Kedua Puluh Dua (Part 1)

2.1K 244 74
                                    

"Van, ini semua bukti-bukti yang ada di lo?" tanya Mario sambil menunjuk tumpukan berkas-berkas yang berhasil Evan kumpulkan sebagai bukti kejahatan Rahardian. Sayangnya dari kesemua berkas yang Evan bawa sepertinya masih sangat kurang untuk menghukum Rahardian seberat-beratnya.

"Kita kekurangan bukti-bukti." Meskipun tidak ingin membenarkan kata-kata pengacaranya, namun memang itulah kenyataannya, mereka kekurangan bukti. Mereka mungkin hanya bisa menuntut Rahardian dengan percobaan pembunuhan pada Evan dan Aga. Tuntutan penggelapan dana pun masih sedikit sulit karena kurangnya saksi yang bisa membantu mereka kecuali Bella. Mereka bahkan tidak bisa meminta pengadilan membuka kembali kasus kebakaran yang membunuh orang tua Evan karena kurangnya bukti yang ada.

"Andai Marcel sadar." Evan tanpa sadar menyuarakan pikirannya yang hanya dibalas tarikan napas panjang oleh Mario. Marcel memang kunci dari semuanya. Dia yang mengetahui kejahatan Rahardian. Kesaksiannya bisa semakin menguatkan tuntutan penggelapan dana yang Rahardian lakukan, tapi itu juga akan menyeret Bella dan Marcel ke dalam masalah.

"Persidangan pertama, kita harus menyerahkan semua bukti-bukti ini. Aku akan mengirimkan detail yang harus kamu katakan di persidangan nanti agar posisi kita semakin diuntungkan." Diego yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. Pengacara muda yang sedang naik daun itu memeriksa berkas-berkas yang ada, memilah mana yang harus dia bawa untuk diserahkan pada hakim besok.

"Bang?" Ketiga kepala itu refleks menatap pintu ruang kerja Evan di mana Aga tengah berdiri samping menatap kakaknya. Evan menyuruhnya masuk, sementara Diego meminta izin untuk kembali ke kantornya, menyusun segala hal yang dia butuhkan untuk persidangan besok.

"Abang manggil aku?" tanya Aga bingung. Dia sudah duduk di samping kakaknya dengan mengenakan setelan olahraga berwarna putih, sepertinya dia baru saja berolahraga di belakang rumah.

"Ga, inget Mario yang nganterin Aga pulang ke sini waktu itu?" Aga menatap Mario sejenak sebelum mengangguk. Di mimpinya, laki-laki itu membawanya ke banyak tempat yang luarbiasa dan dia sangat menyukainya.

"Mario bisa bantu kamu mengingat semua yang kamu lupakan selama 10 tahun ini. Kamu mau kan terima bantuan Mario? Kita gali semua kenangan kamu, semua yang kamu pikir mimpi." Tidak ada suara apapun yang keluar dari mulut Aga. Dia bungkam, benar-benar bungkam, sesekali memandang Evan dan Mario bergantian sebelum akhirnya mengangguk. Dia ingin mengingat semuanya, entah kenangan buruk atau kenangan indah, dia ingin memeluk seluruhnya.

"Kalau mulai hari ini gimana?"

"Iya, tapi Abang keluar dulu. Aku mau berdua aja sama Bang Mario." Mario sedikit kaget mendengar Aga memanggilnya dengan tambahan Bang di depan namanya. Dia tidak pernah membayangkan Aga akan memanggilnya seperti itu. Benar kata Evan, perubahan Aga benar-benar luarbiasa. Aga sedewasa Evan sekarang, hal yang masih sangat sulit untuk dia terima.

"Oke, Abang keluar." Aga mengangguk patuh. Membiarkan Evan mengacak rambutnya sebelum beranjak pergi meninggalkannya dan Mario berdua di dalam ruang kerja Evan.

"Bang," Evan kembali menghentikan langkanya dan berbalik saat mendengar panggilan Aga. Dia pikir Aga membutuhkannya. Dia sudah hampir kembali ke sisi Aga, namun kata-kata yang adiknya katakan itu menahan langkahnya. "Makan."

"Iya."

"Obatnya jangan lupa diminum."

"Abang gak lagi sakit Ga."

"Terserah Abang aja."

^^^

Untuk waktu yang lama, keduanya hanya terdiam, Aga memandangi ujung sepatunya sambil sesekali menggerak-gerakkan kaki sedangkan Mario memandangi Aga. Mario tahu Aga tidak nyaman bersamanya. Dia terlihat sangat gelisah, karena itu Mario menunggu hingga Aga sedikit tenang daripada membuatnya tertekan.

Esperanza ✓Where stories live. Discover now