18. Pulang

26.6K 1.9K 235
                                    

"Maafkan saya Halinka. Saya benar-benar minta maaf. Saya mencintaimu."

Samar-samar Halinka mendengar suara yang akhir-akhir ini sangat ia rindukan. Perlahan matanya terbuka. Ia melihat ada sebuah tangan kekar melingkar di perutnya. Sudah bisa dipastikan kalau tangan itu milik Haikal, suaminya yang sudah dua malam tak pulang.

Tapi, apakah benar itu Haikal? Apakah benar Haikal sudah pulang? Halinka membalikkan tubuhnya ke samping kiri, dan benar saja, di sana ada Haikal yang sedang memandang ke arah Halinka dengan tatapan amat sangat bersalah.

Ya, ia merasa sangat bersalah karena sudah meninggalkan istrinya, ia merasa bersalah karena tidak memberi kabar kepada istrinya.

"Maaf, saya mengganggu tidurmu," ucap Haikal.

Halinka diam tak menjawab. Rasa sakit itu masih terasa di hatinya, tapi ia pun tak bisa memungkiri, bahwa dirinya benar-benar merindukan suaminya.

"Halinka, kamu baik-baik saja kan?" tanya Haikal khawatir ketika Halinka tak kunjung menyahutinya.

Halinka mengembuskan napas panjangnya. Rasanya ia ingin mengomeli Haikal habis-habisan, karena pria itu sudah meninggalkannya demi masa lalunya. Dan dengan tidak merasa bersalahnya, dia pulang ke rumah dengan sikap seolah-olah tidak ada masalah apapun.

Halinka bangkit dari posisi tidurnya. Dia melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Waktu menunjukkan pukul 3 lebih lebih 20 menit. Itu tandanya masih ada waktu untuk melaksanakan shalat tahajud.

Haikal yang melihat sikap Halinka seperti itu hanya bisa pasrah. Toh, ini juga salahnya yang tak memberi kabar kepada istrinya itu. Haikal mengerti, pasti Halinka sangat kecewa padanya. Siapa yang tak kecewa ditinggal suami tanpa diberi kabar sedikit pun?

"Halinka, semoga kamu memaafkan saya," batin Haikal.

***

Entah harus bersikap seperti apa aku sekarang. Mas Haikal sudah pulang, dia tidak seperti Bang Toyib yang tiga kali lebaran tak pulang-pulang. Dia hanya meninggalkanku dua malam saja. Tapi tetap saja, aku kesal padanya.

"Halinka," panggil Mas Haikal yang sedang duduk di meja makan bersama Vinka. Sedangkan aku sedang memasak sayur bayam di dapur. Memang, dapur dan ruang makan hanya dibatasi oleh gorden saja. Jadi suara Mas Haikal bisa terdengar jelas di telingaku.

Aku hanya menyahutinya dengan gumaman saja.

"Hari ini kamu tidak usah ke kafe. Kita jalan-jalan aja, sama Vinka juga," ujar Mas Haikal.

Dia mengajakku jalan-jalan? Oh, jika mood-ku sedang baik, mungkin dengan senang hati aku akan menyetujuinya. Tapi kali ini mood-ku sedang tidak baik-baik saja.

"Aku sedang tidak mau jalan-jalan," tolakku tanpa basa-basi.

"Yah... padahal Vinka mau jalan-jalan, Kak."

Aku tak menghiraukan ucapan Vinka. Aku mematikkan kompor, lalu memasukkan sayur bayam yang sudah matang itu ke dalam mangkuk yang cukup besar, dan membawanya ke meja makan.

"Halinka, kamu sakit?" tanya Mas Haikal ketika aku sudah duduk di sampingnya.

Aku hanya menggeleng. Biarlah aku bersikap seperti ini dulu, biar Mas Haikal menyadari apa kesalahannya itu, atau lebih bagusnya dia mau menjelaskan semuanya, terlebih hubungannya dengan Mbak Tissa. Oh, omong-omong ingat Mbak Tissa, dia apa kabar ya? Apakah dia sudah sehat sehingga Mas Haikal sudah pulang?

"Pak Asep bilang, kemarin kamu sama Vinka pulang jalan kaki ya?" Mas Haikal bertanya lagi.

"Iya, kemarin Vinka sama Kak Halin pulang jalan kaki, Bang," jawab Vinka.

Pendamping HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang