Dua

44.3K 8.3K 470
                                    

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Ketukan di pintu membuatku mengangkat kepala dari layar komputer. Digda masuk sambil memamerkan senyum lebar. Dia duduk di depan mejaku tanpa menunggu aku persilakan.

"Sudah saya revisi sesuai hasil rapat kemarin, Mbak," katanya sambil mengulurkan map plastik. Kami kemarin mengevaluasi penjualan produk yang menurun dua bulan terakhir, dan memutuskan untuk melakukan penyesuaian pada rencana kerja yang sudah kami tetapkan di awal tahun. Kami butuh promosi yang lebih gencar untuk menaikkan penjualan. Digda yang aku minta menyusun rencana baru sesuai kesepakatan rapat.

Aku kembali menatap monitor. "Taruh di situ saja, nanti saya periksa," jawabku malas. Entah mengapa, kehadiran Digda membuatku teringat percakapan iseng saat makan siang tadi. Pacaran dengan bocah ini? Ya Tuhan, yang benar saja!

Anak ingusan di depanku ini sama sekali tidak menyerempet, apalagi sampai masuk dalam kriteria laki-laki yang kuinginkan sebagai pasangan. Aku suka laki-laki berkulit cokelat karena kesannya sangat lelaki, jantan, sedangkan digda berkulit putih bersih. Teramat sangat bersih, terutama wajahnya, sehingga aku curiga dia melakukan laser untuk menghilangkan bulu-bulu yang sejatinya tumbuh di situ. Aku memang bukan pencinta lelaki dengan kumis dan jenggot selebat hutan rimba, yang akan membuat jari-jari yang mengusap rahang dan dagunya tersesat dan tidak bisa menemukan jalan pulang, tetapi laki-laki yang sesekali terlihat berantakan dan tidak bercukur 2-3 hari akan terlihat seksi. Melihat wajah mulus Digda membuatku merasa sedikit terintimidasi dan gagal sebagai perempuan. Untuk terlihat kinclong seperti sekarang, aku butuh perawatan rutin yang biayanya tidak murah.

Tidak, aku tidak akan mencari pasangan yang warna kulitnya lebih pucat daripada aku yang sudah termasuk kategori putih. Aku butuh laki-laki dengan produksi melanin lebih. Tentu saja banyak yang tidak akan sependapat denganku. Tidak masalah, selera itu sifatnya pribadi, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.

Dari segi penampilan fisik saja, Digda akan langsung tereliminasi dari kemungkinan menjadi pasanganku. Apalagi dari soal umur. Dan itu ada dalam daftar teratas persyaratanku untuk pasangan. Harus yang lebih tua, titik. Tidak ada kompromi sama sekali tentang umur. Aku konsisten soal itu. Pacar-pacarku sebelumnya semuanya lebih tua. Ada yang hanya setahun di atasku, tetapi tetap saja dia lahir lebih dulu.

Aku tidak tahu berapa umur Digda. Aku juga kayak kurang kerjaan kalau sampai menanyakannya, tetapi aku bisa mengira-mengira dengan memperhitungkan, karena dia langsung bekerja sebagai stafku setelah selesai kuliah.

"Keponakan saya nih, Kenzie," bosku, Pak Badhra memperkenalkan saat pertama kali membawa Digda di ruanganku, hampir setahun lalu. "Baru banget pulang main kangguru. Dia beneran harus mulai dari bawah, jadi dia akan belajar di divisi kamu dulu. Jangan segan-segan diomelin kalau dia bikin kesalahan. Dia paling cocok jadi staf kamu, biar dia tahu rasanya digalakin. Tipe anak mama banget dia. Tolong perkenalkan sama dia gimana kerasnya dunia kerja, supaya dia tahu ada kehidupan yang nggak senyaman hidup dia di dalam rumah."

Jadi, kalau Digda benar-benar baru tamat tahun lalu, umurnya paling tua, ini paling tua, ya, sekitar 25 tahun. Masalahnya, bocah itu terlihat jauh lebih muda daripada seorang laki-laki yang berumur 25 tahun. Mungkin karena pengaruh kulit putih dan wajah mulusnya. Dia kalau mengaku mahasiswa semester awal pun, orang akan percaya dengan mudah.

Dan aku pacaran dengan orang seperti itu? Maaf saja, tapi terlihat seperti Tante Girang saat menggandeng dia di mal sama sekali tidak ada dalam rencana masa depanku. Aku butuh laki-laki yang terlihat matang, untuk umurku yang juga sudah matang ini.

"Ada yang lain lagi?" Aku masih mempertahankan intonasi malasku yang datar saat menyadari Digda masih duduk tenang di depanku.

"Nggak diperiksa dulu, Mbak?" Senyum bocah itu spontan mengembang lagi saat melihat lirikan engganku. "Biar bisa langsung didiskusikan?"

My Brondong Mistake - TERBITWhere stories live. Discover now