🌻 Bagian 3

700 81 43
                                    

Sekolah baru, kebiasaan baru, teman baru.

[Naraya Eliza]
~~~

Raya langsung memutus kontak matanya dengan Danu, cowok di hadapannya saat ini benar-benar keterlaluan. Dengan mudahnya membuat orang lain percaya bahwa dialah yang menyatakan cinta. Kesalahan besar dia mau mengikuti perintah cowok itu.

Bagi Raya ini musibah, tapi bagi Danu ini menyenangkan. Melihat ekspresi marah Raya padanya benar-benar mengemaskan. Raya memang cukup mirip dengan Prila. Apalagi saat kesal seperti saat ini.

"Mau lo apa sih? Lo kira ini lucu, hah?" Raya dengan kasar melempar kertas pembawa sial itu. Danu menatap Raya, tak bisa dipungkiri dia merasa bersalah juga.

Tangannya dengan cepat menahan agar Raya tidak pergi. "Sorry!"

Raya sudah tak peduli, melepaskan cekalan tangan Danu dan pergi dari perpustakaan dengan kesal. Beberapa pasang mata masih enggan berpaling darinya. Termasuk wanita muda yang kini bertugas menjaga perpustakaan.

"Lain kali kalo mau ribut jangan di sini," tegurnya dengan nada sopan dan lembut.

"Baik, Kak. Maaf, karena cowok gila tadi saya lupa kontrol emosi." Raya mejawabnya dengan lantang, membuat Danu menatapnya kesal.

"Woii! Gue nggak gila," sahut Danu masih di tempat yang sama.

"Sekali lagi maaf ya, Kak. Permisi."

Raya berharap cukup hari ini kesialan menimpa dirinya. Tidak adakah orang waras di sekolah ini untuk menjadi temannya?

Langkahnya terhenti kala gadis dengan rambut dicepol menyapanya dengan ramah. Sebuah nama tertulis di seragamnya. Stella Andini. Yang ternyata teman satu kelas Raya juga.

"Lo murid baru tadi, kan? Kenalin, nama gue Stella." Raya menerima uluran tangan yang gadis itu sodorkan. Stella terlihat normal, sepertinya ini awal yang baik untuk harinya.

"Mau ke mana?" tanya Stella lagi.

Raya menghembuskan napas kasar dia sendiri bingung mau melangkah ke mana lagi. Di kelas ada macan kembar, di perpustakaan ada orang gila, tapi di luar ruangan seperti ini, Raya takut kembali bertemu dengan cowok kepedean bernama Saka.

"Lo mau ke mana? Gue ikut lo."

"Boleh, gue mau ke kantin. Yaudah yuk, bentar lagi bel masuk kelas."

Sesampainya di kantin, seperti biasa. Bak singa-singa kelaparan, siswa-siswi SMA Cakrawala melahap makanan masing-masing. Tempat yang cukup luas ini pun rasanya masih kurang menampungnya. Tapi mau bagaimana lagi, alternatif agar tidak terjebak antrian hanya satu cara, bawa bekal makanan sendiri dari rumah.

"Jangan heran, Ray. Kantin emang selalu rame jam segini. Apalagi kalo ada anak bos yang suka traktir anak-anak. Kayak sekarang nih, lihat deh ke arah sana. Itu Sean, dia siswa paling royal di SMA kita. Satu angkatan, dua atau tiga bulan sekali selalu dia traktir."

"Sombong banget, tujuannya apa coba? Gak kasian apa sama orang tuanya yang kerja banting tulang."

"Denger-denger sih bokapnya gak masalahin hal ini. Sean anak tunggal. Tapi asal lo tahu, kelakuannya paling absrud dari keempat temannya yang di sana. Dia pernah ngaku ngehamilin anak orang di lapangan cuma karena main truth or dare sama Saka. Harusnya kan dia bisa nolak, tapi dia malah bangga karena berhasil menyelesaikan tantangannya."

"Siapa tadi yang ngasih tantangan? Saka?" Raya kembali melihat ke arah meja yang tadi Stella tunjukkan. Ternyata benar, di sana ada Saka. Wajar saja tantangannya aneh, yang memberi tantangannya pun menurut Raya lebih aneh.

"Yap, yang lagi mainin bandana pink itu namanya Saka. Cakep kan dia? Salah satu cowok idaman anak cewek di sini terutama Thalita. Anaknya ya gitu, gak kalah absurd dari Sean. Sering bolos, doyan berantem, benci matematika, dan jahil. Dia pernah ngelempar sepatu Bu Pratiwi ke atap kelas."

"Kok lo bisa tahu semuanya sih? Mereka siapanya lo?"

Stella nyengir kuda, menggaruk sebelah pipinya karena malu mengakui sesuatu. "Yang warna kulitnya lebih putih itu pacar gue, namanya Edgar. Dia ketua OSIS tahun lalu."

"Yang alisnya tebel itu siapa? Kayak gak punya semangat hidup. Tatapannya sayu," ujar Raya dengan asal.

"Fallen. Jangan tanya gue tentang dia. Dia orang paling tertutup yang gue kenal. Sampe sekarang kita semua gak tahu dia punya masalah apa sampe sikapnya dingin kayak gitu. Dia cukup misterius."

"Gue akui, persahabatan mereka cukup unik. Sepertinya saling melengkapi kekurangan masing-masing."

"Yaps. Mereka anak band. Namanya bandnya itu 'Garelo Band' unik banget, kan?" Raya hampir saja kelepasan tertawa. Dalam bahasa sunda itu artinya orang-orang gila, sangat cocok dengan pandangannya terhada Saka.

" Oh iya, gue di ajak nge-camp bareng mereka. Ikut yuk, Ray. Nggak jauh kok dari sini. Satu jam perjalanan naik motor. Biar personil cewek nambah. Lo cabang dance, kan? Kebetulan ada beberapa dari mereka juga ikut."

"Gak mau deh. Gue nggak mau berurusan sama cowok dengan nama Saka lagi."

"Jangan bilang lo mulai tertarik sama dia. Please, nggak usah pikirin kehadiran dia. Kita have fun aja. Anggap aja ini permintaan gue sebagai teman baru lo."

"Gue pikirin dulu."

🌻🌻🌻

Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Raya belum juga memejamkan matanya. Menatap langit kamar sambil bermonolog.

"Sekolah baru, kebiasaan baru, teman baru."

"Kenapa harus sekolah itu? Kenapa nggak di tempat lain aja?"

"Kalo aja ayah masih ada. Mungkin gue masih bisa hidup tenang di rumah itu, kalo aja ayah masih ada. Mungkin gue masih bisa enjoy nikmati hari di sekolah lama. Arghhh!"

Raya merubah posisi tidurnya menjadi menyamping, diliriknya foto keluarga yang terlihat sangat bahagia. Foto terakhir sebelum ayahnya meninggal dunia. Liburan semester kemarin, Raya masih bisa tersenyum selepas itu.

"Ayah pernah bilang, nenek nggak jahat. Nenek suka marah-marah bukan berarti gak sayang sama Raya. Tapi ternyata ayah salah, nenek emang beneran nggak sayang sama Raya dan Mama. Buktinya dia ngusir kita berdua."

Pintu kamar terbuka, Raya tersenyum menatap mamanya. "Kamu belum tidur? Udah malam, lampu jangan lupa dimatikan."

"Ini mau tidur kok, Ma."

"Yaudah, good night sayang."

"Too, Ma," jawab Raya.

Jika waktu dapat diulang, Raya ingin memperjuangkan haknya di rumah sang ayah. Bagaimanapun dia adalah anggota keluarga di sana bukan? Selama ayahnya masih ada, semua baik-baik saja. Raya tidak seperti anak muda kebanyakan yang menghamburkan uang dengan percuma ke club malam. Raya tidak boros, Raya hidup sesuai aturan. Tapi kenapa hanya karena masalah belasan tahun lalu, yang harusnya sudah bisa dilupakan, neneknya begitu tega mengusir menantu dan cucunya sendiri.

Seburuk apa pandangan dia terhadap sang mama. Apa kesalahan mama sehingga nenek begitu membencinya. Yang jelas, ada rahasia besar yang Raya belum tahu dengan pasti. Dan Raya tentu ingin tahu.

Kantuk mulai menyerangnya, Raya berdoa dalam hati sebelum tidur. Berharap mimpi buruk tidak hadir mengganggunya. Berharap esok pagi berjalan lebih waras dari hari ini.











My Feeling [END]Where stories live. Discover now