Enam

10.1K 642 7
                                    

Aula sebuah museum di Jakarta penuh dipadati pengunjung. Bukan pengunjung yang khusus datang untuk menikmati koleksi yang di display sebenarnya, melainkan para orang tua yang mengantar anak-anaknya untuk mengikuti lomba cerdas-cermat antar sekolah dasar se-DKI Jakarta.

Para peserta yang mengikuti lomba kali ini sudah lolos seleksi cerdas-cermat antar Kecamatan, dan sekarang mereka mewakili wilayahnya untuk mengikuti lomba tingkat provinsi.

Sudah satu jam yang lalu perlombaan selesai diadakan. Saat ini para peserta dan orang tuanya tengah menunggu pengumuman pemenang yang nantinya akan mewakili provinsi untuk mengikuti perlombaan lanjutan di tingkat nasional.

Anan duduk di barisan ketiga dari belakang bersama ayah dan ibunya. Mereka sengaja datang untuk menemani Nadya yang terpilih untuk mewakili wilayahnya di lomba itu. Sedangkan Nadya duduk di barisan depan bersama guru-guru dan peserta lain.

Ayah Anan menggenggam handycam-nya kuat-kuat ketika panitia mulai menyebutkan pemenang dari lomba cerdas-cermat tersebut. Seakan yakin kalau anak sulungnya akan keluar sebagai pemenang, ayah Anan begitu semangat merekam hingga tanpa sadar dia sudah maju hingga hampir ke depan panggung.

"Dan selanjutnya.. yang kita tunggu-tunggu. Juara pertama untuk lomba cerdas-cermat IPA tingkat provinsi DKI Jakarta, sekaligus menjadi perwakilan di tingkat nasional adalah..."

Backsound di dalam aula langsung berubah, untuk menambah suasana ketegangan yang tengah menyelimuti peserta lomba yang namanya belum disebut. Panitia yang berdiri di atas panggung sana sengaja tidak melanjutkan pengumumannya selama semenit, untuk menambahkan efek dramatis.

"Anandya Mentari Fauzi, dari SD Pelita Juang Cibubur, Jakarta Timur."

Anan langsung loncat dari tempat duduknya. Jejingkrakan sambil berpelukan bersama sang ibu. Ayah Anan langsung mengarahkan camera recordernya ke tempat Nadya berdiri, seakan tidak ingin melewatkan momen anaknya maju ke atas panggung.

Dengan tenang dan percaya diri, Nadya naik ke panggung dan menerima piala serta piagam penghargaan yang diberikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta.

Wajah Nadya begitu tenang untuk ukuran bocah sekolah dasar yang baru saja memenangi kontes cerdas-cermat tingkat provinsi. Baginya, naik ke panggung dengan titel juara bukan hal yang asing. Piala yang sudah dia terima pun sudah tidak terhitung jumlahnya. Ayahnya sampai meyiapkan satu lemari khusus untuk diisi oleh piala-piala yang berhasil Nadya bawa pulang.

"Tari, kamu contoh tuh kakakmu. Dimana juga selalu jadi nomor satu."

Itu lah ucapan ayahnya yang sampai sekarang masih Anan ingat, bahkan selalu tertanam ke alam bawah sadarnya.

***

Jika ada orang yang berharap untuk dilahirkan kembali, pastilah Anantari Purnama Fauzi salah satunya. Bukan berarti Anan tidak mensyukuri keadaan keluarganya, tapi pressure yang ia terima seakan membuatnya ingin meminta sang ayah untuk sebaiknya mencoret saja namanya dari kartu keluarga.

Ayah Anan adalah seorang dokter spesialis pediatri, pria perfeksionis yang menginginkan kedua putrinya sukses tidak hanya di pendidikan, tapi di segala bidang, bahkan kalau bisa mengikuti jejaknya untuk berkarir di dunia medis. Oleh karena itu, sejak kecil, Anan dan kakaknya sudah didaftarkan untuk mengikuti segala macam kursus dan les untuk mengembangkan kemampuan diri mereka.

