Melenyapkan Mimpi.

261 20 4
                                    


Aku pernah menjadi satu satunya manusia yang selalu hadir di ruang pikiranmu. Dan kau terus mencoba menyambutku dengan riang saat semuanya masih baik-baik saja. Satu hari perpisahan pertemuan, kau katakan sama seperti sewindu rasanya waktu itu. Aku kira kau terlalu berlebihan menilai rasa, dan kau mengira aku yang terlalu kekurangan menimbang rasa terhadapmu.

Padahal sekurang-kurang yang kau nilai tentangku, nyatanya itu selalu lebih di hatiku.


Ada hari dimana kita benar-benar kekurangan kabar. Kutahu kau risau saat itu dan kau mesti tahu juga aku lebih dari takaranmu. Entahlah, waktu musim semi benar-benar merekah pada pertengahan tahun, dan keadaan sebenarnya, aku tiba-tiba merasakan semuanya seperti musim gugur di awal tahun. Saat yang lain merayakan hati yang mekar, aku sibuk menatah hati yang sukar.

Empat hari, lima hingga hari terus menggulung ke pertengahan bulan. Perasaanku semakin merajalela untuk merindumu. Dan keputusanku sudah bulat. Hari itu, aku harus benar-benar menemuimu untuk menjemput rinduku. Kepalaku terus mengajak bermain, membuat pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban sendiri. Kita kekurangan kabar hanya karna kau ingin menguji seberapa patah jika aku kehilangan kabarmu. Itu sebagian jawaban yang tersimpul dari pertanyaan positifku.

Ah, aku ingin berteriak bangga ke atas langit. Tapi nanti saja, tepat di daun telingamu kurasa lebih menyenangkan. Dengan gaya sederhana, aku memutuskan merayakan rinduku-yang kutahu seburuk apapun aku, kau tetap menyukai tampilanku.

Tetapi, ada yang membuat perasaanku runtuh hingga ke dasarnya. Tepat di depan rumahmu, ada seseorang yang berdiri mengenakan jas rapi, hingga tampilan yang jauh dari kata sederhana sepertiku.

Dan, kau... Ya Tuhan, dengan senyum tanpa beban menyambut kedatangannya seperti seseorang yang kau anggap penting selama ini. Celakanya, kostummu seperti sudah benar-benar di persiapkan matang-matang untuk menyamakannya. Kau meringankan kaki untuk pergi bersama pria di depan rumahmu.


Sore itu langit sore berdarah-darah. Seharusnya senja kunikmati berdua bersamamu, tetapi alasan yang tak kuketahui, kau memilih menghabiskannya bersama pria itu.

Mungkin aku tak melihat dengan jelas wajahmu, namun hatimu tak perlu dipertanyakan lagi keadaannya. Tentu saja bahagiamu meletup-letup di dalam sana. Dan, betapa kau bahagia akan semua itu. Namun aku sedih, kau secara tidak langsung menggaris bawahi bahwa aku harus memberi jarak yang benar-benar jauh hingga tak ada yang utuh.

Bukankah kau pernah membisikkan pelan-pelan di daun telingaku saat kita saling mendekap bahwa aku adalah satu-satunya dari semilyar pria di semesta yang sungguh kau ingin Cinta? Ternyata mataku menjadi hakim yang sebenarnya. Dan kini kusimpulkan dia adalah pria barumu.

Belum ada kata perpisahan, tetapi kau sudah mengikrarkan selamat tinggal.
.
.
.
.

__________________________________
Pada kenyataannya kehilangan kabar adalah kata perpisahan yang diam-diam sudah terikrar.


__________________________________































Mengenangmu SeperlunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang