5. Kisah Suram

63 4 0
                                    

Bab 5

Kisah Suram

Mendung memayungi hari-hari Leo di SMA Persada. Dia tak bahagia meski sikap Ana tak berubah setelah hari itu. Namun, jika Leo menjurus ke pertanyaan seputar perasaannya, Ana akan berdiri dan meninggalkannya tanpa suara.

Teman-temannya, terutama Joko dan Andre penasaran, apa sebenarnya jawaban Ana pada Leo. Saat Leo bilang dirinya ditolak mereka semua tertawa. Namun, melihat keakraban Ana dan Leo mereka jadi curiga kalau Leo berbohong.

Leo membuang napas panjang. Mencoba mengusir kesal sekaligus gelisah yang mendera hatinya. Dia menatap Ana yang sedang merapikan buku pelajaran karena jam istirahat pertama sudah tiba.

“Mau ke kantin, Na?” tanya Leo cepat saat dia sudah berada di samping meja Ana. Ana mendongak dan menggeleng sambil tersenyum.

Leo menunjukan wajah kecewanya sambil duduk di kursi depan Ana. “Padahal mau kutraktir…” sungutnya.

“Maaf…” kata Ana sambil mennyatukan tangannya sebagai isyarat maaf.

“Sekali ini aja,” bujuk Leo dengan nada memohon.

Ana menggeleng tegas sambil tersenyum lembut.

Leo mengerucutkan bibirnya. Detik berikutnya dia tersenyum lebar. “Tapi nanti mau kan pulang sekolah bareng?”

Ana menatap Leo dengan tatapan memohon. Sedang Leo membalas dengan tatapan penuh harap.

“Maaf, Yo,” sahut Ana sambil bangkit dari kursinya.

[Aku ingin lebih dekat denganmu. Tapi kenapa kamu memilih menjauh? Pertanyaan itu sempat terlintas di benakku, Na. Andai aku tahu… betapa beratnya kamu menolakku waktu itu.]

***

Ana memandang langit di atasnya. Dia sekarang duduk di halaman samping sekolah, mencari ketenangan. Sesekali dia membuang napas panjang sembari mengamati teman-teman di sekitarnya. Andai hidupku senormal mereka, batinnya sedih.

Hanya langit, sesuatu yang bisa membuat Ana merasa damai. Baginya, langit tak melihatnya dengan jijik dan benci. Langit pun tak akan berpaling darinya. Ia tetap kokoh di atas. Dengan warna biru dan putihnya yang menenangkan. Dan terkadang Ana membayangkan ibunya ada di langit, tersenyum seraya berkata,‘Kamu lebih kuat dari ibu, Nak’.

Bayangan ibunya berhasil membuat Ana sedikit lebih kuat. Lebih berani menghadapi kerasnya orang-orang di sekitarnya yang tahu tentang masa lalunya.

“Ini pertama kalinya kamu disukai seseorang, kan?” sebuah suara berat dan dingin membuat Ana menoleh. Sosok yang berbicara itu duduk di bangku sebelah Ana, dengan mata yang tertuju pada buku di tangannya. “Kamu pasti ketakutan dia tahu asal-usulmu!” sinis sosok itu.

Ana diam. Memandang dengan wajah sedih pada sosok di sampingnya. Dia tak tahu harus bagaimana meredam amarah pemuda tersebut.

“Kamu pasti berpikir, ‘Kalau dia memang menyukaimu, dia pasti menerimamu apa adanya’. Tapi kamu juga tahu itu mustahil!” sosok di samping Ana tersenyum meremehkan tanpa mengalihkan pandangannya dari bukunya.

Hati Ana serasa tercabik-cabik mendengarnya. Dia ingin akrab dengan pemuda itu. Ingin saling menerima takdir kejam yang menimpa mereka. Namun sepertinya rasa benci lebih menguasai hati teman sekelasnya itu.

Ana memandang sosok di sampingnya lama. “Apakah...” katanya kemudian, “kamu masuk ke sekolah ini hanya untuk membuatku merasa semakin sakit?” Pertanyaan yang sekian lama dirinya pendam akhirnya terlontar juga hari ini.

Cowok itu menyeringai, tetap dengan mata fokus ke bukunya. “Baru sadar?” hinanya. “Kamu pikir bisa kabur setelah menghancurkan kehidupan kami? Tidak akan!”

Memeluk Asa Karya Orina Fazrina (Imah_HyunAe)Where stories live. Discover now