[26]

555 71 11
                                    

Aku berjengit kaget saat merasakan seseorang yang menyelusupkan jemarinya di tanganku.

"Kenapa? Masih malu-malu aja," kata Radika seakan-akan dia bisa membaca raut wajahku. "'Kan kita udah sah, ya nggak dosa, dong."

Bukan masalah dosa atau tidak, tapi memang akunya saja yang belum terbiasa. Aku sendiri bukan termasuk tipe orang yang mengeluarkan afeksi dengan bersentuhan fisik. Setelah aku dan Radika menikah, rasanya begitu aneh saat mengetahui bila Radika suka melakukan hal-hal tersebut tanpa aba-aba. 

Imbasnya? Meletotlah hatiku. Kalian tahu meletot nggak, sih? Ya pokoknya artinya macam sudah nggak berbentuk gitu deh.

Hari ini aku dan Radika sudah berada di pusat perbelanjaan, membeli bahan makanan untuk stok di rumah. Tahu sendiri isi kulkas seorang pria single seperti apa. Kalau nggak kelng kopi ya botol isi air mineral.

"Lo suka makan apa?" tanyaku setelah aku melepaskan tangan pria itu untuk mengambil troli belanjaan.

"Aku."

"Hm?"

"Pakai aku."

Spontan aku menoleh ke arah Radika, menukikkan salah satu alis sebab aku tak mengerti ucapannya. Pria itu pun menghela napas, melemparkan telepati lewat tatapan matanya yang akhirnya langsung kupahami.

"Emang apa bedanya? 'Kan sama aja," balasku dengan nada skeptis. Masalahnya aku belum terbiasa menggunakan bahasa aku-kamu dengannya.

"Sama mantan aja bisa, masa sama suami aja nggak bisa?"

"Kapan gue ngomong aku-kamu sama mantan?"

Radika mendengus sebal, bahkan bibirnya memberengut. Melihatnya seperti itu membuatku terkekeh pelan. "Ya udah, iyaa. Kamu sukanya makan apa? Hari ini mau aku masakin apa?"

Rasanya aku ingin menampar mulutku sendiri, sebab aku belum terbiasa berucap dengan nada manja nan menggelikan seperti barusan. Tapi ... ini demi Radika, biar suamiku ini nggak ambekan terus.

"Masakin udang asam manis, dong. Kangen banget sama makanan itu. Kamu bisa?"

"Bisa nggak bisa, sih. Dicoba aja. Tapi kalau nggak enak, jujur ya!"

Sejujurnya, aku nggak terlalu bisa masak, sih. Nggak seperti mama yang bisa memasak soto ataupun rawon, aku mah yang standar-standar saja seperti sayur bening dan paling banter juga ayam goreng. Itu pun aku memakai bumbu instan, bukan bumbu ngulek sendiri.

Radika mengelus pelan puncak kepalaku. "Nggak papa, namanya juga belajar. Kamu 'kan istri aku, bukan koki pribadi."

Kalau saja isi kepalaku transparan, mungkin kata salah tingkah akan muncul di jidatku.

***

Aku dan Radika tidak melakukan honeymoon, maksudku tidak dalam waktu dekat-dekat ini. Menyedihkan? Memang. Bahkan kami hanya memili waktu libur dua hari setelah pernikahan berlangsung. Setelah itu? Kami kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.

Sebenarnya, ini lebih karena tuntutan pekerjaanku yang memang sama sekali tidak bisa mengambil cuti seenak jidat. Namun, aku dan Radika sudah membuat perjanjian paling tidak setiap weekend atau setidaknya dalam dua minggu sekali, kami menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan di luar.

Aku dan Radika sudah sampai di rumah. Rutinitasnya jika memang aku kedapatan masuk shift siang, Radika akan menjemputku dan kami pun pulang bersama. Namun, entah kenapa, aku merasa bahwa suamiku itu lebih lesu dari biasanya.

"Capek, Rad?" tanyaku saat Radika memilih untuk merebahkan diri di sofa. Pria itu hanya menggumam saja. "Aku siapin air hangat, ya? Biar nanti tidurnya enak."

