lain adalah aku juga bisa menghabiskan waktu dengan mandi di kali yang airnya jernih sambil memakan wortel mentah yang baru dipetik dari ladang. Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
Ayahku penggila kopi. Ia tidak pernah melewatkan waktu untuk menyeruput kopi di teras sambil menikmati pisang goreng yang disajikan oleh Ibu dan Nenek sambil bercengkerama dengan Kakek yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Kakakku lebih sering menghabiskan waktunya dengan Tanteku yang juga tinggal di rumah Nenek atau membaca komik dan novel yang ia bawa dari rumah.
Aku dan kakakku memiliki karakteristik yang berbeda jauh. Kakakku adalah seorang yang pendiam, sementara aku hampir selalu diliputi rasa penasaran dan mencari tahu hal-hal kecil yang menurut keluargaku terkadang tidak penting. Acapkali aku ditegur oleh Ibu. Rasa penasaran dan keisenganku kadang bisa membahayakan diri sendiri, begitu katanya.
Sampai sekarang aku masih ingat betul kejadian menakutkan di rumah Kakek. Sore itu kami semua berkumpul di teras. Aku yang tidak bisa diam berlari dan melompat ke sana-kemari seperti kelinci yang lepas dari kandang. Beberapa kali Ibu mengingatkanku untuk diam, tapi aku masih saja bebal dan tetap berlarian ke sana-kemari.
Ayah dan Kakek terlihat tengah melakukan rutinitas seperti biasanya di teras luar. Kakakku yang sedang asyik membaca novel di ruang tengah beberapa kali mengerlingku dan melempar pandangan protes karena aku sangat berisik.
Karena kelakuanku yang menyebalkan itu Ayah mulai gerah dan menegurku.
“Sani, udah mau magrib ini. Hayo, jangan berisik, nanti jatuh loh kamu kalau pecicilan terus!” tegurnya.
“Iya, Beh....” sahutku langsung terdiam karena aku memang sangat segan dengan Ayahku.
“Sookooorrr....” gumam kakakku dari balik novelnya.
Aku beringsut ke tepian jendela yang berada di ruang tengah, melihat hamparan kebun. Rumah kakek tergolong kuno. Jendela, pintu, dan kosennya dirancang dengan gaya kolonial. Daun jendelanya memiliki dua sisi yang simetris dan gordennya hanya berupa kain yang dikaitkan pada benang secara horizontal. Jika gorden itu dibentangkan, kain akan menutup sepertiga jendela bagian bawah. Aku melihat ke luar jendela, lalu melongok sambil berjinjit untuk melihat ke kiri dan kanan.
Teguran Ayah tidak mengikis keisenganku saat itu. Aku tiba-tiba memiliki ide untuk mengambil batu-batu kerikil di depan rumah Kakek dan mengumpulkannya jadi satu di telapak tangan. Tak ada seorang pun yang memperhatikan atau menegur saat aku  sedang melakukan hal tersebut. Setelah menambah beberapa bekal batu kerikil di kantong celana, aku lari masuk ke dalam rumah dan membuka gorden yang sudah dibentangkan menutup oleh Nenek. Menurut beliau, tidak baik saat mulai petang jendela sama pintu dibuka lebar-lebar. Benar-benar kolot.
Setelah kubuka gorden jendela itu, aku melongok ke kanan dan ke kiri sekali lagi baru kemudian melihat lurus ke depan. Tampak pohon pisang berjajar tak beraturan. Pelepahnya ada yang mencuat lurus ke atas dan ada pula yang lunglai ke kiri dan ke kanan, bahkan beberapa terlihat patah karena Kakek sering mengambil pisang yang telah masak untuk diolah menjadi carang gesing atau pisang goreng oleh Nenek.
Beberapa kali aku menyipitkan mata untuk mengenali jenis-jenis tanaman yang ada di kebun itu. Karena saat itu usiaku masih delapan tahun, maka tanaman yang aku kenali di kebun baru sebatas pohon pisang dan singkong saja. Setelah bosan melihat-lihat kebun di bawah lembayung senja, aku mulai melancarkan aksi isengku. Aku memungut satu kerikil dalam genggamanku dan melemparkannya ke tengah kebuh. Satu kali lempar, dua kali, tiga kali dan seterusnya. Aku melakukan hal tersebut berulang kali, lama-lama aku semakin bersemangat untuk melempar kerikil sejauh mungkin dari jendela rumah hingga kerikilku habis.
Aku keluar rumah dan kembali memungut kerikil, kali ini ukuran yang kupilih sedikit lebih besar dari kerikil yang sebelumya. Ibu yang memergokiku sedang mengorek-korek tanah langsung melontarkan omelannya dari teras.
“Heh, kamu ngapain, ah, itu kotor. Ayo cuci tangan, sudah, sudah!” tegurnya cemas berbalut rasa jijik yang terlihat di mukanya.
Aku tidak menghiraukan Ibu sama sekali. Aku lari masuk ke dalam sambil melenggak-lenggok menghindari tangan Ayah dan Ibu yang berusaha meraihku berulang kali tapi gagal. Sesampainya di depan jendela, aku kembali melemparkan kerikil. Batu pertamaku memantul mengenai pecahan genting yang memang banyak berserakan di kebun. Aku melempar kembali sekuat tenaga ke arah kebun. Kupasang telinga lebar-lebar agar bisa menangkap bunyi batu lemparanku yang beradu dengan pecahan genting di tanah. Saking asyiknya, aku mulai memilih batu kerikil yang paling besar dalam genggamanku.
Saat aku memasang kuda-kuda untuk melempar batu kerikil tersebut, mendadak aku terpaku dan tidak bisa menggerakkan badanku lantaran dari sudut kiri jendela aku mendapati sesosok wanita berbaju merah yang mengambang bergerak ke arah kanan dalam kecepatan yang amat sangat pelan. Mata kami bertemu. Dengan jelas aku melihat pinggiran kelopak matanya yang terkoyak bagai dikerat tikus dan menampilkan serabut daging menganga berwarna merah bercampur warna pink dan putih. Hidungnya melesak ke dalam.
Yang paling mengerikan adalah ia tersenyum lebar. Terlalu lebar hingga memperlihatkan barisan gigi dan gusi dalam bentuk utuh karena pipi kirinya robek nyaris menyentuh daun telinga. Rambutnya yang hitam serta panjang seolah sengaja ia tata dengan apik di bahu kanannya untuk memerkan senyumannya yang paling mengerikan kepadaku.
Kejadian itu terasa begitu lambat sebelum akhirnya aku jatuh ke lantai dengan tubuh yang terasa mulai mengejang. Wanita itu menyeringai, kemudian ia melayang lebih tinggi memperlihat kondisi tubuhnya yang terputus. Pinggulnya tidak ada di sana, sehingga ususnya menjuntai jatuh ke bawah. Dalam kondisi mengejang dan membelalak di lantai, aku melihat wanita itu tersenyum puas kepadaku kemudian berangsur menghilang di sudut kanan jendela.
Aku mendengar kakakku berteriak histeris diikuti gumaman Ayah, Ibu, Kakek dan Nenekku yang sepertinya berlarian masuk ke rumah dengan panik. Aku tidak ingat lagi kejadian setelah itu. Menurut cerita Ayah dan Ibu, setelah badanku berhenti kejang-kejang, suhu badanku naik. Aku mengalami demam tinggi  hingga menceracau tidak keruan selama nyaris lima hari.
Semenjak kejadian itu aku tidak berani lagi berbuat iseng, terutama saat di rumah Kakek. Aku bahkan menghindari area kebun dan jendela. Sampai hari ini seringai wanita berbaju merah dengan mulutnya yang robek itu masih menetap dalam ingatanku, membuatku memiliki trauma tersendiri jika melihat daun jendela dengan dua sisi yang simetris.

DIARY ARWAH #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang