17 : Fading

1.3K 224 9
                                    

Malam semakin larut, tapi cahaya lampu di kamar ini belum juga mati. Sudah berulang kali Aluna mengetuk pintu kamarnya dan meminta putranya itu untuk tidur, tapi tak dihiraukannya.

Gilang masih sibuk dengan pekerjaannya. Akhir-akhir ini dia memiliki banyak pekerjaan karena salah satu rekan kerjanya mengambil cuti dan sebagian pekerjaannya dilimpahkan kepada Gilang. Lagi pula jika dia tidur nanti, dia tidak akan bertemu dengan Lisa.

Sudah hampir satu bulan.

Gilang menghela napas panjang, menutup laptopnya lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi putar. Berputar selama beberapa kali seperti anak kecil hingga matanya tertuju pada sebuah lukisan yang ia buat sendiri.

Ash! Gilang mengacak rambutnya kasar, dia rindu tapi tak bisa bertemu. Berkomunikasi saja tidak bisa. Setiap kali dia mengirimkan pesan kepada Gelar untuk menanyakan Lisa, pesan itu lenyap begitu saja seolah dia tidak pernah ia kirim.

Gilang mendengus pelan, menatap jam dinding bundar yang terbuah dari kayu di atas meja kerjanya. Jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka satu, sementara jarum panjangnya hampir menyentuh angka dua belas.

Ya, dia harus tidur. Walaupun nanti dia diisolasi oleh semesta di tempat entah dimana--setiap malamnya selalu berubah--Gilang masih punya kehidupan nyata besok. Jadi dia memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur dan mulai terpejam.

Kursi taman, jalan setapak dan pohon rindang. Tempat ini familiar baginya. Tak ada suara semesta atau perempuan asing berbaju merah, hanya ada kedamaian di sana. Kaki Gilang melangkah, mencoba menelusuri tempat ini, hingga matanya menangkap seorang gadis berambut hitam legam diayunan.

Gilang tertegun, apa ini mimpi? Ah, dia bodoh jika bertanya seperti itu karena ini memang mimpinya. Tapi jika dia bertanya apa ini nyata, Gilang lebih bodoh lagi karena ini adalah alam mimpinya.

Entah apa namanya itu, tapi jika dirinua tidak salah, gadis itu adalah Lisa.

Setelah sekian lama akhirnya dia bisa bertemu dengan Lisa lagi. Gilang segera berlari kecil, menghampiri Lisa yang duduk sambil berayun-ayun pelan di sebuah ayunan. Tanpa permisi atau bertanya, laki-laki itu segera memeluk gadis itu dari belakang.

"Gue kangen banget sama lo, Elisabeth," bisik Gilang sambil membenamkan kepalanya pada bahu gadis itu, tapi dia justru meronta.

"Woy, gila lo! Lo siapa?"

Gadis itu berteriak dan meronta, jadi Gilang melepaskan pelukkannya. Gadis itu bangkit lalu berbalik menatap Gilang. Benar, dia Lisa. Gilang tidak heran jika Lisa marah-marah seperti ini, tapi setelah beberapa saat menatapnya, ekspresi Lisa tidak juga berubah.

"Lisa..."

Gilang berjalan mendekati Lisa. Dia membuka lebar kedua tangannya, hendak memeluk gadis itu lagi tapi Lisa justru berjalan mundur.

"Lo siapa?" tanya Lisa seraya mengernyitkan keningnya.

"Gue Gilang, Lisa," jawab Gilang, dia tidak heran juga Lisa bertanya karena dulu hampir setiap hari gadis itu bertanya siapa dirinya.

Lalu Gilang mendekat lagi, tapi Lisa juga kembali mundur menjauh.

"Lo siapa?" Dia bertanya lagi dan lagi-lagi Gilang menjawab, "Gue Gilang."

Gilang terus mencoba mendekat, dan Lisa terus menjauh. Pertanyaan yang sama terus dilontarkan oleh gadis itu, awalnya Gilang kira itu biasa. Lalu ia pikir Lisa sedanh bercanda tapi wajahnya itu tidak menunjukkan jika dia sedang bercanda. Hingga akhirnya Gilang lelah.

Laki-laki itu berkacak pinggang, menatap Lisa dengan tatapan aneh. Begitupula gadis itu yang menatapnya asing.

"Lo siapa?"

"Gue Gilang, Lisa," jawab laki-laki itu kesekian kalinya. "Ini udah ke-47 kali gue ngomong ke lo."

"Siapa?"

Gilang menghembuskan napas asal, ini konspirasi semesta yang lainnya. Dia kembali mendekat tapi kali ini Lisa tidak menjauh. Laki-laki itu meraih tangan Lisa, menarik ke dalam pelukkannya dan gadis itu juga tidak memberontak.

"Gue Gilang, Lisa," ucap Gilang lagi, lebih lembut dari sebelumnya. Dia mengusap rambut gadis itu perlahan dan entah kenapa gadis itu merasa lebih tenang. "Lo inget gue kan?"

"Gue tahu lo, gue hapal wajah lo, gue tahu suara lo, tapi entah kenapa gue enggak bisa inget nama lo meskipun lo udah ngomong ke gue berulang kali," ujar gadis itu frustrasi. Dia memeluk Gilang dengan erat, laki-laki yang entah-siapa-namanya bagi Lisa.

Gilang hanya mengusap punggung gadia itu pelan. "Seenggaknya lo masih inget siapa gue meskipun lo enggak inget nama gue, Lis."

Lalu tubuh Lisa mulai pudar, pertanda gadis itu sudah mulai terbangun dari tidurnya. Lisa duduk di atas kasurnya, masih di balik selimut bahkan masih mengenakan piamanya.

"Gue tadi ketemu siapa?"

Dia kembali bertanya, tapi pada dirinya sendiri.

"Gue hapal mukanya, tapi dia siapa?"

Dahi gadis itu berkerut. Mencoba menggali memorinya, tapi semakin keras ia berpikir justru ingatannya justru semakin pudar.

✨✨✨

"Another gift for you, Gilang. Hope you like it."-Semesta.

✨✨✨

20 JUNI 2018

Sampai Jumpa di MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang