BDL-I

868 75 110
                                    

'Remaja itu berjalan dengan tenang, menatap ke depan.'

Remaja laki-laki dengan perawakan tinggi menyeret koper beroda berwarna hitam, menyusuri tepi jalan beraspal sempit yang ditumbuhi rerumputan di sebelah kanan dan kiri. Kedua kakinya dilangkahkan secara bergantian, mengambil jeda yang cukup lama dari satu suku ke suku lain. Jalanan yang menyilaukan saat itu disebabkan oleh teriknya cahaya matahari yang bersinar.

'Remaja itu tak menghiraukan dua manusia lain yang berdiri jauh di belakangnya.'

Di kejauhan, berdiri seorang remaja perempuan dan wanita paruh baya berambut pendek yang saling rangkul. Keduanya memandang siluet laki-laki dengan tatapan sendu, tetapi tetap tersenyum untuk menunjukkan ketegaran hati. Si wanita menghela napas, matanya terpatri pada laki-laki berkaus putih dan bercelana jeans yang hendak menghilang di cakrawala.

'Remaja itu berkata pada dirinya sendiri bahwa aku pasti bisa melalui semua ini.'

Si perempuan menahan napasnya kuat-kuat dan memejamkan mata, lalu melambaikan tangan kanan ke arah laki-laki berambut hitam seraya berteriak dengan wajah yang ceria. Akan tetapi, bisingnya angin saat itu membuat teriakannya tak dapat terdengar. Meski begitu, remaja laki-laki paham akan apa yang terjadi di belakangnya. Karenanyalah, ia tetap melangkah maju. Memandang ke depan dengan tatapan netra yang mantap.

'Remaja itu pergi meninggalkan kampung, menuju kota di luar sana dan beradaptasi dengan masyarakat baru.'

Angin yang berembus lembut, teriknya cahaya matahari, jalan beraspal yang menyilaukan, rerumputan yang menari-nari, kesemuanya menemani kepergian remaja.

'Remaja itu tidak akan kembali dalam waktu yang lama. Ia akan merindukan teman, lingkungan, rumah, dan keluarganya.'

***

Langit malam penuh bintang bertaburan. Di dalam sebuah rumah, terdapat kamar tidur dengan dinding kayu dan lantai tegel. Seorang remaja perempuan yang memakai baju santai duduk bersimpuh, menghadap sebuah kotak peti terbuka yang isinya berserakan ke mana-mana. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya ke dalam peti mirip penyimpan harta karun, lalu mendapati sebuah buku komik hitam putih yang sampulnya bertulis huruf kanji. Diangkatnya buku itu, diamati sebentar, kemudian dilempar secara sembarangan ke belakang.

"Dari mana Kakak mendapat benda semacam itu?" tanya perempuan berambut sebahu tersebut dengan ketus. Ia bernama Kam Bodia. Kam pun lanjut mengorek-ngorek benda di dalam peti tadi.

Saat menemukan sesuatu, Kam tercengung. Kedua tangannya menggenggam sisi kiri dan kanan benda tersebut, lalu saat diangkat, yang terlihat adalah sebuah kertas setengah lembar, disobek dari buku tulis. Kertas bertulis tangan dari tinta bolpoin itu dipandang oleh Kam dengan heran.

"Puisi!" seru Kam. Ia melipat kakinya ke posisi bersila, kemudian menarik napas panjang dan membaca puisi itu. Nada suaranya amatlah indah dan menarik, bak remaja itu telah terbiasa membacakan puisi-puisi.

Sore yang langka di mana aku dapat melihat dia dari kejauhan

Biasanya aku tak bisa selalu bersamanya, tetapi kini dia berdiri di pinggir tambak

Rambut pendeknya berkibar diterpa angin sejuk, kaos merah yang biasa dia pakai tampak indah sekali

Seperti biasa, dia melakukan kebiasannya yang dia pernah ceritakan

Dia memandang ke kejauhan dengan bosan, melempar kail kemudian menariknya lagi

Seperti telah menghafalkan segalanya, dia merasa jenuh

Bandeng Duri Lunak dan Semangka tanpa Biji (pindah ke Cabaca)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt