1 - Suara Azan di Langit Makassar

2.5K 146 57
                                    

Assalamualaikum ....

Terima kasih sudah memilih cerita ini.

Selamat membaca dan semoga betah sampai akhir.

🍁🍁🍁

Bab 1 - Suara Azan di Langit Makassar

Allahu Akbar Allahu Akbar

Allahu Akbar Allahu Akbar

Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah

Asyhadu Allaa Ilaaha Illallaah

Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah

Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah

Hayya' Alash Shalaah

Hayya' Alash Shalaah

Hayya' Alal Falaah

Hayya' Alal Falaah

Allahu Akbar Allahu Akbar

Laa Ilaaha Illallaah

Untuk pertama kalinya ada hal yang mampu membuat Ariani berpaling dari objek yang sedang berada dalam bidikan kameranya; suara adzan itu. Bahkan, dia tidak sadar tengah termenung sepanjang adzan itu mengalun. Semerdu itukah suara sang muazin? Atau memang panggilan shalat itu mulai menjamah sisi liarnya? Entahlah!

Cewek tomboi berkemeja kotak-kotak itu baru saja merasakan dadanya diusap sedemikian lembut. Hatinya ikut bergetar, yang seketika menyalurkan zat tentram ke seluruh pembuluh darahnya. Dia belum pernah merasa sedamai ini, hingga tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat bersamaan.

Meski tidak galak, Ariani bukan tipe orang yang gampang mengumbar senyum. Sikap ambisius menjadikannya teramat serius, dan keseriusan itu membuat wajahnya tampak kaku. Tinggal di negara mayoritas muslim, meski dia bukan muslimah yang taat, tentu saja ini bukan kali pertama cewek berambut short layered itu mendengar azan. Namun ada apa dengan azan barusan? Kenapa seolah mengandung jampi-jampi yang mampu mengunci pergerakannya? Aneh!

Tersadar, Ariani mengedarkan pandangan. Kelana matanya berlabuh pada sebuah puncak menara masjid, di antara pucuk-pucuk pohon dan atap pemukiman, beberapa puluh meter di pojok sana. Tangan kirinya yang bebas dari kamera beranjak meraba dadanya, merasakan sisa degup lembut yang masih berlaga di dalam sana. Rasanya seperti baru saja berpapasan dengan seseorang yang dicintai, meski sebenarnya Ariani sangat jarang jatuh cinta—dia sendiri bahkan lupa kapan yang terakhir.

Mencoba mematahkan keanehan yang masih berusaha dicerna otaknya, Ariani kembali mengarahkan kameranya ke langit yang mulai menghitam, tapi masih dihiasi jejak matahari berupa guratan-guratan jingga yang memesona. Posisinya memang bukan tempat yang tepat untuk menikmati sunset, tapi dua tahun bergabung di Lensa Semesta—komunitas pencinta fotografi—membuatnya peka harus membidik dari arah mana agar objek tampak menarik dalam gambar.

Setelah memperoleh dua-tiga gambar yang dirasa cukup, Ariani memutuskan untuk beranjak. Saat itulah dia bingung. Hari mulai gelap, dia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan perjalanan ke alamat rumah tantenya. Kalau saja ponselnya tidak mati, perkaranya tidak akan sesulit ini. Dia bisa memesan ojek online, atau lebih gampangnya langsung menelepon tantenya untuk menyuruh seseorang menjemputnya. Untuk kesekian kali Ariani mengutuk kecerobohannya yang selalu lupa mengisi daya powerbank-nya menjelang bepergian.

Ini bukan kali pertama Ariani menginjakkan kaki di Makassar. Terakhir ketika dia masih SMP. Sudah lumayan lama. Karena itu, seharusnya dia tidak sebandel ini, menolak dijemput dan minta diturunkan di tengah jalan dari taksi yang dinaikinya dari bandara. Seharusnya dia sudah berada di rumah tantenya, melepas lelah setelah menempuh perjalanan udara dari Yogyakarta. Namun, Kota Makassar ternyata lumayan menarik. Jiwa-jiwa fotografernya seketika bangkit untuk membidik beberapa sudut. Dari kawasan Sudiang, titik dia minta diturunkan tadi, entah sudah berapa banyak gambar yang dia dapatkan.

Semerdu Alunan AzanmuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora