BAB 4

1 0 0
                                    

2001

Seminggu lebih sudah kelas 2 berjalan. Lala benar, Ia cocok dengan Fatma. Fatma tidak terlalu memilih duduk dimana. Tapi tentu saja Fatma tidak punya pilihan, Ia hampir selalu datang saat bel berbunyi. Memangnya posisi kursi mana yang akan tersisa disaat seperti itu. Saat Lala kesiangan dan harus duduk tepat di depan meja Guru, Fatma hanya tersenyum santai. Lala mengingat kembali sejak kapan dia takut duduk paling depan ya. Dulu waktu SD dan SMP Lala bahkan dengan percaya diri memilih duduk di depan. Sekarang , malah panas dingin jika harus duduk paling depan.

Hari ini Lala datang pagi, ia tak mau duduk paling depan lagi. Apalagi hari ini ada kelas Fisika. Big No No. Yak...kursi ketiga masih kosong. Lala segera bergegas, meletakkan tas dengan bahagia. Akhirnyaaaa..... Tak lama setelahnya, Lala melihat Shely datang. Kursi yang ditempati Lala sekarang sering menjadi kursi Shely dan Mika. Apa Shely akan duduk bersamanya? Rasanya tidak. Lala tidak merasa keberatan duduk dengan Shely, mereka lumayan akrab. Mika bisa duduk dengan Fatma. Tapi ia ragu Shely akan duduk dengannya. Anak perempuan tidak seperti anak laki laki, mereka bebas duduk dengan siapa saja. Sedang anak perempuan, meski berpindah duduk, teman sebangkunya tetap. Dan seperti yang diduga, Shely memilih kursi disisi lain. Lala pun akan sama, tetap akan duduk dengan Fatma dimanapun posisinya. Betapa Lala salah tentang itu suatu saat nanti, tapi tentu saja hari ini Ia belum tahu.

Lala mengeluarkan bukunya. Biologi pagi ini, menyenangkan. Dia suka Biologi. Gurunya pun menyenangkan. Ia membaca baca sedikit. Fatma akan datang menjelang bel masuk atau sesudahnya malah. Sekitar 10 menit lagi. Lala begitu asyik membaca buku, ia tak menyadari seseorang lewat dan duduk di belakang kursinya.

"Hey Bi...sini duduk sini" teriakan dari belakang kursinya mengagetkan Lala. Ia menoleh dan melihat Indra. Indra tersenyum, Lala pun tersenyum. Saat itu Lala melihatnya. Biyan berjalan santai menuju kursi di belakangnya. Hatinya berdebar begitu kencang. Ia melihat Biyan meletakkan tasnya dan duduk. Biyan menatap Lala.

"Hai...Biyan. Belum sempat kenalan...." Biyang mengulurkan tangannya.

"Lala..." jawabnya pendek.

"Aku duduk di belakangmu ya..." ucapnya sambil tersenyum. Lala hanya mengangguk, Ia tak sanggup melihatnya lebih lama. Ia segera berbalik dan menatap ke depan. Buku Biologi ada di depannya tapi ia sungguh tak bisa membaca lagi. Biyan duduk di belakangku. Biyan duduk di belakangku. Hanya itu yang ada di kepalanya. Ia mendengar suara Biyan berbicara dengan Indra. Ia tak mendengar pasti apa yang mereka bicarakan. Lala hanya berkonsentrasi mendengar suaranya. Biyan tertawa..oh seperti ini suara tawanya. Sungguh merdu di telinga Lala. Lala hanya diam duduk disana memandang bukunya, kepalanya kosong.

"Ahh..hampir saja...." suara Fatma mengagetkan Lala.

"Eh...." Lala hanya memandang kosong Fatma yang masih tersengal sengal. Sepertinya ia habis berlari dari tempat parkir. Tak lama Bu Sinta guru Biologi masuk ruangan. Lho sudah bel ternyata pikir Lala. Dia tak mendengarnya tadi. Ia melirik sekilas pada Biyan. Dia tersenyum sambil mendengarkan cerita Indra. Pipi Lala terasa panas. Ini buruk pikirnya. Cepat cepat ia menoleh ke depan. Siap memulai hari ini, atau mungkin tidak.

2 jam pelajaran Biologi terlewati. Lala bersyukur Biologi adalah salah satu pelajaran favoritnya, Bu Sinta pun guru yang menyenangkan. Untuk sejenak ia bisa berhenti memikirkan Biyan. Sekarang adalah pelajaran Matematika. Bagi Lala matematika seperti punya hate and love relationship dengannya. Lala sesungguhnya suka Matematika, dulu dia cukup hebat. Tapi ia tak mengingat kapan awalnya Matematika jadi momok untuknya. Jika mengingatnya Lala kesal sekali. Apa yang salah sebenarnya ?? Walau sudah berusaha masih saja Matematika terasa sulit. Lebih buruk lagi dengan Fisika. Ia bahkan tak bisa bilang Fisika sulit karena sepertinya ia malah tak mengerti apa apa. Kalau kau bisa berkata sulit berarti setidaknya ada yang kau pahami. Tapi tidak dengan Fisika dan Matematika. Ia tidak bisa bilang sulit karena merasa tidak paham sama sekali. Tanpa sadar Lala menarik napas panjang dan berat, menarik rambutnya sendiri. Sebuah hentakan kecil di kursinya membuatnya mendongak dan menoleh. Di belakangnya Biyan tersenyum menatapnya.

"Jangan stress duluan. Matematika memang susah tapi tak perlu sampai wajahmu seperti itu...hehehehe"

Lala hanya bisa membuka dan menutup mulutnya untuk sesaat. Tuhan, Biyan bicara padanya.

"Eh..anu..eh iya..." hanya itu yang terucap dari mulut Lala

"Hahaha....tenang aku juga ga jago Matematika...ga kamu aja" Biyan terkekeh.

"Nilainya matematikanya jelek....percayalah" Indra ikut masuk dalam obrolan.

"Kayak nilaimu oke aja Ndra..." ucap Biyan

"Yahh beda tipis aja....." sahut Indra

"Tipis apanyaaaa?? Aku dapet nilai 44, kamu 48....itu sama aja..." kata Biyan

"Beda dong...kalo dibulatkan, aku jadi 5, kamu kan jadi 4....beda satu level dooong" Indra tak mau kalah.

Lala hanya tersenyum memandang Biyan dan Indra yang masih bertengkar.

"Lah La...memang kemaren dapet berapa nilainya?" Fatma bertanya. Rupanya sedari tadi ia mendengarkan kami mengobrol.

"Eh....." Lala kaget dan malu mendengar pertanyaan Fatma. Andai ia berkulit seputih Fatma pasti mukanya merah seperti udang rebus. Saat saat seperti ini Lala merasa bersyukur dengan kulitnya yang sawo matang. Sawo busuk kalau goda kakanya.

"Berapa?" Indra bertanya. Biyan diam mendengarkan.

"Itu...dulu sempat dapat 37" Lala menjawab sambil menduduk.

"Huahahahaha....." Seketika Biyan, Indra, dan Fatma tertawa keras. Lala hanya bisa makin menunduk. Malu.

Tuk...Lala merasa ada pukulan kecil di kepalanya.

Rupanya Biyan memukulnya dengan bolpoin. Tersenyum ia berkata "Hey tidak apa apa...ndak usah malu."

"Gapapa La...kelas 2 harus semangat...semangat.." ucap Fatma memberi semangat Lala. Fatma memang seperti itu. Selalu penuh semangat. Ia ingin jadi dokter katanya. Lala kagum Fatma sudah tahu apa yang diinginkan. Sedangkan dia semuanya masih belum jelas. Lala merasa tidak punya apa apa yang menonjol.

"37 kalau dibulatkan jadi 4 kan...sama tuh dengan Biyan" Indra terkekeh.

"Wih iya La...noh kita berdua selevel. Biarin Indra di level 5 sendirian...kita berdua aja." timpal Biyan.

Kita berdua. Lala tersenyum untuk kalimat terakhir itu. Itu terdengar indah walau ia tahu maksud kata kata Biyan tidak seperti itu. Tapi karena kata kata itu, nilai 4 terasa tidak terlalu buruk. Hihihi Lala terkikik sendirian. Menertawai pikiran bodohnya.

Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan. Guru Matematika sudah hadir. Lala pun segera mengubah posisi duduknya menghadap depan. Tapi sebelum ia benar benar menghadap depan, ada tepukan di bahunya. Tampak Biyan mencondongkan tubuhnya ke depan sedikit dan berkata pelan

"Lebih banyak tersenyum seperti tadi bagus La..."

Lala memandang Biyan, ia masih mencerna kata kata Biyan. Biyan tersenyum padanya. Dari gerakan kepalanya, ia menyuruh Lala segera menghadap depan. Pelajaran telah dimulai. Lala menghadap ke depan, memandang papan tulis. Pak Lukman sedang menjelaskan bab untuk hari ini. Tapi Lala susah mendengarkan, Ia tidak ingin menghadap ke depan. Ia ingin menoleh ke belakang saja. Menatap dan bicara dengan Biyan. Saat itu Lala sadar, keluar dari level 4 di Matematika sepertinya agak sulit dilakukan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 02, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Biyan Lala : Keeping My Love Behind My SmileWhere stories live. Discover now