2. Angan-Angan Aneh

54 5 0
                                    

Bab 2

Angan-Angan Aneh

Hari-hari berikutnya sebisa mungkin Leo mencoba agar selalu menempel pada Ana. Dia sengaja membawakan buku yang harus Ana antar ke kantor, membantu membersihkan papan tulis, dan tidak jarang berusaha untuk pulang bareng juga. Minimal sampai gerbang karena arah rumah mereka berlawanan. Doa lebih memilih menahan malu dari sorakan teman-temannya, daripada tidak bisa dekat dengan Ana.

Setiap hari juga Leo melihat Ana berbeda. Kadang tertawa, kadang jadi pendiam, kadang terlihat merenung, kadang sibuk sendiri dengan buku di depannya, kadang melamun.

Saat Pak Guru yang mengajar matematika masuk –siapa lagi kalau bukan Pak Wagimin. Dia membawa lembar tugas siswa di tangannya. Soal yang kemarin Leo dan kawan-kawan sekelas kerjakan.

Leo sedikit was-was. Dia ingat dirinya tak begitu berhasil menjawab soal tersebut. Terlebih dia tak sempat menyontek karena Pak Wagimin hanya memberikan waktu lima menit untuk berpikir di setiap soalnya. Benar, setelah soal, langsung jawab. Lima menit kemudian Pak Wagimin itu akan menyebutkan soal baru lagi. Begitu seterusnya. Tak peduli bahwa sebagian besar siswa belum menyelesaikan soal sebelumnya.

Pak Wagimin berwajah kesal ketika membagi lembar jawaban yang telah diberi nilai merah. Beberapa siswa dia ceramahi habis-habisan. Namun, ketika giliran Ana, dia tersenyum bangga.

Pasti nilainya bagus… batin Leo.

“Leo!” panggil Pak Wagimin.

Begitu namanya disebut, Leo langsung bangkit dari kursinya. Melangkah gugup mendekati Pak Wagimin.

Pak Wagimin berdecak kesal. “Nilai kamu paling parah,” ujarnya nyaring. Tak peduli bahwa siswa lain bisa mendengar ucapannya yang cukup menusuk itu.

Leo hanya meringis. Dia tahu kelemahannya memang di bagian hitung-menghitung. Jadi dia pasrah saja ketika Pak Wagimin melemparkan pandangan kecewa.

“Jangan-jangan kamu tidak memperhatikan Saya?” duga Pak Wagimin itu sambil menatap Leo tajam di balik kacamata tebalnya.

“Saya memang lemah dalam matematika, Pak,” jujur Leo. Dia balas menatap Pak Wagimin dengan tampang memelas.

Pak Wagimin mendesah. “Belajar lebih giat lagi,” nasihatnya. Hanya itu. Mungkin karena dia sudah lelah memarahi siswa nilai rendah sebelum-sebelumnya.

Dalam hati Leo lega. Dia mengangguk lalu kembali kursinya.

Pak Wagimin melanjutkan penjelasan materi kemarin. Tapi Leo sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Matanya, tanpa dia sadari, selalu mencari-cari sosok Ana.

Tuk!

Tutup spidol mendarat di kepala Leo.

“Perhatikan Saya!” teriak Pak Wagimin kesal. “Apa yang bisa kamu pelajari di belakang sana? Sudah nilai paling rendah! Tidak memperhatikan lagi!” sungutnya.

Siswa lain menahan tawa. Leo cuma meringis. Mati-matian dia berusaha menghentikan keinginannya menoleh ke belakang, ke bangku Ana. Jika tidak, entah apa yang akan dilempar bapak itu lagi.

Bagi Leo, detik di kelas itu berjalan sangat lama.

***

Akhirnya, waktu istirahat yang dinantikan Leo dan yang lainnya tiba juga.

Leo memilih berjalan-jalan di koridor. Sekalian mencari sosok Ana yang tidak ada di kelas maupun di kantin.

Pemuda itu mencari Ana ke perpustakaan, tempat yang menurutnya paling disukai orang pintar, tapi tetap tak menemukan Ana di sana. Leo lalu berbelok ke halaman samping sekolah. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang tengah duduk dengan tenang di bawah pohon sambil memandang langit.

Memeluk Asa Karya Orina Fazrina (Imah_HyunAe)Where stories live. Discover now