Chapter 17

84 9 0
                                    

"Surprisee!!" Arum masih terpaku, ia terus saja memperhatikan sekelilingnya.

"Eh eh mau ngapain?" Belum kelar perkataan Tama, Arum sudah terjatuh, untung saja Tama cekatan menangkapnya.

"Gak usah sok-sok an makanya.. udah tau kaki lagi pengkor" Ujar Tama sambil tertawa jahil.

"Songong!" Balas Arum sambil menjitak kepala Tama.

"Yehh.. tinggalin nih." Goda Tama sambil menjauh dari kursi roda Arum.

"Silahkan, kalo tega." Skakmat, Arum yakin kalau Tama tak akan tega meninggalkannya.

"Duh, kok jadi gini sih. Kan harusnya tuh kamu mohon-mohon biar aku gak ninggalin kamu. Dasar Arum manis." Niat hati mau meledek Arum dengan mengubah namanya, Arum justru tersenyum senang, karena Arum manis itu berarti bahwa ia manis.

"Ih ih serem senyum-senyum sendiri. Ayo ah kita masuk."

Mereka pun masuk ke hutan pinus. Sambil mendorong kursi roda Arum, Tama sesekali memotret keindahan alam, hewan-hewan kecil seperti belalang, kupu-kupu, dan beberapa kali ia juga memotret wajah Arum tanpa sepengetahuannya.

Tama bahagia melihat Arum dapat tersenyum, sebagaimana Arum yang ceria. Ya, walaupun setiap saat yang ia sebut hanya Dika. Tak ada Tama sedikitpun dalam hati dan pikirannya.

"Dika fotoin aku dong.. tapi aku mau duduk dan menyandar di pohon pinusnya, gak di kursi roda ini. Aku gak mau fotonya keliatan jelek karena ada kursi roda ini." Tama pun mengikuti kemauan tuan puteri. Ya, Tama memang begitu penyabar. Lagi-lagi ia membalasnya dengan senyuman.

Beberapa spot foto sudah mereka lalui. Sekarang saatnya makan siang. Tama pun membawa Arum ke cafe yang berada di area hutan pinus. Arum memesan sup seafood sementara Tama memesan spaghetti no seafood. Makanan datang, mereka pun menyantap makan siangnya.

Jam menunjukkan pukul 12 tepat. Mereka pun memilih untuk kembali ke mobil dan pulang ke rumah Arum. Tak seperti saat menuju ke hutan pinus, perjalanan pulang kali ini terasa hangat, penuh canda tawa dari keduanya. Tama senang, ia berhasil memperbaiki mood Arum. Ia berhasil membuat Arum nyaman dengan keberadaanya yang senantiasa menjaga Arum.

Tak terasa mereka pun sampai di rumah Arum. Tama membuka pintu dan membantu Arum menduduki kursi rodanya kembali.

"Dika, besok kita main lagi ya." Ujar Arum dengan sangat kekanak-kanakan.

"Siap tuan puteri. Pangeran yang gantengnya maximal ini akan mengunjungimu setiap harinya."

"Eh anak mamah sudah pulang, gimana tadi jalan-jalannya, seru gak?"

"B aja sih ma.. cuma karena sama Dika, jadi luar biasa hehe.." jawab Arum dengan kekehan khasnya.

"Cie cie.. so sweetnya. Nak Tama ayo masuk dulu, tadi tante bikin puding cokelat, cobain yuk.." ajak Mama Arum dengan semangat.

"Yaudah deh kalo tante maksa." Jawab Tama yang dilanjutkan dengan kekehan.

"Kamu sudah makan nak?"

"Udah mah.." Jawab Arum, padahal kepada Tama lah pertanyaan itu diajukan.

"Tapi kok wajah Tama memerah gitu ya?" Tanya wanita itu dengan khawatir.

"Ah aku alergi tan.. biasa ini mah." Selalu tersenyum dan tenang saja, begitulah Tama.

