Tiga Puluh Empat

6.6K 484 6
                                    

Nadya berdiri mematung di depan sebuah restoran bergaya klasik eropa di bilangan Menteng. Dari tempatnya sekarang, dia sudah bisa melihat orang yang beberapa hari ini menghilang dari kehidupannya. Langkahnya terasa begitu berat untuk mendekat, padahal sebelum sampai di sini dia sudah latihan berkali-kali. Melatih segala hal yang akan dikatakannya di depan pria itu. Namun semuanya hilang begitu saja. Tak ada satu pun yang melekat di dalam ingatannya.

Seakan tahu bahwa Nadya sudah sampai di tempat pertemuan mereka, pria itu tiba-tiba menolehkan kepala ke arah pintu masuk, tempat di mana Nadya masih tidak juga beranjak sejak sepuluh menit yang lalu.

Arya tersenyum, kemudian memberikan kode dengan tangannya agar Nadya segera mendekat.

"Apa kabar, Nad?" Tanya Arya begitu Nadya duduk di kursi di hadapannya.

"Masih baik, so far. Kamu?"

"Yaah... aku ya begini-begini aja dari dulu." Arya mengangsurkan buku menu. "Pesen dulu, Nad."

Mata Nadya menatap buku menu bersampul kulit berwarna coklat itu, lalu menggeleng. "Nggak usah, Ar. Aku nggak akan lama."

Dilihatnya Arya menghela napas, sebelum kembali meletakkan buku menu itu di atas meja.

"Gimana sama Anan?" Tanya Nadya, tanpa basa-basi.

Tapi, seakan sudah memprediksi perkataan Nadya, Arya hanya membalasnya dengan senyuman. "Kalo kamu mikir setelah putus sama kamu, aku akan langsung ngejar Anan, kamu salah, Nad. Aku bahkan belum kontak dia sejak pertunangan kita resmi berakhir."

"Kenapa?" Nadya bertanya, antara kaget dan tidak percaya.

Arya mengedikkan bahu. "Takut ditolak, mungkin."

Nadya tertawa. "Seorang Arya Abimanyu, pengusaha muda sukses nan tampan rupawan, takut ditolak cewek? Kamu kalo becanda jangan suka kelewatan, Ar."

"Aku serius. Aku takut kalo dia mikir bahwa dia lah penyebab putusnya hubungan kita."

"Loh, emang iya kan?" Nadya menyahut ringan.

Arya tampak ragu ingin menjawab. Ketara sekali dia sedang memilah kata-kata agar tidak disalahpahami oleh sang mantan tunangan yang sudah dipacarinya selama sebelas tahun itu.

"Ar, aku mau nanya satu hal. Aku harap kamu jujur sejujur-jujurnya. Terlepas dari gimana perasaan aku atau Anan."

Arya yang semula menunduk memandangi kopi americano yang ada di depannya langsung mendongak. "Apa?"

"Selama kita bareng, gimana sih perasaan kamu ke aku? Maksud aku, kamu beneran sayang dan cinta ke aku atau..." Kalimat Nadya menggantung.

"Nad..." Arya menatap Nadya lekat. "Aku nggak pernah main-main sama perasaan aku ke kamu. Aku tulus jalanin hubungan kita selama ini. Aku tulus sayang dan cinta kamu."

Ah, seandainya saat ini hubungan mereka masih sepasang kekasih, Nadya pasti sudah menghambur ke dalam pelukan Arya tepat ketika pria itu menyelesaikan kata-katanya. Tapi mendengar kalimat seperti itu dari seorang mantan kekasih rasanya memberikan efek yang justru kebalikannya. Hati Nadya mendadak perih.

Kalimat yang seharusnya ia terima dengan perasaan berbunga-bunga, justru membuatnya semakin menyadari jarak yang telah menganga di antara mereka.

"Terus kenapa kamu malah milih pergi, Ar? Kalau kamu sayang dan cinta aku, kenapa kamu tinggalin aku? Kenapa kamu milih untuk berhenti?"

"Nad..."

"Rasanya aku mau banget percaya sama ucapan kamu barusan. Tapi kenyataannya kamu justru milih untuk pergi, Ar. Apa sebegitu melelahkannya mencintai aku selama sebelas tahun ini, sampe kamu milih pergi justru di saat kita hampir sampai di tujuan kita?"

"Aku sadar selama ini aku emang terlalu sibuk sama karir dan duniaku sendiri. Aku sering ninggalin kamu sendiri. Tapi pada akhirnya aku selalu kembali lagi ke kamu, kan? Terus kenapa sekarang kamu yang gantian pergi ninggalin aku?"

"Maafin aku, Nad." Arya tampak kehilangan kata-kata.

Nadya membuang muka. Mangalihkan pandangannya dari wajah Arya yang entah kenapa justru terlihat semakin tampan di saat sedang merasa bersalah seperti saat ini. Tidak mudah baginya untuk manahan hasratnya untuk memeluk Arya seperti yang selama ini selalu terjadi setiap kali mereka bertemu.

"Kenapa kamu langsung ngomong ke Papa? Kamu anggep aku apa, Ar? Kamu nggak ada ngomong apa-apa ke aku. Aku pikir kita baik-baik aja. Lalu tiba-tiba Mama bilang kamu nemuin Papa untuk mutusin pertunangan kita. Kamu nggak tau gimana besarnya aku berharap kalau Mama cuma lagi becanda. Kamu nggak tau gimana besarnya aku berharap kalau aku salah denger, atau apalah itu."

"Kenapa kita nggak bicarain dulu berdua, Ar? Kenapa kamu harus langsung nemuin orang tua aku?" Sekuat tenaga Nadya berusaha agar suaranya tetap terdengar normal. "Kamu nggak tau gimana malunya aku, Ar. Kamu yang selama ini aku bangga-banggain ke semua orang, tiba-tiba pergi ninggalin aku gitu aja. Tanpa peringatan atau pembicaraan apa-apa."

"Nad, sekarang gantian aku yang minta kamu untuk jujur. Selama kita bareng, kamu tulus nggak sayang dan cinta aku?" Arya memaku Nadya dengan tatapannya. Mencari-cari kejujuran yang selama ini tidak pernah ia temukan disana.

"Aku.."

"Selama ini kamu jalan sama aku karena emang sayang sama aku, atau hanya untuk kebanggaan kamu sendiri?"

"Ar.." Nadya terbata-bata. "Aku emang nggak serius sama kamu, tapi itu dulu. Awal-awal kita jadian. Tapi sekarang, aku serius sayang kamu. Aku sadar gimana sabarnya kamu ngadepin egoisnya aku. Aku sadar, kalau orang lain, mungkin dia udah pergi ninggalin aku dari dulu. Tapi kamu enggak, Ar. Kamu bertahan dengan segala keegoisan dan kekeraskepalaan yang aku punya. Aku tahu kamu pasti bisa selalu sabar sama aku."

"Itu yang salah, Nad." Arya tersenyum miris. "Itu yang salah dari hubungan kita."

"Maksud kamu?"

Arya mengelus pelan jemari Nadya yang berada di atas meja. Jemari yang selama ini selalu memenuhi ruang-ruang di jemarinya sendiri. "Hubungan kita selama ini cuma satu arah, Nad. Aku yang mati-matian berusaha supaya perahu kita nggak tenggelam, sementara kamu asyik dengan perjalanan kamu sendiri. Aku yang bertahan mati-matian berusaha sepeda yang kita kayuh bersama bisa tetap seimbang, sementara kamu asyik dengan ritme kayuhan kamu sendiri."

"Kalau kamu tanya kenapa harus sekarang, di saat kita udah hampir sampai di tujuan kita, aku jutru semakin yakin kalau keputusan aku untuk pergi adalah yang paling tepat. Kenapa? Karena akhirnya aku tau kalau tujuan akhir kamu cuma sampai di pernikahan. Nggak lebih jauh dari itu. Sedangkan aku berharap kita bisa mengayuh lebih jauh dari sekedar ijab qabul dan resepsi. Aku berharap wanita yang akan jadi istri aku, bisa menyeimbangkan hidup aku. Bukan aku yang lebih berat, atau dia. Tapi sama-sama. Karena bagi aku, suatu hubungan seharusnya dua arah. Sama-sama memberi, sama-sama menerima."

"Dan sepertinya, aku udah terlalu lelah untuk memberi, Nad. Aku udah terlalu lelah untuk bertahan sendiri."

Arya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi setelah menyelesaikan ucapannya. Akhirnya dia bisa mengeluarkan apa yang mengganjal di hatinya selama sebelas tahun ini. Tentang bagaimana lelahnya dia bertahan sendirian. Tentang bagaimana jauhnya dia berusaha mempertahankan.

"Kamu nggak pernah ngomongin ini sebelumnya, Ar."

"Pernah. Tapi bukan ke kamu."

Hati Nadya terasa makin perih ketika satu nama melintas begitu saja di dalam pikirannya. "Anan." Ucapnya, lebih seperti pernyataan, yang anehnya dijawab dengan anggukan mantap dari lawan bicaranya.

"Pada akhirnya semuanya selalu tentang Anan kan buat kamu, Ar?"

Arya menatap teduh Nadya, lalu memberikan senyuman termanis yang ia punya. "Pada akhirnya aku sadar. Selama ini aku pikir hidup aku berputar di kamu. Selalu tentang kamu. Tapi ternyata aku salah. Di hidup yang aku jalani ini, selalu ada Anan. Di saat aku di bawah, Anan selalu siap untuk mendorong aku untuk bangkit lagi. Di saat aku di atas, Anan selalu ada dan ngingetin aku untuk terus berpijak pada bumi. Selalu dia. Bahkan di saat-saat tersulit pun, dia ada untuk mempermudah semuanya."

Dan kali ini, Nadya benar-benar sudah kehabisan kata-kata. Baru kali ini dia merasa kalah di dalam hidupnya, dan itu oleh adiknya sendiri.

***

Bayangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang