BDL-II

363 47 54
                                    

Senja yang damai dengan langit jingga berhias awan-awan kapas. Burung-burung beterbangan kian kemari di angkasa, tampak bagai benda-benda hitam yang berkelebatan.

Di pinggir salah satu tambak yang luas, seorang remaja laki-laki berdiri dengan santai. Kaus merah dan celana hitam pendeknya bergelebar diterpa angin sepoi-sepoi. Ia memandang ke cakrawala jingga. Di genggamannya terdapat kail yang ujungnya telah berada di dalam kolam, dan senar masih tampak melemas.

Remaja berambut hitam pendek itu bergumam, "Ikan-ikan ini, bagaimana ceritanya jika mereka terus-menerus dikembangbiakkan oleh orang-orang?"

Ia menarik kail yang amat panjang, kemudian menangkap kait di ujungnya. Remaja itu mengambil ancang-ancang, lalu melempar sekuat tenaga kailnya hingga umpan berada di tengah tambak.

Remaja itu bergumam lagi, "Dikembangbiakkan terus-menerus dan ditangkap terus-menerus, bagaimana nasib para bandeng-bandeng ini?"

Ia memandang ke umpan kail di tengah. "Berganti-ganti ikan-ikannya. Dari satu periode ke periode selanjutnya, tabur benih–panen, tabur benih–panen, tabur benih–panen, tempat ini tidak bisa mengenali mereka semua. Sungguh malang, malang sekali mereka, mereka tak dapat dikenali seluruhnya. Mereka tak terlihat. Mereka hanyalah ikan ternak. Itu saja, 'kan?" Kepala ia dongakkan, menatap sekali lagi cakrawala berwarna jingga.

***

Kam menyusuri jalan setapak kecil di antara pepohonan tinggi. Cahaya kejingga-jinggaan dari bumantara menembus dedaunan sehingga menghasilkan efek Tyndall. Remaja yang memakai terompah itu melangkahkan kakinya dengan santai, kemudian ia berhenti saat keluar dari hutan.

Pemandangan yang dilihatnya saat itu adalah seorang remaja laki-laki berkaus merah, tengah berdiri di pinggir tambak sembari menggenggam sebuah kail. Pandangan remaja berambut hitam itu kosong, tertuju pada cakrawala di kejauhan, di saat matahari tampak jingga. Dilemparlah kail itu dengan tenaga penuh, sehingga umpan bisa berada di tengah tambak.

"Persis seperti suasana yang dijelaskan puisi Kakak," batin Kam. Ia berjalan menghampiri remaja itu. "Hai, Rasi."

Laki-laki bernama Rasi itu menoleh ke arah Kam, kemudian mengajaknya untuk berdiri di samping. Kam mengangguk di saat ia melangkahkan kaki. Saat telah berada di samping Rasi, ia berhenti. Lalu, kedua remaja tersebut duduk berdekatan di atas tilam rumput.

"Rasi, apa yang kau lakukan di sore begini?" tanya Kam, menatap si remaja laki-laki.

"Karena bosan dan tak tahu apa yang harus kulakukan, dan aku telah memegang kail ini, maka aku iseng saja memancing di tambak orang tuaku, siapa tahu aku dapat ikan."

"Kalau sudah dapat?"

"Kulepaskan lagi," jawab Rasi dengan wajah datar. Kam pun tertawa kecil sembari menutup mulutnya.

"Kau ini—" Baru Kam hendak membalas, Rasi tiba-tiba berdiri seraya memfokuskan kedua mata ke tengah tambak, di mana umpan pada kailnya bergerak-gerak.

Rasi melakukan gerakan cambuk, menarik kailnya sekuat tenaga, lalu mengulur hingga senar pancing terurai panjang dan melengkung-lengkung di atas padang rumput.

Bunyi cipratan air yang lumayan keras pun terdengar, menandakan bahwa bait telah dimakan, dan kini sesuatu—yang kemungkinan besar adalah ikan—sedang menggeliat-geliat mencoba untuk melepaskan diri.

Sesuatu itu, yang ternyata adalah ikan, menggelepar-gelepar di darat, cipratan air pun membasahi rerumputan yang awalnya kering. Adalah ikan berupa bandeng, tetapi tanpa sirip dan ekor. Bola matanya bergerak ke bawah, terpaut pada sosok manusia perempuan yang menatapnya nanar.

Bandeng Duri Lunak dan Semangka tanpa Biji (pindah ke Cabaca)Where stories live. Discover now