LIFT

177 14 6
                                    

Cita setengah melempar berkas-berkas pekerjaannya yang tebal. Ia sebal lantaran pekerjaannya tidak habis-habis. Lalu ia beringsut pergi dari mejanya dan menyambar tas. Ia melirik jam di kantornya yang sudah menunjukkan pukul delapan kurang. Ia merogoh tasnya untuk mengambil korek dan rokok mentol favoritnya, kemudian berjalan menuju lift.
“Loh, mau ke mana, Cit?” tanya manajernya, Mas Bima, yang sedang asyik mengetik.
“Mau ngerekes, Mas. Udah mumet, butuh rekesan dulu. Mau join?” sahut Cita sambil menghentikan langkahnya.
“Aduh, ntar aja, deh. Kalau udah kelar aku susul.” sahut Mas Bima.
“Oke, sampai ketemu nanti....” sahut Cita masuk ke lift.
Gedung kantor Cita terletak di area Kasablanka. Gedung berlantai empat tersebut menjadi kantor pusat di Kota Jakarta. Kadang Cita sendiri tidak habis pikir, di antara sekian banyak gedung kenapa gedung ini yang menjadi pilihan perusahaannya? Gedung kantornya termasuk lengang jika dibandingkan dengan kantor lain. Hanya perusahaan Cita yang beroperasi di gedung ini. Lantai empat berfungsi sebagai ruangan back office, sementara lantai satu digunakan untuk area workshop. Sedangkan dua lantai sisanya, yakni lantai tiga dua dan tiga, sementara hanya dipakai sebagai ruang penyimpanan.
Di gedung ini ada dua lantai parkiran berupa basement, tak heran jika banyak karyawan yang enggan lembur di kantor karena suasananya yang lengang ditambah lagi kondisi basement yang relatif gelap. Entah sejak kapan gedung ini seakan dibiarkan begitu saja. Sayangnya, suasana seperti ini tidak membuat Cita enggan untuk sekadar mengisap rokoknya meskipun harus sendirian berada di basement.
Cita memencet tombol lift menuju basement, sebenarnya dia agak gugup karena ini adalah kali pertama ia merokok sendirian di basement. Tekad tetaplah tekad, ia berharap satpam gedung masih mondar-mandir di basement. Tiba-tiba tombol lantai dua dan tiga ikut menyala, Cita terheran-heran dan dalam hitungan detik pintu lift sudah terbuka di lantai tiga. Suasana hening, Cita melongok ke kiri dan ke kanan. Sejauh mata memandang, ruangan itu kosong dan cahayanya remang-remang, tak ada seorang pun di situ.
Kemudian Cita menarik kepalanya dan memencet tombol tutup. Dalam hitungan detik, pintu lift kembali terbuka di lantai dua. Cita melongokkan kepalanya sekali lagi seperti sebelumnya, kemudian ia mendengus kesal karena mendapati hal yang sama dan langsung memencet tombol tutup. Kali ini Cita langsung meluncur ke basement. Saat pintu lift terbuka di B1, Cita menarik napas panjang. Ia keluar dari lift, pandangannya menyapu seluruh area parkir dan tidak ada satpam lagi di situ. Kemudian ia berjalan kurang lebih seratus lima puluh meter dari lift menuju kantor satpam yang terletak lurus di depan. Ia menoleh beberapa kali ke belakang dan ke samping, tetap tidak ada satu orang pun di sana. Sesekali ia mendengar suara kaki diseret, tapi tidak ada siapa pun. Ia hanya mendapati area parkir yang luas dan beberapa gelintir mobil. Cita berjalan berputar ke arah kiri, kemudian ia mengempaskan dirinya ke kursi besi di balik pos satpam.
Cita hendak membakar rokok yang sudah ia gigit, gerakannya terhenti saat suara kaki diseret kembali terdengar. Kali ini suaranya terdengar lebih jelas dan menimbulkan gema di udara sekitar Cita. Cita sedikit terkejut saat ia mendapati sesosok lelaki berbelok dari sisi kiri dan menuju tempat Cita duduk. Lelaki itu melewatinya dan berjongkok di sebelah kursi besi tempat Cita duduk. Setelah membakar rokoknya, Cita mencoba beramah tamah dengan lelaki tersebut.
“Duduk sini aja, Mas, daripada jongkok di situ.” sapanya seraya menoleh ke arah lelaki tersebut.
“Iya, Mbak....” sahutnya pelan sambil mengangguk dan tetap bergeming di tempatnya.
Cita tidak mau memaksa lagi, ia mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskan asap berbentuk  lingkaran-lingkaran kecil di udara. Tidak lama setelah itu, terlihat seorang pria paruh baya melintas dari sisi kiri Cita dan berjongkok lima meter di seberang Cita dan membakar rokoknya.
Saat Cita sedang berusaha mengenali wajah pria itu, tiba-tiba rasa rokoknya menjadi aneh. Seakan kandungan nikotin dan tar yang ada di dalam rokoknya lenyap begitu saja, membuatnya enggan mengisap rokok lagi. Ia membuang rokoknya yang masih setengah itu dan menginjak sampai baranya mati. Cita masih penasaran dengan pria yang tengah merokok di seberangnya. Ia khawatir jika ternyata yang ada di seberang adalah Mas Bima.
“Mas Bima!?” serunya sambil melambaikan tangan ragu-ragu.
“....” Tidak ada respons dari pria itu.
“Bukan Mas Bima, ya?” serunya sekali lagi untuk memastikan.
Akhirnya pria itu mendongakkan wajahnya dan menatap lurus ke arah Cita, lalu ia menggeleng pelan. Mendadak muka Cita menjadi hangat karena saking malunya salah mengenali orang, apalagi dia berteriak-teriak, sungguh tidak sopan. Cita memang belum mengenal seluruh karyawan kantornya yang berada di ibukota lantaran ini adalah perjalanan dinasnya yang kedua. Semenjak menerima tawaran promosi jabatan dari kantor cabangnya, ia mulai sering dikirim ke Jakarta untuk masa orientasi. Awalnya orangtua Cita keberatan, terutama papanya, namun setelah memberikan pengertian berulang kali, akhirnya Cita berhasil mendapat restu dari kedua orangtuanya.
Untuk menghilangkan grogi, akhirnya Cita membakar rokoknya kembali. Ia masih belum puas dengan rokok pertamanya. Cita mengisap rokok sambil memainkan ponsel. Ia membuka Instagram, Facebook, bahkan membaca artikel-artikel online yang muncul di jendela pop-up ponselnya. Sesekali ia melirik ke pria yang berjongkok di samping kanannya dan di seberangnya, ia mendapati pria paruh baya itu membakar rokok kemudian ia sedikit terbatuk dan membalas tatapan Cita. Cita menundukkan kepala sambil tersenyum karena merasa tidak enak lantaran mencuri-curi pandang.
Cita langsung mengalihkan perhatian ke ponselnya lagi. Lagi-lagi rasa rokoknya mendadak menjadi aneh. Cita langsung meraih kotak rokoknya. Ia membolak-balikkan kotak itu sembari mengecek barangkali ada rembesan air atau lubang kecil sehingga rokoknya basah atau masuk angin, tapi ia tak menemukan apa pun. Dengan kesal ia membuag rokoknya yang masih setengah ke bawah dan menginjak sampai baranya mati. Ia memutuskan untuk membakar rokok baru sekali lagi dan megisapnya dalam-dalam.
Cita melirik arlojinya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih. Baik lelaki di samping kanannya, maupun pria paruh baya yang ada di seberangnya belum ada yang angkat kaki dari B1. Meskipun rokok yang tengah ia isap lagi-lagi terasa aneh, ia tetap memutuskan untuk mengisapnya sampai tuntas kali ini. Pikirannya kini telah beralih ke meja kerjanya dan tumpukan berkas yang bisa membuatnya lembur hingga lewat tengah malam jika tidak ia kerjakan dari sekarang.
Setelah mengisap rokoknya dalam-dalam untuk yang terakhir kali, Cita membuangnya ke bawah dan sambil berdiri ia menjejakkan kakinya ke puntung rokok itu sampai hancur.
“Mari, mas!” serunya sambil tersenyum ke arah lelaki di sebelah kanannya.
Lelaki itu tidak menjawab tapi menganggukkan kepalanya ke arah Cita. Cita mulai berjalan dan menatap ke arah pria di seberangnya yang juga menatapnya.
“Mari, Pak, saya duluan....” seru Cita sambil menganggukkan kepalanya.
Pria itu tidak mengeluarkan suaranya, namun ia balas menganggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Selanjutnya Cita langsung menuju lift. Setelah masuk ke dalam ia buru-buru memencet tombol lantai empat. Saat pintu hendak menutup, tiba-tiba ada tangan yang menahan dari luar. Cita hampir menjerit karena kaget. Refleks ia memencet tombol buka agar tangan itu tidak terjepit.
Saat pintu lift membuka lagi, ia mendapati kedua orang yang tadi merokok bersamanya. Mereka melangkah masuk bergantian. Pria paruh baya itu menekan tombol ke lantai dua dan lelaki yang satunya memencet tombol ke lantai tiga. Kemudian pintu lift menutup dengan cepat. Dalam hitungan detik, lift sudah terbuka di lantai dua. Pria paruh baya itu melangkah ke luar dan berbalik menatap Cita kemudian tersenyum. Cita membalas senyumannya sambil mengangguk kikuk. Setelah itu pintu lift kembali menutup dan melesat ke lantai tiga dengan cepat.
“Mari, Mbak....” kata lelaki itu dingin saat lift terbuka.
“Iya, Mas....” sahut Cita sambil menganggukkan kepalanya.
Pintu kemudian menutup dan lift melesat ke lantai empat. Dengan hati lega, Cita melangkah keluar, ia melihat Bima, manajernya, tengah sibuk berkemas.
“Udah mau pulang, Mas?” tanya Cita.
“Loh, udah kelar ngerokoknya?” tanyanya balik.
“Udah, Mas, lumayan....” sahut Cita seraya mengenyakkan diri ke kursi kerjanya yang empuk.
“Kamu masih mau lanjut, Cit?” tanya Mas Bima sambil melirik jam dinding.
Cita menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan hampir pukul sembilan dan menoleh kembali ke arah manajernya itu.
“Iya, Mas.... Masih banyak banget kerjaanku.” sahut Cita memelas.
“Yakin? Aku lagi nggak bisa nemenin loh. Udah telanjur ada janji sama temen.” sahut Mas Bima dengan wajah sedikit khawatir.
“Iya nggak apa-apa. Jam sepuluh nanti aku cabut, Mas.” sahut Cita tanpa menghiraukan kekhawatiran manajernya.
“Ya udah kalau memang tetep mau lanjut. Cit, tadi ngerokok sama satpam?” tanya Mas Bima menduga-duga.
“Nggak tahu, ya, tadi ada mas-mas sama bapak-bapak. Kayaknya bukan satpam deh. Malah sempet ngira bapak-bapak tadi Mas Bima. Udah manggil ternyata bukan. Malulah, gue yaa....” cerita Cita sambil terkekeh geli sendiri.
Mas Bima berhenti berkemas-kemas dan mengerutkan dahi menatap Cita.
“Apa?” celetuk Cita singkat mendapati manajernya heran seperti itu.
“Nggak, sih, Cit, heran aja aku kok masih ada anak-anak. Kan tadi udah pada pamitan pulang semua, tinggal satpam di pintu gerbang aja sama aku yang masih di kantor. Makanya aku kira kamu sama Pak Satpam.” jelas Mas Bima.
“Yeee, kali ada yang balik tapi nggak bilang. Masa semua-semua laporan ke Mas Bima....” canda Cita sambil  terkekeh sekali lagi.
“Ah, kamu ini ada aja jawabannya. Ya udah, aku duluan. Hati-hati kamu, cepet pulang....” sahut Mas Bima sambil berjalan masuk ke lift.

DIARY ARWAH #2Where stories live. Discover now