Tiga

39.5K 7.5K 378
                                    

Wah... nggak nyangka bintangnya bakal nyampe 1K di part awal gini. Biasanya kan baru rame setelah di atas 10 part. Tengkiu... Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss....

**

Si Bocah Digda itu mungkin merasa punya sembilan nyawa seperti kucing, sampai nekad membuang-buang nyawa cadangan dengan menantangku. Membuatku mendatangi restoran kakaknya melalui Pak Badhra jelas kuanggap tantangan. Aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Aku akan membalasnya begitu ada kesempatan, supaya dia tahu berhadapan dengan siapa.

"Lo jangan lebay deh," sambut Helen sambil tertawa keras saat kami sudah dalam perjalanan menuju restoran itu. Dia dan Dini bergabung denganku karena tidak membawa kendaraan sendiri. "Hanya lo kali, yang ngomel panjang kali lebar gitu saat ditawarin makanan gratisan."

Bukan bermaksud sombong, tetapi aku sudah melewati tahap meloncat-loncat kegirangan saat ditawari makanan gratis. "Gue nggak semurah itu juga, kali. Gue lebih suka kelonan sama guling daripada ikut bayi ke restoran keluarganya. Nggak penting banget," gerutuku sebal.

"Dia bukan bayi lagi, Ken," Dini sepertinya tidak mau ketinggalan menyumbang korek api pada genangan emosiku yang sudah disiram bensin oleh Helen. "Dia pasti sudah jago banget bikin bayi-bayi lucu. Produksi hormonnya sedang dalam puncak performa. Kalau beneran nggak punya partner tetap buat diajak main kuda-kudaan karena fokus ngejar lo, dia pasti mainan lotion tiap hari."

Pernikahan itu membuat percakapan tidak senonoh seperti ini dianggap normal, karena itulah yang terjadi kepada kedua sahabatku ini. Sebelum menikah dulu, mereka masih enak diajak ngobrol. Sekarang, semua obrolan, tidak peduli apa pun temanya, ujung-ujungnya akan berakhir pada aktivitas di tempat tidur. Pembicaraan akan dianggap garing kalau tidak dibumbui hal-hal yang berbau porno.

"Tapi anaknya kelihatan polos," Helen membantah Dini. "Kayak yang belum pengalaman gitu."

"Hallah, nggak mungkin. Itu pencitraan doang. Lo jangan gampang tertipu penampilan dong. Mana ada orang yang sekolah di luar belum pengalaman ditungganggi cewek. Tiap hari lihat orang make out, bahkan mungkin ML di depannya, nggak mungkin nggak kepengen. Kecuali kalau dia nggak normal. Tapi nyatanya dia normal banget karena bisa tertarik sama cewek cakep, meskipun nggak seangkatannya, kayak Kenzie."

Ya ampun! Aku mendengkus, tetapi tidak berniat protes.

"Dia beneran kelihatan polos kok," Helen masih tidak mau kalah, dan terus melayani Dini. Aku hanya bisa menggeleng-geleng, berusaha konsisten untuk tidak terlibat percakapan tidak bermutu itu. "Gue bahkan kepikiran si Kenzie yang akan ngajarin dia ciuman."

"Hei...hei...hei, Guys," aku menelan keinginanku untuk tidak ikut campur saat mendengar kalimat Helen yang kelewat batas. "Gue di sini lho. Dan gue nggak akan ciuman sama bayi. Gue nggak nafsu sama bau minyak telon."

"Gue yakin dia pakai Hugo Boss, bukan minyak telon, Kenzie. Meskipun akal sehat lo menolak buat terima, tapi si Digda itu tetap saja laki-laki dewasa." Helen masih cengengesan. "Lo ada-ada aja. Gue nggak bisa bayangin ada laki-laki yang masih pake minyak telon ke kantor."

"Jangan sombong, Ken," ejek Dini ikut tertawa. "Lo ngomong gitu karena belum nyicipin bibir dia aja. Kalau sudah, kali aja lo yang lebih ganas nerkamnya. Bisa babak belur bibir merah si Digda."

Sialan. Dasar teman-teman kurang ajar. Waktu kecil mainnya pasti di comberan. "Untuk teman-teman seumurnya, Digda mungkin sudah dewasa, tapi untuk gue, dia masih bau pesing bobok dan bekas air susu ibunya."

"Lebih masuk akal bau dada cewek sih daripada ibunya."

"Nyusu ke cewek maksud lo?" Helen terus cekikikan menanggapi Dini. "Nggak mungkin. Dia beneran masih polos. Yakin gue. Kayak laki gue yang syok waktu gue sodorin dada pas malam penganten. Gue sampai takut dia pingsan dan acara belah durennya ditunda. Memalukan banget kalau dia harus dibawa ke IGD dan gue harus cerita ke dokter di sana kronologi peristiwa yang bikin dia semaput."

My Brondong Mistake - TERBITWhere stories live. Discover now