Kesembilan Belas (Part 2)

2K 222 63
                                    

Marcel kembali membuka matanya saat dirinya merasakan rasa perih dan dingin yang menusuk-nusuk. Dia langsung membelalakkan matanya sambil terengah-engah. Jantungnya berdetak sangat cepat hingga dia takut jantung itu akan meledak sekarang. Apa yang dilihatnya sekarang mungkin justru semakin membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Laki-laki itu berdiri dengan angkuhnya sambil membawa ikat pinggang panjang di tangan kanannya dan ember di tangan satunya. Marcel menyadari pakaiannya basah dan sepertinya air yang digunakan untuk menyiramnya bukanlah air biasa, mungkin air es? Karena rasa dingin itu terlalu menusuk kulitnya.

"Katakan di mana dokumen-dokumen itu!" teriak laki-laki itu bahkan tanpa memberikan kesempatan untuk Marcel mengembalikan setengah nyawanya yang masih terbang. Tapi justru hal yang dilakukannya kemudian membuat kesadaran Marcel kembali 100%.

Dua kali cambukan mendarat dengan mulus di paha dan kaki Marcel. Satu-satunya bagian tubuhnya yang terbebas dari luka itu kini ikut terluka. Dia merasakan panas dan perih di paha dan kakinya ketika cambukan-cambukan lain mendarat di bagian yang sama, membuat Marcel meringis sakit, tapi hal itu rupanya tidak membuat laki-laki yang notabene ayahnya sendiri ini menghentikan aksinya. Dia justru seolah semakin menikmati apa yang dia lakukan.

"Di mana dokumen itu?!" tanya laki-laki itu sekali lagi, tapi Marcel masih tetap kukuh pada pendiriannya, memilih untuk terus diam sambil menikmati rasa sakit yang terus bertambah setiap kali orang itu menyayunkan ikat pinggang di paha dan kakinya.

"Sekeras apapun anda memukuli saya, bahkan sampai saya mati, anda tidak akan pernah mendapatkannya," kata Marcel dengan tenang, padahal bibirnya sudah bergetar hebat, pandangannya bergoyang, belum lagi dengan kepalanya yang berdenyut sakit, melengkapi sekujur tubuhnya yang seolah tengah diremukkan.

Plak! Plak! Plak! Plak!

Empat buah tamparan mendarat di pipi Marcel sebelum pukulan keras dilayangkan tepat di dada dan perut Marcel, membuatnya kembali memuntahkan darah dan lagi, kegelapan memenuhi dunianya, tapi dia benar-benar menolak untuk menyerah. Ada orang-orang di luar sana yang menunggunya kembali.

"Pandu!" teriak laki-laki itu sambil terengah-engah, kelelahan setelah menyalurkan seluruh emosinya pada tubuh anaknya sendiri. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang dipanggil Pandu tadi berlarian masuk ke dalam ruangan gelap itu sambil merapikan pakaiannya.

"Cari tau di mana Marcel menyembunyikan dokumen-dokumen itu, sekarang!"

"Baik Tuan!" Pandu mengangguk mengerti sebelum memohon diri, meninggalkan laki-laki itu yang mengusap wajahnya frustasi. Gagal, seluruh rencananya yang dia susun bertahun-tahun gagal begitu saja. seluruh usahanya berantakan dan anak-anaknya sendirilah yang membuatnya berantakan.

"Sial!" Laki-laki itu membanting gelas yang akan dia minum ketika kekesalannya masih berkumpul di ubun-ubun, siap meledak. Andai dulu dia tidak melakukan tindakan bodoh itu, semua tidak akan terjadi, hidupnya tidak akan seberantakan ini.

"Ada orang di luar?!" Tiga orang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu dan memberikan hormat pada laki-laki itu sambil menunggu perintah yang akan diberikan pada mereka.

"Cari tau apa yang dilakukan Evan sekarang, pastikan dokumen Marcel belum sampai di tangan dia. Mata-matai dia dan laporkan apapun yang kalian lihat."

"Baik Tuan!"

^^^

Manik mata coklat itu menatap tubuh yang tengah tertidur damai dengan jarum infus tertancap di punggung tangannya lekat-lekat. Sesekali dia mengusap kening basah itu dengan tangannya dan merapikan rambut pendek yang sedikit berantakan itu. Entah kenapa, melihat laki-laki itu terbaring lemah seperti sekarang membuat perasaannya tak menentu.

Esperanza ✓Where stories live. Discover now