Anan masih ingat saat ia harus menangis bergulingan di lantai rumahnya hanya untuk meminta ayahnya menghentikan kursus sempoa yang dia ikuti. Anan tidak suka matematika. Dia lebih suka seni dan memasak. Tapi sayangnya, ayah Anan tidak setuju.

Saat di sekolah menegah pertama dan menengah atas, Nadya berhasil menembus masuk ke kelas akselerasi dan mempercepat masa studinya yang seharusnya 6 tahun menjadi hanya 4 tahun. Anan sebenarnya juga mengikuti langkah kakaknya untuk masuk ke kelas akselerasi, tapi hanya saat ia menempuh pendidikan di SMP. Ketika masuk sekolah menengah atas, ia justru lebih memilih menghabiskan masa-masa SMA-nya di kelas reguler. Tentu dia tetap mengikuti tes masuk kelas akselerasi sesuai perintah sang Ayah, tapi entah karena Tuhan yang terlampau sayang kepadanya sehingga mengabulkan doanya agar tidak diterima di kelas itu, atau memang si guru penguji melihat ketidakseriusan Anan ketika menggelar sesi wawancara.

Sebenarnya saat hasil tes tertulis dan tes IQ keluar, guru penguji yang melakukan tes wawancara sudah bertanya berkali-kali kepada Anan, apa yang menjadi motivasi anak itu untuk masuk ke dalam kelas percepatan. Dan Anan dengan entengnya menjawab bahwa dia hanya mengikuti perintah sang ayah dan juga mengikuti jejak kakaknya. Pun ketika ditanya apakah dia ingin diterima atau tidak, Anan justru menjawab 'tidak' tanpa sedikitpun keraguan di wajahnya.

"Hasil tes IQ kamu 180, kamu serius nggak mau diterima?" Tanya si guru penguji kala itu.

"Terserah Ibu. Kalau menurut Ibu, saya pantas, silakan loloskan saya. Tapi kalau nggak, juga ngga apa-apa." Mata Anan menatap lurus ke arah guru penguji.

Lalu ketika pengumuman keluar, Anan justru tersenyum puas karena tidak melihat namanya tercetak di antara 32 nama yang dipajang di papan pengumuman. Tapi tidak dengan ayahnya.

Sepanjang perjalanan pulang, ayah Anan hanya terdiam di balik kemudi. Justru ibunya yang sibuk menghibur diri Anan, mengatakan bahwa belajar di kelas reguler pun tidak berarti lebih buruk dibanding di kelar akselerasi. Sungguh, Anan sebenarnya tidak peduli harus belajar di kelas mana. Kalaupun harus home schooling dan belajar di rumah, Anan juga akan dengan senang hati menjalani.

Rupanya kegagalan Anan justru menyulut niat ayahnya untuk semakin giat menjejali Anan dengan berbagai macam kelas tambahan di luar jam sekolah. Usai belajar di sekolah dari jam 7 pagi sampai jam 2 siang, Anan masih harus pergi ke tempat kursus hingga jam 7 malam. Bimbingan belajar, kursus 3 bahasa asing, sempoa, komputer, melukis, musik, dan lainnya yang membuat jadwal Anan selama satu minggu begitu penuh.

Anan jenuh. Ekspektasi dan pengharapan ayahnya yang begitu tinggi seolah membebani Anan sedemikian rupa, hingga nyaris membuatnya frustasi. Ingin rasanya Anan berpura-pura gila dan depresi agar ayahnya bisa sedikit memberikannya waktu luang hanya untuk sekedar bernapas dan menikmati masa remajanya seperti teman-temannya yang lain.

Bukannya Anan tidak ingin membanggakan orang tua, terlebih lagi ayahnya. Hanya saja Anan ingin membuat ayahnya mengerti bahwa setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap anak berbeda, bahkan yang kembar sekalipun. Anan lelah jika harus terus mengikuti jejak Nadya si serba bisa. Anan tidak sesempurna Nadya. Dia sadar betul akan hal itu. Tapi hanya karena langkah Anan tidak segemilang kakaknya, bukan berarti ia harus dikucilkan atau dinomorduakan oleh sang ayah. Anan lelah terus menjadi bayang-bayang sang kakak. Lelah terus dibanding-bandingkan.

***



Bayangan (TAMAT)Where stories live. Discover now