"Mampir beli es krim dulu, yuk?"
Aku tidak langsung mengangguk, tidak juga memberikan penolakan. Kata teman-temanku, wajahku ini kayak koran, alias gampang banget dibaca. Kalau lagi nggak mood, kesal, atau marah, pasti rautnya benar-benar tercetak di wajahku.
Dan sepertinya Radika memang mudah sekali meraba keresahanku setelah aku bertamu di rumahnya.
Salah satu kejelekanku memang tidak bisa menggunakan topeng 'baik-baik saja' setelah melewati hal yang tidak mengenakkan.
"Iya deh, boleh."
Aku manut. Lagi pula, sepertinya Radika memang memiliki hal yang perlu dibicarakan padaku, dan aku pun juga. Jadi, selain melipir sementara untuk memakan es krim sebagai peningkat mood, aku dan Radika akan mengulas lebih jauh mengenai isi kepala kami berdua.
Setelah memesan es krim, kami berdua duduk di meja paling pojok, berharap privasi dapat tercipta dalam konversasi kami.
"Maaf, ya."
Itu bukan Radika yang berucap, tapi memang mulutku.
"Kenapa malah minta maaf?"
Maaf karena tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tuanya? Atau maaf karena apa?
Aku juga tidak tahu mengapa mulutku melontarkan kata maaf.
"Gue jadi bingung. Sebenernya gue dapet restu nggak sih dari orang tua lo?" tanyaku mengalihkan kata maaf yang sempat kuucapkan tadi.
Radika terdiam sejenak. "Lo masih mikirin yang tadi, ya?"
Sebagai jawaban, aku pun mengangguk. Tentu saja. Memangnya hal apa lagi yang bisa membuatku gelisah begini?
"Gue berat ninggalin kerjaan," ucapku jujur. "Ayah udah pensiun, mamah cuma ibu rumah tangga, dan Gian masih sekolah. Jadi, lo pasti ngerti 'kan maksud gue gimana?"
Tanpa aku menjelaskan panjang lebar, Radika mengangguk pelan.
"Kalau nanti setelah kita nikah lo masih mau kerja, ya silakan. Tapi," pria itu menjeda sejenak, "sejujurnya gue lebih pilih lo buat nggak kerja. Gue nggak mau kalau istri gue kecapean. Gue pun ngeberaniin diri buat dateng ngelamar lo tuh bukan spontanitas apalagi tanpa rencana, Sam. Gue udah mikirin hal-hal yang bakalan jadi pertanggungjawaban gue nanti, termasuk urusan keluarga lo juga."
Aku mengernyitkan dahi, agak bingung dengan ucapannya barusan.
"Gimana maksudnya?"
"Untuk uang bulanan orang tua lo, insha Allah gue mumpuni untuk ngasih mereka. Tapi gue juga minta izin untuk ngasih ke orang tua gue. Atau nanti lo sendiri yang ngatur gimana baiknya keuangan kita. Gaji gue bakal gue kasih seutuhnya ke elo semua. Untuk urusan keuangan pasti perempuan lebih jago, 'kan?"
Mendengar penjelasannya tersebut membuat satu beban hatiku menghilang seketika.
"Itu nggak papa?"
"Ya nggak papa, dong. 'Kan kita bakalan jadi suami istri. Uang suami ya uang istri, tapi uang istri tetap uang istri. Gue yakin pengelolaan keuangan wanita tuh lebih baik dibandingkan laki-laki," jawabnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil menyuap es krim.
"Dan untuk masalah kerja tadi, coba dipikirin lagi. Atau mungkin lo boleh coba dulu satu sampai dua tahun di awal pernikahan kita. Kalau lo kuat, ya alhamdulillah. Tapi kalau udah gampang kecapean, tolong jangan dipaksa, ya?"
Yah, aku memang tidak tahu ke depannya bakalan bagaimana, namun kuanggukkan kepala saja sebagai persetujuan terhadap ucapannya.
"Sekarang udah ngerasa lega?"
Aku terdiam sejenak. "Kelihatan banget ya emangnya?"
Pria itu terkekeh. "Di jidat lo tuh kayak ada bendera putih." Selanjutnya tanpa aba-aba, Radika menggenggam tanganku. "Pokoknya lo nggak boleh nyerah, harus maju terus pantang mundur."
"Dih? Kok situ maksa?" balasku dengan nada mengejek.
"Iyalah harus. Masa gue berjuang sendirian? Nikah sama angin kali."
"Ya nikahnya sama yang lain, lah," candaku.
"Kalau gue cuma mau sama lo, gimana?"
"Hah?"
Jelas-jelas aku mendengarnya, namun tiba-tiba saja otakku konslet saat kalimatnya masuk ke dalam runguku.
"Obrolan ditutup, sodaqallahuladzim."
Aku pun tertawa. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal tersebut.
"Eh Radika."
"Eh Samara," beonya dengan nada menjengkelkan.
Aku berdecak. "Ih apaan sih. Orang gue beneran manggil."
"Manggilnya yang bener, baru nanti gue nyautnya juga bener," kilah pria itu, membuatku mendengus sebal.
"Contohnya?"
"Masa perlu diajarin. Coba panggilnya yang lemah lembut, kayak 'eh sayang ...' gitu."
"Idiiiih geli!" Bulu kudukku langsung merinding. "Sorry I am an anti romantic."
Radika pun berdecak. "Belajar dong dikit-dikit sebelum kita berumah tangga."
Aduh. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana mulutku bisa memanggilnya seperti itu. Rasanya malah malu sendiri saat mengucapkannya.
"By the way," aku berusaha kembali ke topik awal yang hendak kubahas, "kalau kita udah nikah nanti, boleh nggak kita tinggal sendiri? Maksudnya nggak tinggal di rumah orang tua. Ngontrak pun juga boleh, kok."
Aku selalu mendapat wanti-wanti dari temanku yang sudah menikah. Katanya, mau sebaik apa pun mertuamu, kalau bisa rumah harus tetap pisah. Privasi rumah tangga harus tetap dijaga dan orang tua atau mertua sebaik mungkin tidak ikut campur mengenai masalah rumah tangga.
"Oh itu, tenang. Alhamdulillah gue udah ada rumah, tinggal diisi furniturnya aja."
Aku jadi melongo sendiri. "Bapak ini ternyata mapan banget, ya?"
Pria itu terkekeh. "Ya kalau nggak gue mana berani ngelamar anak gadis, eh, anak preman ya ini kayaknya?"
Aku mendesis sebal. Dia ini memang senang sekali mengejekku.
"Oh ya, by the way, besok tunangannya Melia, ya? Lo pasti dateng, 'kan?"
Aku mengangguk. Tentu saja, aku 'kan diundang. Tapi mungkin aku nggak bisa lama-lama, soalnya aku ada shift siang.
"Mau dateng barengan?"
Aku langsung menolak. "Jauh, Bapak. Langsung ke sana aja. Lagi pula sebenernya ... Melia juga belum tahu tentang kita. Jadi, dirahasiain dulu, ya, biar surprise."
"Hahaha. Ya udah, terserah lo aja enaknya gimana," balas pria itu sembari menyendok suapan terakhir ke mulutnya. "Terus, pertemuan orang tua kita enaknya gimana?"
Akhirnya muncul juga pertanyaan tersebut.
"Sebenernya, gue pengin pertemuan nanti dibarengin sama lamaran. Gimana? Lo setuju?" lanjut Radika yang membuatku langsung tersedak. "You okay?"
"I am okay," kataku sambil memukul dada pelan. Sepertinya aku mulai memahami sifat Radika yang memang ingin bergerak cepat. "Lo nggak mau pertemuan biasa dulu? Maksud gue ... ngobrol-ngobrol biasa antar keluarga." Tadinya aku mau bilang tanpa lamaran, tapi takutnya Radika malah tersinggung.
Radika malah menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Kepalanya agak sedikit dimiringkan seperti sedang meniti wajahku. "Lo sadar nggak sih, Sam?"
"Apa?"
Aku nggak mengerti pertanyaan yang dimaksudkan olehnya.
"Lo sadar nggak sih kalau lo itu manis?"
Eh?
"Dari tadi kita masuk ke kedai ini, udah ada beberapa cowok yang ngelirik elo."
Jadi, dia memperhatikan itu?
"Dan ketika lo tanya kenapa gue mau cepet-cepet, ya karena gue nggak mau disalip sama orang lain."
[***]
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
RomanceSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.