Four

14.5K 1K 119
                                    

Tepat saat diujung lorong Reon menghentikan langkahnya begitu juga dengan Gerald. Posisi Reon kini sudah tepat berhadapan dengan Gerald. Dalam hatinya ia juga bingung ingin mengatakan apa pada sosok yang menjadi ayahnya ini. Terbesit rasa iri dalam hatinya kala membandingkan saat Gerald dengan santai berbicara dengan Dimas sedangkan pada dirinya seakan satu kata pun sulit terucap.

"Kenapa berhenti?" pertanyaan itu sukses membuat Reon sadar dari lamunannya. Reon tersenyum tipis mrnanggapinya.

"Papa ngapain?"

Dahi Gerald berkerut kala mendengar pertanyaan Reon yang terdengar gantung.

"Ikut kesini" timpal Reon kala mengerti kebingungan Gerald.

"Ohh ya cuma mau liat kelas kamu aja" jawab Gerald santai namun sukses membuat Reon mematung.

Memang benar Gerald mengikuti Reon sampai kesini hanya untuk melihat dimana letak kelas putranya itu. Lucu memang saat kita yang merupakan orang tua kandungnya namun tidak tau menau mengenai anak kita sendiri sementara saudara kita yang lain sangat tau mengenai anak kita. Seperti itulah posisi Gerald sekarang.

"Ayo jalan" perintah Gerald namun bukannya jalan Reon justru menatap Gerald dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Kenapa liatin papa kayak gitu"

Lucu. Rasanya Reon ingin tertawa sekarang saat mendengar Gerald menyebut kata "papa" seolah mereka adalah ayah dan anak yang sangat akrab.

"Mau ngapain ke kelas Reon?"

Gerald terdiam bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan dari Reon tersebut.

"Papa minder sama tante Diva karena gak tau kelas Reon?"

Telak. Gerald benar-benar dibuat mati kutu. Senyum sinis tercetak jelas di wajah Reon saat ini dan itu membuat Gerald seperti melihat seseorang didalam diri Reon yang tak lain adalah mendiang istrinya. Dan disaat seperti inilah Gerald benci ada didekat Reon. Sebab beberapa hal yang dilakukannya tak jarang menyerupai mendiang istrinya. Salah satunya senyum itu.

"Papa gak usah minder sama tante Diva, dari awal juga papa emang lebih peduli sama Dimas kan?"

Seusai mengatakan itu Reon berbalik bermaksud kembali ke kelasnya. Namun suara Gerald berhasil menghentikannya namun tidak sampai berbalik.

"Seandainya Vina lebih memilih menggugurkan kamu waktu itu mungkin hidup saya tidak akam serumit ini"

Sakit? Jawabannya iya. Siapa anak yang ingin mendengar ucapan seperti itu? Apalagi kalau diucapkan oleh orang tua kita sendiri.

"Kalau saya juga bisa memilih saya lebih memilih tidak lahir kedunia ini. Dan jika saya tetap lahir saya hanya ingin lahir ditengah keluarga yang menerima saya apa adanya"

Tanpa membuang waktu lagi Reon melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Tanpa ia tau saat ini Gerald menatap punggungnya dengan sendu. Rasanya rumit saat kita ingin memperbaiki keadaan justru memperburuk keadaan lah yang kita dapatkan.

"Maafin aku Vin, maaf karena belum bisa menjadi ayah yang baik untuk Reon" lirih Gerald

Gerald pun berbalik dan berjalan menuju parkiran untuk kembali ke kantor. Menghadapi setumpuk berkas yang akan membuatnya teralihkan sejenak dari masalah yang ada. Setidaknya hanya itu yang bisa ia lakukan.

¤¤¤¤

Bel telah berbunyi lima menit yang lalu. Semua murid SMA Semesta berhamburan keluar kelas. Beberapanya untuk pulang kerumah, mengerjakan tugas bersama teman, ngumpul bareng teman di cafe atau lainnya.

Namun lain halnya dengan Reon yang hanya berjalan sendirian di koridor sekolah. Berjalan sendirian ditengah keramaian. Keramaian yang palsu. Sebab Reon merasakan sepi disini. Bohong kalau ia tidak iri pada beberapa murid yang dilewatinya saat sedang bercanda bersama temannya.