Lagi-lagi Radika hanya menggumam. Setelah itu, aku bergegas ke kamar mandi untuk mempersiapkan kebutuhannya dalam membersihkan diri. Sejujurnya, aku juga capek, sih. Cuma, kalau dua-duanya mengeluh, siapa yang mau mendengarkan?

Setelah air hangat untuk Radika sudah siap, aku menghampiri Radika yang hampir terlelap. Kuusap pipinya pelan, lalu memanggilnya dengan lembut. Kali ini aku lebih berani dalam bertindak, dan ini merupakan suatu kemajuan yang berarti untukku. "Rad? Ayo, bangun. Mandi dulu. Jangan tidur."

Radika membuka kelopak matanya perlahan, lalu dia menggenggam tanganku yang masih menyentuh pipinya. Radika menatapku sendu, lalu menghela napas begitu panjang. Pria itu sempat tersenyum sejenak, lalu pada akhirnya mengambil posisi duduk.

"Makasih, Sayang."

Aku mulai terbiasa dengan panggilan itu, tapi hal tersebut tetap saja dapat membuat kupu-kupu dalam perutku berterbangan.

Radika pun beranjak menuju kamar. Kebetulan aku juga sudah menyiapkan piyamanya yang kuletakkan di ranjang. Sedangkan aku memutuskan untuk mandi di kamar mandi lantai satu karena aku juga ingin terlelap lebih awal.

Setelah mandi, aku kembali ke kamar dengan berbalutkan handuk di kepala. Aku memang lebih sering keramas di malam hari supaya keesokan paginya aku tidak perlu melakukannya lagi.

Sekembalinya di kamar, aku melihat Radika yang terduduk di pinggir ranjang sambil memainkan iPadnya. Sedangkan aku memilih untuk mengeringkan rambutku karena tidur dengan rambut basah membuat kepalaku pusing.

"Di kantor lagi ada masalah?" tanyaku untuk membuka obrolan.

"Hm? Sedikit," balas Radika pendek.

"Cerita dong kalau ada masalah. Kamu murung terus dari tadi."

Rasanya aku ingin memotong pendek rambutku karena lumayan memakan waktu juga untuk mengeringkan rambut panjangku ini.

"Biasa, temen kantor. Nggak terlalu penting, sih."

Selesai mengeringkan rambut, aku menghampiri Radika yang sudah menaruh iPadnya di nakas. Tiba-tiba saja, pria itu memeluk pinggangku dan meletakkan wajahnya tepat di perutku. Aku dapat merasakan Radika yang menghela napas begitu panjang. Perlahan, aku menyentuh surainya, mengusapnya dengan lembut.

"Sam."

"Hm?"

Radika mendongak, menatapku dengan netranya yang intens. Hal itu mampu membuat jantungku berpacu lebih cepat, padahal dia sudah sering melakukan hal tersebut padaku. Tapi tetap saja, aku belum bisa menolerir sikap-sikapnya tersebut.

"Kamu udah enggak, 'kan?"

Alisku menukik, tidak mengerti dengan pertanyaan tak jelasnya tersebut. "Hm?"

Radika menghela napas gusar. "Kamu udah selesai, kan? Should we? Can I?"

Tiba-tiba saja Radika beranjak, menyejajarkan netranya dengan milikku. Tangannya mulai menggerayangi pipiku, menuju tengkuk yang membuatku merinding seketika. Jadi ... ternyata ini yang membuatnya sendu sejak tadi.

"Sayang?"

Jantungku kembali berulah, kali ini dia berpacu tiga kali lebih cepat. Ketahuilah, kedua kakiku ini mulai bersikap layaknya jelly; tak kuat lagi untuk sekadar menahan beban tubuh. 

Sebagai seorang istri yang baik ... aku tidak boleh menolaknya, 'kan?

Pada akhirnya, aku mengangguk pelan, mempersilakan dirinya untuk memilikiku seutuhnya; mulai pada detik ini.

***
t

anggung nggak tuh

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang