BALKON

191 16 0
                                    

“Ma, ayo buruan!!!” seru suamiku dari dalam mobil.
“Iya ... iya ... sabar dikit dong!” sahutku sambil tergopoh-gopoh.
“Ya maaf. Hari ini kan sudah janjian sama yang punya rumah, nggak enak kalau telat.” kata suamiku saat aku masuk mobil dengan manyun.
“Ya, janji sih janji. Yang bikin telat kan bukan Mama, coba tadi kalau nggak nonton acara tinju dulu.” gerutuku.
“Iya ... iyaa, jadi Papa yang salah, maaf. Cakepnya ilang loh, Ma....” jawab suamiku sambil mencubiti pipiku.
“Iiiihhh..., tau ah, bawel” gerutuku sambil menepis tangan kirinya.
Aku dan suamiku baru saja pindah ke luar pulau lantaran perusahaan tempat ia bekerja melakukan rotasi karyawan besar-besaran dalam rangka regenerasi organisasi. Sudah seminggu kami berada di pulau ini dan masih tinggal di kos pasutri karena belum mendapatkan kontrakan yang pas di hati.
Weekend kali ini kami memutuskan untuk mencari rumah kontrakan yang bisa ditinggali secepatnya. Maka  berangkatlah kami menuju ke lokasi yang kami tuju dengan bimbingan Google Maps. Berhubung aku memutuskan untuk berwirausaha, maka aku akan banyak menghabiskan waktuku sebagai ibu rumah tangga di rumah. Karena itulah kami memutuskan untuk mencari rumah yang paling nyaman bagi kami.
“Pa, nanti kalau rumahnya aneh mending nggak usah aja, ya...?” kataku di tengah-tengah perjalanan.
“Idih, belum juga sampai sudah pesimis aja Mama ini.” sahut suamiku gemas.
“Bukan gitu, Pa! Papa kan tahu Mama sensitif banget.” keluhku.
“Sensitif sama bunyi, angin, sama listrik mati, maksud Mama?” sahutnya setengah berkelakar.
“Hiiihh! Papa kok sepagian udah bikin keki mulu!” gerutuku sabil menjewer daun telinganya.
“Adeeeh, deh, deh! Iya, iya.... Kan dari kemarin Papa udah setuju....” serunya sambil mengaduh.
“Papa enak, kerja, ada temennya. Mama tuh bakal banyak di rumah, bakal sering ditinggal lembur dan nggak ada temen.” gerutuku.
“Iya, Papa, kan, becanda. Pokoknya kita akan cari rumah yang nyaman untuk ditempati Mama, ya....” sahutnya kalem sambil mengusap-usap punggungku.
Akhirnya tibalah kami di lokasi perumahan yang dituju. Suamiku memarkirkan mobilnya di depan rumah. Kami melihat sudah ada bapak-bapak paruh baya yang menunggui kami di teras rumah. Jujur saja saat melihat kompleks perumahan ini aku langsung jatuh cinta karena sepanjang jalan ditumbuhi pohon-pohon besar dan rumput yang terawat, satpamnya juga tegas, dan suasananya pun tenang. Kami turun dan menghampiri Bapak tersebut. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, semua rumah dalam deretan itu berwarna biru langit dan memiliki balkon bernuansa putih di lantai dua.
“Pagi, Pak, saya Teo. Benar dengan Pak Singgih, ya?” sapa suamiku sambil mengulurkan tangan.
“Pagi, oh, bukan Pak. Nama saya Amri, saya asistennya Pak Singgih. Kebetulan Bapak mendadak ada urusan barusan, makanya kunci rumah dititipkan ke saya.” sahut Pak Amri ramah sambil mengambil kunci yang tergeletak di meja.
“Oh, begitu. Oh, iya, perkenalkan ini istri saya. “ kata suamiku.
“Halo, Pak! Saya Jeni.” sapaku sambil menjabat tangannya.
“Oh, iya, Bu.... Mari sekalian saya antar masuk untuk melihat-lihat kondisi rumah, siapa tahu nanti cocok.” kata Pak Amri seraya membuka pintu dan mempersilakan kami masuk ke dalam.
Kami masuk ke dalam rumah itu, tanpa AC yang menyala rumah itu memang sudah dingin karena lingkungannya juga teduh. Ditambah lagi pilihan warnanya berupa kombinasi antara biru langit cerah, putih dan biru dongker di beberapa sisi, membuat siapa saja yang berada di dalamnya nyaman.
Pak Amri dan suamiku terlihat sibuk mengecek ini dan itu, sedangkan aku mulai membuka pintu demi pintu yang ada di rumah itu. Rumah ini sepertinya memang didesain dengan sederhana dan simpel, tidak banyak sekat dan perabot. Di lantai satu terdapat ruang tamu dengan sofa warna hitam. Di balik sofa terdapat partisi yang merapat ke meja televisi dan satu set home theater dengan layar LED yang besar, kemudian di seberangnya terdapat sofa kuning cerah yang bisa jadi tempat duduk sekaligus tempat tidur. Satu meter di belakang sofa kuning itu ada mini bar yang dilengkapi dengan peralatan dapur portable dan di sebelah kiri mini bar itu terdapat kamar kecil dengan kloset duduk.
Selanjutnya di bagian kanan terdapat satu kamar tidur berisi AC , lemari,  kasur, dan meja rias. Ukuran kamar tersebut tidak luas dan tidak juga sempit, terlihat pas dengan ukuran perabot-perabot yang diletakkan di dalam kamar. Kemudian ada jendela seukuran satu setengah meter yang menghadap ke halaman belakang. Lalu aku menuju pintu belakang rumah dan membukanya lebar-lebar. Udara segar yang masuk mulai mengisi paru-paruku. Halaman belakang rumah ini cukup menyenangkan karena masih terawat dan di pinggir sebelah kiri terdapat pondok yang berisi wastafel, heater, dan gelas. Sepertinya pemilik rumah ini sering menghabiskan waktunya di pondok belakang rumah dan mendesain pondok ini untuk sekadar minum teh atau kopi bersama anggota keluarga yang lainnya.
Setelah puas dengan temuanku di lantai satu, aku memutuskan untuk naik ke lantai dua. Aku melihat suamiku dan Pak Amri sedang di teras mengecek instalasi listrik dan air rumah ini. Aku melangkah mantap ke lantai dua dengan menaiki tangga yang terdapat persis di sebelah kiri pintu belakang. Tangga menuju lantai dua didesain setengah melingkari ruang tengah. Begitu sampai di ujung atas tangga aku mendapati rak buku dan sofa baca yang dilengkapi dengan lampu bertangkai minimalis.
Di lantai dua ini nuansanya berbeda dari lantai satu, catnya berwarna cream lembut. Terdapat televisi seukuran 32” yang menempel di dinding. Aku berbelok ke kanan dan melongok ke bawah, aku melihat ruang tengah dari atas melalui balkon dalam rumah dan membalas lambaian suamiku dari dapur. Lalu aku membuka pintu yang ada di sebelah kiri, kamar di lantai dua ternyata jauh lebih luas dari perkiraanku. Jika melihat isinya, sepertinya kamar ini di desain untuk menjadi kamar utama karena memiliki dua jendela besar di bagian depan dan tembok kanan.
Selain itu, ada kasur berukuran jumbo dan lemari pakaian, terdapat kamar mandi dalam lengkap dengan wastafel, kloset dan bathtub. Lantainya ditaburi batu kali putih gading yang cantik sehingga membuatku kagum.
Saat aku masih sibuk terpana dengan kamar di lantai dua, tiba-tiba aku mendengar suara kain yang berkibar tertiup angin kencang di belakangku. Aku berbalik ke belakang dan menatap pintu kamar yang menjeblak terbuka namun tidak menemukan apa pun di sana.
Aku mulai merinding dan memutuskan untuk turun. Saat hendak melangkah keluar, aku melihat bayangan seseorang memantul di lantai pintu keluar. Aku menghentikan langkah dan memperhatikan bayanganku. Entah kenapa, aku merasa bayangan itu juga sedang memperhatikan bayanganku yang memantul di lantai. Sosok itu seolah menantiku keluar dari kamar dan ingin menerjangku. Jantungku berdebar hebat dan aku mulai mengobok-obok tasku untuk mengambil ponsel. Satu-satunya hal yang kupikirkan adalah menelepon suamiku yang sedang berada di bawah, aku membuka tombol kunci ponsel sampai akhirnya aku terperanjat hingga melompat di tempatku berdiri karena suamiku masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba.
“Ma, gimana, cocok nggak?” tanyanya.
“Aaah!” seruku seraya menjatuhkan ponselku.
“Eh, kok, malah kaget?” tanya suami yang langsung menghambur masuk dan dan memegangiku supaya tenang.
“Papa, ngagetin banget, sih! Ponsel Mama jadi jatuh.” sahutku sambil memungut ponsel di lantai.
“Kan Papa nanya, kalau Mama fokus pasti nggak pakaui acara kaget.” tegur suamiku.
“Iya, Pa. Tadi mau liat ponsel aja sih, makanya nggak liat Papa. Sudah lihat balkonnya?” Aku beralasan dan langsung mengalihkan topik pembicaraan.
“Belum. Yuk lihat balkonnnya?” ajak suamiku.
Kami langsung keluar kamar dan mendapati Pak Amri yang membuka pintu balkon. Udara pengap yang membungkus ruangan mendadak sirna, membuatku merasa lebih baik. Namun, yang terjadi saat aku melangkah ke balkon adalah kepalaku sebelah kiri seperti dipukul dengan martil dan tubuhku mendadak merinding luar biasa.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya Pak Amri tiba-tiba. Sekilas matanya melirik kulit tanganku yang mulai meremang.
“Tidak apa-apa, Pak. Tapi mendadak kepala saya kok sakit dan kedinginan.” sahutku mencoba tenang.
“Wah, kita turun aja, yuk? Mungkin kamu kecapekan.” ajak suamiku.
Aku patuh saja dan ikut berbalik. Aku melirik Pak Amri saat ia menutup pintu balkon dengan sedikit tergesa-gesa. Sesampainya di bawah, suami memintaku untuk masuk ke mobil terlebih dahulu. Aku meletakkan tasku di kursi belakang dan minum air mineral yang kami sediakan di mobil. Lalu aku mengintip suamiku dari kaca spion. Ia tengah sibuk mengutak-atik pot-pot yang ada di teras, sedang Pak Amri sudah tidak ada. Mataku menangkap sosok seorang wanita bergaun putih sedang berdiri di balkon. Perhatiannya tertuju ke arah suamiku yang ada di halaman.
Aku merinding dibuatnya dan refleks melongok keluar jendela seraya melihat ke arah balkon. Tidak ada siapa pun di sana. Aku mengembuskan napas lega dan memasukkan kepalaku lagi ke dalam mobil. Aku kembali menatap kaca spion, lagi-lagi dikejutkan oleh sosok wanita yang sama. Kali ini dia menatapku lurus.
Aku menoleh ke luar jendela melihat balkon sekali lagi, namun wanita tersebut tidak ada di sana. Aku memberanikan diriku berbalik sekali lagi dan melihat ke arah spion, jantungku serasa berhenti mandapati muka hitam legam bergaris-garis putih milik wanita itu telah memenuhi seluruh permukaan kaca spion. Mukanya bengis, ia tersenyum jahat, dan matanya bagaikan mata ular yang kelaparan. Mataku berat dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

DIARY ARWAH #2Where stories live. Discover now