Dan Reon hanya berjalan sendiri. Tanpa ada teman bicara, tanpa ada tempat untuk berbagi. Kaki Reon terus melangkah hingga ia disuguhkan pemandangan yang membuatnya kembali iri.

Didepan sana, tepatnya di dekat pinggir lapangan Dimas tengah tertawa lepas dengan seorang gadis berambut panjang yang juga tengah tertawa. Wajah gadis itu terlihat sangat bahagia. Dan itu menandakan bahwa gadis itu senang berada di dekat Dimas. Satu poin lagi untuk Dimas. Orang tua, teman, dan gadis itu pun milik Dimas. Gadis yang telah ia incar sejak lama. Dan gadis itu tampak senang bersama saudara tirinya itu. Lalu bagaimana dengan perasaan Reon? Merelakannya? Ah ntahlah. Kalau pun harus berjuang Reon tak yakin gadis itu akan memilihnya.

Sebab, dilihat dari manapun Dimas adalah sosok yang bisa membuat gadis itu bahagia. Dimas yang selalu membuat orang didekatnya tertawa dan tersenyum. Berbeda dengan dirinya yang dingin dan membosankan.

Lantas apakah ia harus menyerah sebelum berjuang?

"Lo suka sama cewek itu?"

Sontak Reon menoleh kesampingnya dan mendapati Riko yang entah sejak kapan berdiri disampingnya. Tatapan Riko lurus kedepan menatap Dimas dan juga gadis itu.

"Gue tanya sekali lagi, lo suka sama cewek itu?

"Enggak"

Jawaban singkat Reon membuat Riko berdecak. Cowok itu tersenyum sinis kemudian menatap Reon yang kini menatap lurus kedepan.

"Lo tau kan perbedaan lo sama Dimas itu jauh banget. Dan semua orang juga tau kondisi keluarga lo yang lebih menerima Dimas daripada lo. Bokap lo sendiri juga lebih sayang sama Dimas kan daripada sama lo. Lo juga tau kan kalau Dimas itu punya banyak temen karena sifat dia yang ramah gak kayak lo yang kaku ini. Dari situ seharusnya lo nyadar, bokap lo aja gak nerima lo, temen lo gak punya, jadi untuk gadis itu apa lo yakin kalau dia mau sama lo?"

Hening. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Reon untuk membalas perkataan Riko. Riko tau Reon tengah memikirkan perkataanya. Maka dari itu cowok itu kembali meneruskan ucapannya.

"Kalau sampek cewek itu deket sama lo gua jamin dia gak bakalan betah. Dan kalaupun dia nerima kehadiran lo gue jamin suatu saat dia bakalan bandingin lo sama Dimas. Jadi daripada lo capek-capek berjuang lebih baik nyerah sekarang"

Masih tak ada jawaban. Riko yang melihat itu pun langsung bergegas pergi. Sebelum pergi, Riko menepuk bahu Reon kemudian berbisik,

"Dia gak bakal pernah bahagia sama lo"

Setelah mengatakan itu Riko yang pergi meninggalkan Reon yang termenung memikirkan perkataan Riko tadi. Walaupun Reon adalah seoeang cowok namun ia tetap punya hati. Dan jujur hatinya terasa tercubut mendengar penuturan Riko tadi.

Semuanya benar. Tak ada kesalahan sedikitpun.

Papa dan keluarganya tidak menerimanya, Ia tidak memiliki seorang teman yang dijuluki sahabat untuk tempat berbagi. Lantas apa yang harus ia berikan pada gadis itu? Penderitaan? Mungkin saja.

Dimas mungkin punya segala cerita untuk dibagi pada gadis itu sebab hidupnya sangatlah indah dan berwarna. Lalu Reon? Apa mungkin ia hanya membagi keluh kesah hidupnya yang hitam kelam ini? Bukan membagi senyum atau tawa Reon hanya akan memberikan beban pada gadis itu.

¤¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

Reon (Sudah Terbit) ✔️Where stories live. Discover now