BAB 22

3.5K 185 9
                                    

"Saya tidak mau tahu."

"T-tapi Bos--"

"Saya tidak mau tahu. Pokoknya kalian selesaikan saja."

"T-tapi Bos--"

Tubuh Elang mengkeret semakin jauh saat tatapan Bos Besar mengarah padanya. "Saya. Tidak. Mau. Tahu." tekannya di setiap kata. "Bisa-bisanya gara-gara rapat sepele ini kalian menahan saya disini hingga 5 jam!"

Suasana ruangan kantor tempat mereka mengadakan rapat semakin lama semakin mencekam. Aura membunuh serasa menguar dari tubuh pria yang tengah duduk di kursi besar itu. Semua karyawan tidak ada yang berani mengangkat kepala, apalagi bersuara.

Hanya Elang-lah yang selama ini berkoak-koak.

Tama mendecak marah, pandangannya lagi-lagi tertuju pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Kalau bukan karena Elang--orang yang ia percayakan untuk mengurus restoran--memanggilnya beberapa saat yang lalu, mana mungkin Tama meninggalkan gadis yang sedang sakit itu seorang diri.

Elang berdeham. "Bos, Anda tidak bisa mengatakan ini rapat sepele. Ada tamu yang ingin menuntut kita gara-gara keracunan makanan. Saya juga ingin complain, Bos sudah terlalu menelantarkan kami padahal kami membutuhkan Bos disini."

Suara terkesiap kaget terdengar dari setiap karyawan yang hadir disana. Ya Tuhan, Elang benar-benar cari mati complain ke Bos ketika mood Bos sedang buruk seperti saat ini! pikir mereka semua.

Padahal mereka tidak tahu, wajah Elang sudah sama pucatnya dengan mereka. Tangannya basah berkeringat, dan Elang mengusapkan ke celana panjangnya setiap 10 menit sekali. Ia mengerahkan segenap keberaniannya hanya untuk menatap mata tajam Bos Besar yang seakan bisa mendinginkan setiap tetes keringatnya.

Duh, Bos nakutin banget, pikir Elang. Apa aku salah sudah memanggil Bos buat rapat disaat mood Bos jelek begini? Jadi pengen nangis.

Suara detik jam dinding bergema di ruangan itu. Tidak ada suara lain yang terdengar, bahkan suara nafas pun tidak. Mata Bos masih menghunjam ke mata Elang, entah apa yang ia pikirkan.

Elang mengepalkan tangannya yang gemetar. Bahkan kakinya juga sudah gemetar saat ini.

Sebenarnya Adhitama adalah Bos yang baik dan pengertian. Tidak pernah ada karyawan yang complain padanya. Ia selalu peduli pada setiap karyawannya, selalu mengajari mereka dengan sabar, dan juga selalu menggaji tepat waktu.

Tapi disaat mood Bos sedang jelek, pria yang baik itu menjelma menjadi malaikat kematian yang bisa membunuh seseorang hanya dengan tatapan matanya. Kalau begini terus, bisa-bisa nyawa Elang sudah melayang dari tubuhnya. Tahu-tahu saja ia sudah terbangun di depan gerbang surga, atau lebih gawatnya lagi, gerbang neraka.

Tama memutuskan kontak matanya dan menghela nafas. Seketika Elang langsung terengah-engah, hidungnya kembang kempis, meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

Sang Bos Besar mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Ketukan yang terdengar seperti ketukan kematian. Elang menelan ludah dengan susah payah.

Harus Elang akui, ia ketakutan setiap kali menghadapi Bos Besar ketika mood-nya sedang jelek. Demi Tuhan, tidak seharusnya ia takut kepada pria itu, umur mereka sepantaran, tidak, bahkan Elang lebih tua daripada pria itu, tapi tubuh besar dan aura kuat yang dipancarkannya membuat semua orang segan padanya.

"Saya akan menelpon sebentar" Pria itu berbalik, mengeluarkan gadgetnya dan menekan beberapa tombol dengan cepat. Kesempatan itu dimanfaatkan para karyawan--yang sebagian besar adalah Chef dan manager--untuk bernafas sejenak, mengelap keringat dan juga merapalkan doa.

Look At Me ✔Where stories live. Discover now