BATAVIA 1.17

4.9K 553 8
                                    


"Dewi!"

Segera mungkin aku berlari kembali ke kamar mandi. Dan disitulah aku melihat Dewi bersama tiga tentara Belanda yang dengar erat memegangi tangan Dewi.

"Hei, lepaskan dia!"

Tentara Belanda itu menengok ke arahku secara bersamaan.

"Wui" aku tersentak dan sedikit mundur.

"Siapa itu. Gadis lainnya?"

Mataku terbelalak. Ingin sekali aku lari, namun melihat wajah ketakutan Dewi aku tidak bisa.

"Le-lepaskan dia!"

"Sini, gadis cantik!" tentara Belanda itu malah berjalan ke arahku.

"Lho-lho-lho" begitu tau dia mengincarku, aku segera menghindar.

"Hun! Dia Siwi!"

Yang lain yang mungkin masih setengah sadar(ya, kukira mereka mabuk)nampak mengingatkan. Dengan sekali menyebut namaku, tentara Belanda bernama Hun itu langsung ketakutan.

Namun mungkin dia tak akan diam saja melihatku berdiri menatap tak suka ke arah mereka.

Hun langsung menarikku dan mendorongku ke kamar. Dia menyeringai di ambang pintu, lalu membanting pintunya dengan keras.

Sinar remang-remang dari luar merebas masuk lewat sela-sela geruji halus. Di situlah aku mengintip ke arah Diwi.

Mereka.....
Mereka..

"Dasar!"

Aku berlari ke arah pintu. Mencoba membukanya, namun sepertinya ada penahan di luarnya.

"Dewi!"

Aku berteriak. Namun tenggorokanku sepertinya sudah terlalu kering.

Aku kembali ke jendela itu. Menatap Siwi yang kini sudah berbaring di tanah.

"Tidak!" aku berguman saat salah satunya merobek pakaian yang di kenakan Dewi.

"Tolong!" aku berteriak kencang. Namun tak ada satupun yang terlihat keluar dan membantu Dewi

Aku kembali ke pintu, menendangnya berulang kali. Mungkin saat ini aku ingin menjadi hantu seperti di cerita-cerita. Bisa menembus apapun, bahkan pintu terkunci sekalipun.

Namun semuanya sia-sia. Sekuat apapun aku menendang, sebanyak apapun aku mencoba. Tak akan pernah bisa membantu siapapun, karena aku hanya gadis lemah. Gadis yang sangat lemah.

"Hah...hah...hah"

Nafasku mulai tersenggal. Pandanganku bunyar, dan tanpa kusadari aku sudah terajatuh dia atas lantai.

Semakin menghilang, dan lama-lama benar-benar menjadi hitam sepenuhnya.

"Siwi?"

"Bangun! Sudah pagi!"

"Siwi!"

Suara gadis tersebut membangunkanku. Wajah Dewi menyambutku, dengan senyum tentunya.

Spontan aku langsung duduk dan memegang bahu Dewi. "Hah? Kau baik-baik saja"

"Sebaik yang kau lihat" Dewi menjawab lirih.

Aku melirik ke arah jendela semalam yang aku gunakan untuk mengintip kelakuan koloni tersebut. Kini sudah sesak dengan cahaya matahari pagi.

"Aku melihatnya. Kau tidak baik-baik saja"

Dewi hanya diam. Di sibuk menyisir rambutnya yang basah.

"Dewi, katakan kalau mereka sudah menoda...."

"Iya! Iya, Siwi. Mereka melecehkanku tadi malam. Kau puas?"

Air mata merebas dari kedua pelupuk matanya. Dewi menutup mata dengan kedua tangannya. Tak berani menatapku yang masih melongo tak percaya.

"Tolong aku Siwi! Aku tak bisa di pulang dengan keadaan hamil"

Tangis Dewi semakin menjadi. Tak mau sedikitpun dia menengok ke arahku, mungkin rasa malunya mengalahkan semua.

Aku sedikit mundur. Memegangi kepalaku sendiri dan meringis sedih.

"Hampir semua gadis di sini sudah menjadi korban. Dan sekarang giliranku. Inilah hal lain yang kami kerjakan selain memasakkam mereka"

Aku menatap Dewi prihatin. Ingin sekali aku memeluknya, namun bukan waktu tepat setelah apa yang terjadi.

"Dasar bangsat, bajing...."

"Sudah cukup, Dewi! Tak ada gunanya kau mengumpat, toh mereka juga tak akan dengar"

Dewi melepaskan tangannya dan menatapku penuh rasa ingin di tolong.

Tapi, gadis tiga belas tahun sepertiku ini bisa apa selain menenangkan?

Atau, jangan-jangan. Besok adalah giliranku?

🚧🚧🚧

Hadeh, agak bosen ngetik VOTE+COMMENT, yak!

Jadi mulai sekarang, kesadaran pribadi ya!

See you next week! Ehhh, upss😅

Bubye, blub blub

BATAVIA[Revisi]Where stories live. Discover now