Sungjae menenggak sisa bir di kalengnya sambil melangkah ke luar dari flat. Ia berdiri di koridor yang setengah terbuka itu sambil menikmati pemandangan malam disana. Tidak ada yang spesial, sebenarnya - hanya deretan atap-atap rumah dan jalanan sempit serta beberapa orang yang lalu lalang di sana. Bukan kelap-kelip lampu kota seperti yang ia lihat dari apartemennya yang terdahulu.
“Gadis macam apa, jam segini belum pulang juga?” gumamnya pada diri sendiri. Rupanya ia sedang menunggu tetangganya pulang.
Seperti telepati, matanya menangkap sosok Namjoo sedang berjalan menuju gedung flat. Wajahnya tertunduk dengan langkah yang lesu.
“Ada apa dengannya?” gumamnya kembali.
Pandangannya terus mengikuti langkah Namjoo hingga gadis itu menaiki tangga dan tiba di koridor flat lantai tiga. Sungjae memperhatikan wajah Namjoo dengan lebih seksama. Matanya yang sembab dilingkari bekas maskara yang sudah luruh acak-acakan terkena air mata.
“Hei,” Sungjae menghadang langkahnya. “Kenapa baru pulang? Kau berkencan dengan si Chang itu lagi? Sampai selarut ini?”
Namjoo mengangkat wajahnya dan menatap Sungjae dengan ekspresi datar. “Pergilah. Aku sedang tidak ingin bercanda.”
“Aku tidak bercanda.” Sungjae ikut memasang ekspresi datar. “Ada apa?”
Namjoo tak kunjung menjawab. Kepalanya kembali tertunduk, kini ia terisak. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis hingga bahunya bergetar. Suara tangisannya yang mengeras membuat Sungjae semakin kebingungan. Yang ia bisa lakukan sekarang hanyalah menghampiri dan memeluknya, membiarkan suara tangis Namjoo teredam di dada bidangnya agar tidak membangunkan para tetangga yang sedang terlelap.
-말해-
Aroma bumbu pedas khas teokbokki tercium dari arah dapur Sungjae. Namjoo menunggu dengan setia di ruang tamu sambil mengedarkan pandangannya ke seisi flat. Ukurannya tidak berbeda jauh dengan miliknya, hanya saja disini diisi beberapa furnitur mahal. Mengingat ukuran kamar Sungjae yang luas di kampung halaman, ia heran bagaimana bisa lelaki itu tinggal di flat sekecil ini.
Sungjae segera datang dengan semangkuk tteokbokki pedas di tangannya. Ia meletakkannya di hadapan Namjoo dan menaruh sepasang sumpit di atasnya. Ia tidak bisa memakan makanan pedas dan hanya membuatnya khusus untuk Namjoo.
Gadis itu menatap semangkuk makanan pedas itu lekat-lekat. Sungjae tidak berubah. Sungjae selalu ‘menyumpali’ Namjoo dengan makanan pedas saat gadis itu bersedih dan menangis tersedu.
"Makanlah,” ujar Sungjae singkat. Ia meraih ponselnya dan mengetik pesan singkat. “Aku akan pesan ayam untuk makan malam. Kau mau?”
Namjoo tidak menjawab, hanya menatap Sungjae dengan tatapan kosong.
“Baiklah, kupesankan. Tapi tidak pedas, ya! kalau kau sakit perut, nanti aku repot.”
Namjoo tidak membantah seperti biasa. Ia meraih sepasang sumpit itu dan mulai mencicipi sepotong kue beras bersaus pedas itu.
“Bagaimana? Enak tidak?” sela Sungjae.
Namjoo tersenyum tipis dan mengangguk pelan sambil terus mengunyah. “Kenapa tidak buka kedai tteokbokki saja di Seoul?”
Sungjae tertawa kecil. “Akan kupikirkan.”
Lelaki itu menatap Namjoo yang sedang menikmati tteokbokki-nya dengan lahap. Hingga pesanan ayam gorengnya datang, keduanya membisu dan fokus pada makanannya masing-masing.

KAMU SEDANG MEMBACA
말해; TELL ME
Fiksi PenggemarTentang sepasang manusia yang bersikap seperti dua kutub magnet - memiliki kesamaan rasa, namun justru membuat mereka saling menjauhi. Tapi, benarkah mereka benar-benar saling menjauh? Andai saja dinding keangkuhan dalam hati mereka diruntuhkan, ten...