"Alergi apa? Puding?" Ibunda Arum mulai panik.

"Bukan tan, itu.. aku alergi.. seafood." Jawab Tama sambil mulai menggaruk tangannya.

"Seriously? Don't kidding me boy.." muka Arum mulai panik.

"It's not kidding princess.." masih dengan air wajah yang begitu tenang.

"Ouh, sorry Tama, I don't know it." Arum merasa bersalah telah memints Tama untuk mencoba makanannya sewaktu di cafe tadi.

"Don't worry bebs, I'm okay." Terlihat tenang memang, tapi ia terus menggaruk tangannya, dan wajahnya demakin memerah.

"Wait!" Arum segera mendorong kursi rodanya menuju laci.

"Ini obat alergi papah, ayo minum, mukamu makin merah itu."

"Makasih Rum.. andai ini kamu lakukan karena aku, bukan karena Dika."

"What? Ini aku lakuin karena kamu, bukan Dika. I know, I called you DIKA, tapi aku tahu kamu itu Tama, bukan Dika." Seperti kembali ke dunia nyata, setelah beberapa jam dari dunia khayalan, Arum kembali memanggil TAMA. "Lagi pula Dika itu gak alergi seafood, mana mungkin aku ngelakuin ini karena Dika." Tukasnya dengan wajah yang agak sensi.

"Ok ok, aku minum ya bawel." Diminumlah 2 kaplet obat alergi itu.

"Ihh jangan digaruk! Sini tangannya!" Arum mengoleskan minyak kayu putih di bagian lengan Tama yang berbintik-bintik merah.

Moment ini, moment dimana Tama bisa memperhatikan wajah Arum dari dekat dan tanpa ada komentar dari Arum. Tama tersenyum, ia tak henti menggaruk tangannya agar Arum terus mengusap tangannya dan terus mendapatkan perhatian Arum. Tama mengerti seberapa besar cinta Arum pada Dika, terlihat jelas mulai dari ketidakinginannya untuk membuka hati pada Tama, apalagi dengan ia yang selalu menyebut nama Dika, dan kemarin Arum dengan polosnya meminta agar Tama menyetujui jikalau Arum memanggil Tama dengan nama Dika.

Tama tahu bahwa Arum belum bisa melupakan Dika, walaupun Arum sendiri tak pernah menceritakan apapun tentang Dika. Semua itu tak perlu pengakuan dari Arum, semua orang juga mungkin akan menebak kalau Dika adalah mantan pacarnya, orang yang Arum sangat cintai. Karena memang itulah kenyataan.

Sekarang yang dapat Tama lakukan hanyalah mencintai Arum tanpa mengharapkan balasan apapun darinya, dengan Arum yang nyaman dengan keberadaan Tama saja itu sudah lebih dari cukup. Karena dulu, Arum sama sekali tidak ingin berhubungan dalam hal apapun dengan laki-laki. Berteman pun hanya sekedarnya, kalau tidak terpaksa untuk tugas kelompok pun, mungkin Arum tidak akan memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan kaum laki-laki itu.

Ya begitulah Arum menutup dirinya dari laki-laki. Tak ada sedikitpun tempat di hati Arum untuk laki-laki lain selain Ayahnya dan Dika.

~~~~~

Notes :
Haiii..
Assalamualaikum..
Rany mau kasih kabar gembira nih..
Jadiii...
.
.
.
.
.
.
.
.
SUMON
.
.
.
.
.
.
.
AKAN
.
.
.
.
.
.
UPDATE SETIAP HARI..
.
.
.
.
.
.
.
MINGGU
YEAYYY.. 👏👏👏
( Seneng gak sih? *b aja lu lebay banget si author yg satu ini* 😅 )

Don't forget to vote and comment 👍❤

Thanks for you all my readers SUMON 🙏🙏🙏

With Love 💞
-RM-

SUMON (Susah Move On)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang