KURSI GOYANG

237 15 2
                                    

Masih ingatkah kamu dengan kursi goyang milik Kakek atau Nenekmu? Coba pejamkan matamu, mungkin sampai sekarang kursi itu masih berada di sudut ruang pikiranmu dan menunggu waktu yang tepat untuk menerormu sekali lagi.
Kakek menutup usianya sejak dua puluh dua tahun yang lalu dan meninggalkan duka dalam bagi kami semua. Tidak ada lagi sosok beliau yang pulang membawa es krim untuk cucu-cucunya, tidak ada lagi cerita binatang yang sering ia dongengkan dan tak ada lagi celana-celana bergantungan berisi uang di masing-masing kantongnya untuk kurogoh.
Kakek adalah anggota keluarga yang sangat berkesan bagiku. Dibandingkan cucu-cucunya yang lain, aku adalah cucu yang paling sering menghabiskan waktu dengannya di ruang keluarga. Sehingga, saat beliau berpulang, aku adalah cucu yang paling terpukul tatkala mendapati ruang keluarga kami kosong karena beliau sudah berpindah dunia.
Aku juga masih ingat, setelah pulang sekolah aku selalu menunggu Kakek di ruang tamu atau ruang keluarga tapi sosok Kakek tidak pernah muncul lagi. Saat itu aku masih belum begitu paham arti kata meninggal. Yang ada dalam benakku, Kakek masih pergi dan akan pulang sore hari sambil membawa bungkusan es krim untukku.
Kadang aku menunggu di kursi goyang miliknya yang berada tidak jauh dari depan jendela kamar Nenek. Beliau sering duduk di kursi goyang sambil menonton siaran bola tengah malam hingga ia jatuh tertidur. Acapkali aku mendapati beliau duduk bergoyang-goyang di kursi itu sambil menoleh ke arah serong kiri seraya memanggut-manggutkan kepala.  Hal itu tidak terjadi sekali atau dua kali, namun terjadi setiap Kakek duduk di kursi goyang tersebut.
Pernah suatu malam aku tidak bisa tidur karena seharian mencuri-curi kesempatan menyeruput kopi milik Ayah yang selalu ada di meja teras. Aku berdiri di atas kasur yang berada persis di sebelah jendela. Aku melakukan kebiasaanku jika terbangun tengah malam, mengintip ruang keluarga melalui teralis jendela kamar. Ruang keluarga yang terletak di tengah-tengah sudah dipadamkan lampunya, aku melihat siluet badan Kakek yang duduk di kursi goyang. Sesekali kulitnya mengilat karena terkena pantulan cahaya televisi yang menyinari ruangan sehingga menimbulkan bayang-bayang acak di seluruh penjuru ruangan.
Waktu itu aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk menyesuaikan penglihatanku terhadap ruang keluarga yang minim cahaya tersebut. Kemudian mataku menangkap sebuah sosok di seberang ruang keluarga, ia sedikit membungkuk aneh dan berjalan pelan melalui pintu pembatas antara ruang keluarga dan dapur. Sosok itu berjalan mendekat ke arah kursi goyang dengan ganjil. Lamat-lamat aku mendengar seperti suara lidah yang beradu dengan air liur di dalam mulut. Lama-lama suara itu makin kencang. Meskipun ada cahaya remang dari televisi, wujud makhluk itu tak bisa kulihat dengan jelas. Waktu itu hanya terlihat bayangan hitam yang bergerak perlahan, membungkuk. Makhluk itu melangkah serong ke kanan dan ke kiri kemudian berdiri dan membungkuk kembali. Ia melakukan gerakan yang serupa berulang-ulang. Cahaya remang-remang itu menampilkan bayang-bayang kuku-kuku panjang yang mengerikan di tembok, membuatku mematung. Meskipun ketakutan, aku tidak mampu mengalihkan pandanganku dan mencengkeram teralis jendela semakin kencang.
Kejadian terjadi begitu cepat. Makhluk itu berjalan dan seolah melompat dari satu sisi ke sisi yang lain. Makin lama semakin dekat dan tiba-tiba saja dia sudah berada persis di depan jendela kamar. Bunyi decakan lidah dan air liurnya seakan menceritakan rasa laparnya.
Refleks aku melompat ke belakang dan terjerembab jatuh ke kasur karena tidak sengaja menginjak guling. Di tengah-tengah ketakutanku kala itu aku menarik selimut dan menggigil sampai tertidur. Keesokan paginya aku tidak menceritakan kejadian itu ke orangtuaku. Aku memilih bungkam hingga akhirnya lupa.

Hari ini aku pulang ke rumah tersebut. Setelah lama tidak dihuni, Ibu dan keluarganya memutuskan untuk menjual rumah peninggalan Kakek dan Nenek. Untuk menarik pembeli, Ibu dan saudara-saudaranya memutuskan untuk merenovasi dan membersihkannya. Aku memperhatikan sekeliling yang berdebu. Aku copoti satu per satu tirai plastik yang menutupi perabot-perabot rumah. Ibu terbatuk-batuk lantaran aku menariknya terlalu kuat sehingga debu-debu membeludak dan mengepul di udara sekitaran kami.
“Pelan-pelan, debunya banyak. Nanti asma kamu bisa kambuh,” tegurnya sambil membuat gerakan mengipas untuk menghalau debu di sekitar mukanya.
“Iya, Bu. Saudara yang lain mana? Memangnya pada nggak bisa bantu?” sahutku.
“Kamu kan tahu.... Mereka sibuk dengan pekerjaan mereka, tidak seperti Ibu yang merdeka dan anaknya sudah besar-besar, mandiri seperti kamu,” terangnya.
“Terus mereka nggak bisa cuti? Malah aku yang cuti,” tukasku ketus.
“Kamu ini....” gumam Ibu.
“Bukannya gimana-gimana, aku cuma kasihan sama Ibu. Untung saja aku bisa cuti, kalau nggak? Ibu capek sendirian dan nggak ada temen.” jawabku kesal.
“Udah, ah, ayo dibersihin dulu. Keburu magrib nanti malah nggak bisa istirahat karena kamar masih berdebu.” seru Ibu sambil memulai menyapu lantai rumah.
Setelah itu kami tidak bercakap-cakap sama sekali. Kami bekerja dalam diam dan kadang-kadang terbatuk karena tersedak oleh debu. Sebelum magrib menjelang kami sudah selesai membersihkan area-area vital yang akan kami gunakan malam ini, yaitu kamar, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Aku dan Ibu memutuskan untuk mandi sebelum matahari benar-benar jatuh ke ufuk barat. Setelah mandi kami memutuskan untuk memasak orak-arik, sayur favoritku semasa kecil.
“Ibu tahu nggak, sih, ini masakan Ibu yang paling aku sukai?” tanyaku kepada Ibu yang sedang memecah telur.
“Ya pasti tahu dong. Kalau Ibu masak ini, mi instan kesukaanmu itu pasti lewat.” sahutnya sembari terkekeh.
“Iya, ya, Bu.... Dulu kalau kecil doyannya cuma makan mi, tapi begitu lihat orak-arik langsung lupa sama mi.” sahutku ikutan terkekeh.
Sejenak pikiranku kembali ke masa kecil yang menyenangkan bersama Ibu. Aku benar-benar merindukan momen-momen itu. Tak lama kemudian makanan kami sudah matang dan siap untuk disantap. Kami memutuskan untuk makan di ruang keluarga sambil melihat tayangan televisi.
Tidak terasa makanan kami habis dengan cepat sembari bercengkerama di depan televisi. Kami tidak langsung beranjak dan membiarkan perlatan makan yang kami pakai berserak di meja. Aku yang kekenyangan merebahkan diri di kursi goyang, sedangkan Ibu meluruskan kakinya di sofa sambil menghadap ke televisi. Kami menonton acara televisi hingga mata terasa berat dan jatuh tertidur di ruang keluarga begitu saja.

DIARY ARWAH #2Where stories live. Discover now