Knot#7: It's My Turn?

1.8K 281 44
                                    

Power is just so much part of the human being because power is survival.

But I wonder if that is the best way to survive, by kiling someone else.

Laura Huxley


Aku memejamkan mata, menghitung mundur dari sepuluh hingga satu sambil memberikan sugesti kalau ancaman Bianca kemarin bukan apa-apa. Toh aku betul-betul nggak ada apapun sama Cello. Kami hanya ngobrol sebentar, itu saja.

"Semua akan baik-baik saja," sekali lagi aku mensugesti diri kalau tak ada yang perlu ditakutkan sebelum membuka pintu kelas. Begitu pintu itu terbuka, suara riuh yang semula berasal dari obrolan murid-murid saat menunggu kelas dimulai mendadak senyap. Sebagai gantinya, puluhan pasang mata itu tiba-tiba mengarahkan pandangannya padaku yang sontak merasa panas dingin karena jadi pusat perhatian. Namun, hanya perlu beberapa detik saja untuk mereka semua melengos dan melihat ke arah lain, seolah tak menganggap kehadiranku.

Semuanya, kecuali Bianca, yang masih duduk tenang di bangkunya sambil membaca sebuah buku.

Gugup, aku melangkah menyusuri lorong antar meja untuk mencapai bangkuku sambil menundukkan kepala sedalam mungkin. Entah karena pikiranku sedang tidak fokus atau memang aku sedang sial, tiba-tiba saja kakiku terantuk oleh sesuatu. Tanpa bisa dicegah, tubuhku langsung jatuh terjerembab ke depan dan mendarat dengan lutut lebih dulu.

"Aduh!" teriakku spontan saat tanganku jatuh membentur lantai. Refleks aku langsung menengok ke belakang, mencari tahu apa yang membuatku jatuh tadi. Mataku langsung mengerjap tak percaya saat melihat Ellen lamat-lamat menarik kakinya sambil memberikan tatapan tak berdosa. Apa dia sengaja melakukannya?

Tak ingin lama-lama di posisi ini, aku bersiap untuk berdiri. Namun kemudian kurasakan ada cairan dingin membasahi kepalaku. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku terlonjak kaget.

"Hey! Apa-ap—" kata-kataku terhenti seketika saat melihat Tata tengah mengencangkan botol air mineral yang ada di tangannya. Ekspresi datar terpasang di wajahnya.

"Ups, sori," katanya santai. "Tangan gue kepeleset."

Aku menggigit bibir. Tangan kepeleset? Hah! Mana ada alasan kayak gitu! Namun toh aku memilih untuk diam dan mengusap air di rambutku, lantas bergegas melanjutkan langkah menuju meja. Setidaknya aku aman disana, pikirku. Begitu mejaku terlihat, aku seperti dihantam tepat di ulu hati.

Bunga lili putih yang selama beberapa hari ini bertengger manis di atas meja Anne telah pindah ke mejaku. Tak hanya itu saja, di atas meja juga sudah ada pigura bingkai hitam dengan fotoku terpajang disana. Gemetar, aku buru-buru memindahkan bunga lili itu kembali ke meja Anne, kemudian mengambil bingkai foto itu dan menyembunyikannya di laci meja. Sekilas aku mengedarkan pandangan ke arah teman sekelas yang bersikap biasa saja. Mereka bahkan tak mau repot-repot menoleh padaku.

Sambil terduduk lemas di kursiku, aku memejamkan mata dan menyembunyikan wajah dibalik lipatan tangan. Mencoba merenungi apa yang baru saja terjadi.

Jadi... Setelah Anne, sekarang giliranku untuk dirisak?

* * *

Aku tak pernah menyukai pelajaran olah raga, walau bukan berarti aku membenci pelajaran itu. Namun hari ini aku membenci pelajaran itu berkali lipat dari sebelumnya.

Penyebabnya adalah Tata. Kapten tim basket putri di sekolah kami siang ini memerankan perannya sebagai tokoh antagonis dengan sangat baik. Karena Pak Joseph, guru olah raga kami, memintanya untuk jadi asistennya selama pelajaran ini, Tata seolah mendapat lampu hijau untuk mengerjaiku dengan berbagai alasan.

[URBAN THRILLER] Vie Asano - Suicide Knot (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang