Three

15.4K 1.1K 48
                                    

Hari pun berganti dan untuk pertama kalinya Reon terasa sangat malas berangkat kesekolah. Biasanya ia sangat suka berada disekolah karena hanya di sekolah Reon bisa sedikit melupakan masalah dirumahnya. Ya walaupun disekolah tak sedikit yang mencibirnya namun setidaknya disekolah Reon bisa menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau mendengarkan musik. Ketenangan yang seperti itulah yang Reon butuhkan.

Reon juga terkadang pulang terlambat namun bukan main bersama teman-temannya. Melainkan ia menghabiskan waktunya disekolah atau di cafe dekat sekolah untuk membaca buku saja. Hanya membaca buku. Bagi Reon buku sudah seperti temannya.

Setelah menunaikan kewajibannya Reon bergegas memakai seragamnya. Dengan buru-buru cowok itu turun ke bawah untuk menemui Liana. Dan benar saja saat sudah di dekat meja makan Reon melihat Liana yg tengah sibuk menata piring.

"Pagi ma"

Liana mendongak sebab tingginya hanya sebatas dada Reon saja kemudian tersenyum menatap Reon yang sudah rapi.

"Pagi sayang, ayo sarapan dulu"

Reon mengangguk kemudian duduk dan mengambil nasi beserta kawan-kawannya. Liana pun ikut duduk dihadapan Reon dan tersenyum melihat putranya makan dengan lahap. Meski bukan anak kandung Liana sangatlah menyayangi Reon. Seperti ia menyayangi Dimas.

"Tante Diva gimana ma? Bisa datang kan?"

Senyum Liana langsung pudar mendengar pertanyaan Reon. Reon yang melihat itu pun tersenyum tipis kemudian melanjutkan makannya.

"Mama aja yang dateng Yon" ujar Liana berharap Reon mau menerima usulnya. Liana sama sekali tak keberatan jika harus datang memenuhi undangan itu karena ia juga ibunya Reon. Ia juga bertanggung jawab penuh tentang ini.

"Gak usah ma, biar Reon aja yang urus masalah ini"

"Kamu mau ambil beasiswa itu Yon?"

Reon tersenyum tipis disela kunyahannya kemudian mengangguk. Ini impiannya sejak lama jadi mana mungkin ia menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dengan beasiswa ini juga Reon tak perlu lagi merasa asing dirumah ini, ia akan tinggal jauh di negeri orang, memulai hidup baru, dengan teman-teman baru, dan tentunya dengan suasana yang baru.

Seakan tau pikiran putranya Liana kemudian tersenyum getir.

"Kamu mau pergi karena beasiswa atau masalah dirumah ini?"

Reon terdiam dan menatap Liana dengan tenang tanpa ada keterkejutan.

"Kamu tega ninggalin mama?" tanya Liana lagi seakan tak puas atas keterdiaman Reon. Karena jujur saja baik Dimas maupun Reon, Liana menyayangi keduanya. Tak pernah membedakan keduanya.

"Ada Dimas ma"

"Kalau Dimas ambil beasiswa itu juga?"

"Reon akan tetap pergi dengan atau tanpa izin kalian, ini impian Reon, masa depan Reon, dan Reon yang berhak menentukannya" perkataan Reon yang kelewat tenang itu membuat Liana tak habis pikir. Ia kira Reon akan tetap tinggal saat mengetahui Dimas pergi. Namun kali ini keinginan putranya yang satu ini tidak dapat lagi untuk diganggu gugat.

"Bagaimana dengan Papamu?"

"Dengan atau tanpa izin kalian Reon akan tetap pergi"

Segera Reon menyelesaikan sarapannya kemudian bangkit dan mencium punggung tangan Liana. Bersamaan dengan itu Gerald dan Dimas turun untuk sarapan bersama.

"Reon pamit, Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Tanpa menyalim tangan Gerald, Reon bergegas keluar rumah untuk mengambil motornya. Dan tanpa Reon dan Liana tau, semua pembicaraan mereka didengar oleh Gerald dan Dimas yang baru saja keluar kamar. Mereka yang penasaran akhirnya memilih menunggu dan mendengarkan. Baik Dimas dan Gerald juga sama-sama terkejut atas jawaban yang diberikan Reon pada Liana. Terutama Gerald yang sedari tadi diam dan merasa sesak mendengar ucapan Reon.

¤¤¤¤

Dari kejauhan Reon dapat melihat Liana dan Dimas yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah dengan wajah gembira. Tak ada niatan dalam diri Reon untuk datang menghampiri mereka dan bergabung dalam obrolan mereka.

Dengan cemas cowok itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi giliran dirinya yang harusnya memenuhi undangan itu. Reon berpikir keras hal apa yang harus ia lakukan agar pertemuan ini berjalan dengan lancar dengab atau tanpa adanya Gerald ataupun Liana.

"Permisi kak, Kakak dipanggil Pak Agas disuruh dateng ke ruangan Kepala sekolah" ucap gadis berambut sebahu dengan takut-takut.

Reon terdiam sebentar kemudian mengangguk. Tanpa sepatah katapun ia langsung melenggang pergi membuat gadis berambut sebahu itu tersenyum lega. Langkah Reon kini berhenti tepat di depan ruangan Kepala sekolah.

Menghela nafas sejenak Reon kemudian membuka pintu dan mendapati Pak Agas dan Kepala sekolah tengah berbincang serius.

"Oh Kamu Yon, ayo sini duduk"

Reon menurut dan duduk tepat dihadapan Kepala sekolah dan tepat disamping Pak Agas.

"Mana orang tua kamu?" tanya Kepala sekolah, Bambang Syahputra.

"Maaf pak orang tua saya gak bisa dateng"

Ucapan Reon sontak saja membuat Pak Agas maupun Pak Bambang heran. Pasalnya mereka tau bahwa Reon dan Dimas adalah saudara tiri. Dan Dimas tadi datang bersama ibunya lalu kenapa Reon tidak?

"Bukannya tadi Bu Liana dateng bersama Dimas? Lalu kamu?" tanya Pak Agas

"Papa saya sedang sibuk Pak"

"Mengapa tidak Bu Liana saja yang datang?"

"Saya gak tega kalau mama harus bolak-balik kesini cuma buat saya"

"Kenapa tidak menunggu sebentar saja?" Seakan tak puas akan jawaban Reon, Pak Bambang kembali memberi pertanyaan pada Reon.

"Saya gak mau mama saya nunggu walau cuma sebentar"

Baik Pak Agas maupun Pak Bambang sama-sama menghela nafas kasar. Tatapan Pak Bambang berubah menajam.

"Kalau salah satu orang tua kamu tidak datanga maka beasiswa itu akan kami berikan pada orang lain"

Deg

"Bagaimanapun caranya besok kamu harus datang bersama orang tua kamu! Kalau tidak saya akan mempertimbangkan beasiswa itu. Kamu mengerti Reon?"

Belum sempat Reon menjawab mereka semua menolah saat mendengar pintu dibuka. Reon mematung melihat Gerald berdiri disana dengan jas yang melekat di tubuhnya.

"Pak Gerald, silahkan duduk pak" ucap Pak Agas seraya mempersilahkan Gerald untuk duduk. Tepat saat Gerald duduk dimulai lah pembicaraan serius mengenai beasiswa yang akan diberikan pada Reon. Reon sendiri hanya diam menyimak, cowok itu masih bingung akan kehadiran Gerald disini.

"Baiklah, terima kasih karena Pak Gerald sudah menyempatkan untuk datang memenuhi undangan dari kami"

Setelah saling berjabat tangan, Gerald dan Reon keluar dari ruangan Pak Bambang. Hening. Selama mereka berjalan beriringan tak ada satupun kata yang keluar. Gerald melirik sebentar ke arah putranya yang berjalan dengan ekspresi datar tanpa senyuman sedikitpun.

Gerald akui Reon telah tumbuh menjadi remaja yang tampan sama seperti Dimas. Bedanya Dimas selalu penuh senyum dan tawa namun tidak dengan Reon yang hanya diam dengan ekspresi datar. Jika bersama Dimas akan mudah berbicara apa saja berbeda dengan bersama Reon. Gerald sama sekali tak tau harus mulai pembicaraan seperti apa. Ia ingin namun ia juga tak tau apa yang harus ia bicarakan pada putra kandungnya ini. Putra yang selama ini ia asingkan.

¤¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

Reon (Sudah Terbit) ✔️Where stories live. Discover now