sa-tu

66 5 9
                                    

"Kak, please. Ini tuh cuman salah paham doang" ujar seorang gadis itu, berusaha terlihat berani.

"Halah, alesan! Lu kan yang ngebunuh Mama?! Ngaku aja bangsat!" teriak seorang gadis yang sedang memegang sebuah pisau lipat.

Wajahnya terlihat merah karena amarah yang tidak bisa dipendam lagi.

"Kak, yang ngebunuh tante Yuri bukan ak-"

"Mana ada maling mau ngaku! Sekarang lu harus ngerasain apa yang Mama rasain!" ucap gadis itu sembari berjalan cepat ke arahnya.

Beberapa orang yang ada disana berusaha untuk menahan lengan gadis pemegang pisau itu, tetapi yang mereka dapatkan hanya ancaman agar bergerak mundur.

"JANGAN SENTUH GUE ATAU PISAU INI MELAYANG DI MUKA LO SEMUA!"

Gadis dengan gaun hijau toska itu berusaha menghindar, tetapi kalah cepat karena pisau sudah menancap tepat di bahunya.

Sialnya lagi, gadis pemegang pisau itu mendorongnya sampai kepalanya terbentur pinggir meja hingga berdarah.

Tiba-tiba saja pandangan gadis itu memudar sehingga dia terjatuh ke lantai.

Hal terakhir yang dia ingat hanyalah suara bariton dan sirine ambulance.

Dan seorang lelaki yang mencoba menyadarkannya.

===

Gue mempercepat langkah untuk pergi ke parkiran kampus, dan terlihat disana ada Jung Jaehyun. Kakak tingkat sekaligus kakak kelas gue waktu SMA.

"Lama ya nunggunya?" tanya gue sembari menghampiri kak Jaehyun.

"Eh, Yoon. Engga kok. Gue juga baru nyampe di parkiran"

Bohong.

"Yaudah, mau langsung pulang apa gimana? Atau jadwal kamu hari ini kayak biasa?" tanya kak Jaehyun, mempersilahan gue masuk ke mobilnya dan menjalankan mobil yang sudah menyala sedari tadi.

"Kayak biasa kak, udah normal lagi kok" jawab gue sambil melepas tas yang tidak terlalu berat ini ke pangkuan gue.

"Oke kalo begitu" kak Jaehyun langsung menjalankan mobilnya ke jalur yang biasa dilewati.

===

"Makasih banyak ya kak Jae" ucap gue sambil turun dari mobilnya. Kak Jaehyun tersenyum.

"Yoi, sans aja Yoon. Gue duluan ya" gue melambaikan tangan saat kak Jae menutup jendela mobilnya dan menjalankan mobilnya sampai tak terlihat di pertigaan jalan.

Gue berbalik dan langsung dikagetkan oleh seseorang.

"DOR!"

"HUAA!"

"WKWKWKWKWK, LU KUDU LIAT MUKA LU YOON HAHAHA" gue mendengus kesal saat tahu siapa yang mengagetkan gue.

Dong Sicheng. Sering disapa Winwin.

"Win! Kalo gue jantungan lu mau nolongin gue ha?!"

Winwin menyeka air matanya yang hampir keluar.

"Iye iye ah, maap elah" gumamnya.
"Tapi serius dah, lu harus liat muka lu tadi kek gimana"

"WIN!"

Gue menyerang Winwin dengan mencubit perutnya. Tetapi tawanya semakin keras.

"Lu udah kerja kayak biasa lagi?" tanya Winwin setelah menyelesaikan tawanya tadi.

"Menurut nganaaaa?" tanya gue balik, membuat Winwin memajukan bibir bawahnya.

"Elah, nanya doang ih" katanya.

"Baper amat masnya" ujar gue padanya.
"Gue masuk dulu ya kalo gitu"

"Yodah, gue juga mau pulang dulu" gumamnya dan berjalan menjauh. Dia hanya melambaikan tangannya tanpa menengok ke belakang. Gue memandangi punggungnya yang menjauh sambil tersenyum.

===

"Selamat datang di B&W Café! Ada yang bisa saya bantu?"

Pria di depan gue sedang melihat daftar menu yang tertera.

"Cappucino satu dan Vanilla Latte satu" jawabnya singkat. Gue segera mencatat pesanannya dan membuatkan pesanannya.

"Ini mas" gue memberikan pesanannya, tetapi dia hanya mengambil gelas yang berisi Cappucino. Gue menatapnya bingung.

"Saya yang bayar, untuk kamu" katanya lalu berjalan meninggalkan gue yang masih diam tak mengerti.

"Heh. Istirahat sana. Biar gue yang gantiin" tiba-tiba Vernon datang membuyarkan lamunan gue.

"O-oh oke. Makasih ya, Sol" kata gue sambil memberi apron khusus kasir dan berlalu.

===

"Heh, ngelamun aja"

Kebiasaan Winwin yang tidak pernah hilang. Mengagetkan gue.

"Ih, diem ah" ketus gue, membuat dahi Winwin berkerut, pertanda dia bingung dengan tingkah laku gue hari ini.

"Napa dah? Tumben galak. Biasanya b aja" gumamnya sembari merangkul gue.

"Gaji gue dipotong" kata gue singkat.

"Lha? Kok bisa?" tanyanya. Dia menarik kembali tangannya dan menatap gue.

"Ck, gegara temen kerja gue. Padahal dia yang numpahin pesenan tapi malah gue yang disalahin" jawab gue malas.

"Yaudah sabar aja, tuh dah di depan rumah lu. Pamit yaa" katanya sembari berlalu.

"Win?" panggil gue, membuat Winwin menghentikan langkahnya dan menatap gue.

Gue merogoh saku jaket dan mendapati uang lima puluh ribuan.

"Buat lo"

Dia menatap gue dengan tatapan bingung. Lalu tertawa.

"Heh, udah dibilang gausah elah" katanya. Dia mengambil uangnya dan memasukkannya kembali ke dalem jaket gue

"Tapi gue gabisa selalu ngeliat kalian disakitiin sama orang itu" ujar gue.

Winwin tersenyum lalu menunduk.

"Udah gue bilang kan? Kalo dia gue kasih, lama-lama malah makin ngelunjak. Biarin aja, ntar lama-lama juga sadar sendiri" jelasnya panjang, masih menatap ke arah aspal. Gue menatapnya miris.

"Dong Sicheng.." panggilan itu membuat Winwin mengangkat kepalanya.

Gue mengambil kembali uang dari saku jaket, menarik tangan Winwin dan menaruh uang itu disana.

"Jangan pernah kasih uang ini ke siapapun, termasuk Ibu lo. Kalo bisa pake uang ini buat kebutuhan lo sama adik lo" ujar gue lalu tersenyum.
"Jangan sampe ketauan juga ya"

Akhirnya Winwin menerima uang dari gue itu.

"M-makasih Yoon. Gue gatau harus ngomong apa"

"Cukup dengan gunakan uang ini buat hal baik"

Dia tersenyum. Tapi kali ini berbeda. Senyuman bahagia dan terharu.

"Yaudah sono masuk" gue menurutinya dan masuk ke dalem rumah.

Belum sampai masuk kamar, kamar adik gue terbuka dan menampilkan Yena yang sedang dibopong ayah gue.

"CEPET SIAPIN MOBIL! ALERGI YENA KAMBUH LAGI!"

Gue berlari dan menyambar pintu mobil setelah mendengar empat kata terakhir.

Illusion; JungwooWhere stories live. Discover now