Episode Satu

1.2K 28 4
                                    

Bukittinggi, 11 September 1986.

Gundukan tanah itu masih merah dan basah. Di atasnya penuh dengan taburan bunga beraneka warna. Aroma keduanya menyatu, menyesakkan syaraf penciuman Rizal yang duduk bersimpuh di sisi kanan makam. Sementara dari kejauhan senja sudah mulai menampakkan kabut-kabut tipis kegelapan. Bersiap menggantikan sang surya yang mulai tenggelam di ufuk barat.

Rizal terpekur dengan kepala menunduk dalam-dalam. Matanya merah menahan kepiluan yang menyayat hati. Ingin rasanya ia mengikuti perasaan terdalamnya, menangis dalam raungan karena mengetahui dirinya adalah orang terakhir yang mengetahui berita kematian itu. Tapi Rizal malu. Sebagai anak lelaki Sumatera, tabu bagi dirinya terlihat cengeng meratapi sebuah keadaan.

Seperti mimpi rasanya berada di tempat itu. Rizal masih mengingat percakapannya tadi pagi dengan Ustadz Wildan, wali kelasnya.

"Rizal, sepertinya kamu lagi rindu pulang ya? Gimana kalau kamu pulang ke rumahmu sekarang?"

Ba'da shubuh Rizal dipanggil ke kantor pesantren sebelum masuk ke kelas mengikuti pelajaran pagi.

"Sekarang? Memangnya ada apa, Ustadz?"

"Gak ada apa-apa. Hanya ingin memberimu liburan khusus saja!"

Rizal memandang Ustadz Wildan bingung. Matanya menyelidik, mencoba mencari tahu penjelasan yang lebih dalam lewat wajah gurunya yang tenang itu. Tapi gagal. Ustadz Wildan dengan tutur katanya yang lembut tapi tegas tidak menampakkan sesuatu yang mencurigakan.

Pagi itu Rizal mendapat ijin keluar pesantren untuk mengurus kepulangannya ke Bukittinggi. Ustadz Wildan menganjurkan untuk pulang menggunakan pesawat supaya lebih cepat sampai karena jarak Pasuruan-Bukittinggi bukanlah jarak yang pendek. Dengan dibantu Ridwan kakak kelasnya, ia berkelana ke beberapa travel untuk hunting tiket pesawat menuju Padang. Cukup sulit, tapi akhirnya ia mendapatkan satu tiket penerbangan Surabaya-Padang kelas ekonomi pada jam 9.35.

Di Bandara Juanda, Rizal dilepas oleh Ustadz Wildan dan Ridwan. Ia dibekali petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan selepas turun dari pesawat. Ia akan dijemput oleh pamannya di Bandara untuk selanjutnya naik mobil menuju kota Bukittinggi.

Bagi Rizal, itu adalah kali pertamanya ia naik pesawat terbang. Sendirian pula. Rasanya sangat menakutkan dan menyusahkan bagi dirinya yang baru berusia 13 tahun. Tapi rasa penasaran membuatnya tak mempedulikan hal itu. Pun ketika ia harus menempuh waktu dua jam dari kota Padang untuk sampai ke kampung kelahirannya, Balingka.

Ketika Rizal berusaha mengorek keterangan lebih dari pamannya, tak ada informasi apapun yang ia dapatkan tentang 'liburan khususnya' itu.

"Pulanglah dulu!" Paetek Heri hanya berkomentar pendek sambil terus mengemudikan mobil kijang bututnya.

Sore hari Rizal dan pamannya tiba di depan rumah. Tampak tenda besar yang terpasang di halaman dengan banyak orang yang hilir mudik di bawahnya. Di salah satu sudut pagar, terlihat kertas minyak kuning kecil yang diikat di sepotong bambu. Firasat Rizal langsung berbisik kalau terjadi sesuatu pada salah satu orang tuanya.

Ketika turun dari mobil, kedatangan Rizal mampu menghentikan waktu dan membuat semua yang ada di sana memandangnya dengan tatapan iba dan pilu.

"Amak jo adiak 'ang nan baru laia maningga." Suara Apak yang parau menyambut Rizal di teras rumahnya.

Saat itu Rizal tidak bereaksi apapun. Rasa lelah yang mendera dalam perjalanan panjang membuat pikirannya belum sepenuhnya mencerna kata-kata ayahnya. Ia terus melangkah masuk ke rumah dengan diiringi usapan lembut di bahu oleh sanak keluarga yang dilewatinya. Di dalam, Rizal melihat Eva, adik perempuannya sedang tersedu-sedu. Dua adik lelakinya, Khairan dan Ikhsan sedang terdiam dengan mata memerah. Sedangkan Yanti adik bungsunya yang masih berusia dua tahun sedang asik bermain dan tertawa, tidak terganggu sedikit pun dengan keramaian duka hari itu.

Ketika diantarkan mengunjungi sebuah makam, kesadaran Rizal mulai pulih. Kini, terjawab sudah teka-teki 'liburan khususnya' itu. Rizal harus menghadapi kenyataan kalau orang yang paling dikasihi dan disayanginya telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

Rasa sedih, takut, dan penyesalan yang mendalam mulai menguasai tubuh anak yang baru beranjak besar itu. Ibu yang selalu menjadi tempatnya bersandar sudah tak ada lagi sekarang. Padahal, ibulah yang ingin ditemuinya pertama kali saat liburan pesantren nanti dengan berjuta cerita. Ibu yang hampir tiga bulan ini selalu ada diingatannya karena rindu yang menyiksa. Sayang, sosok itu kini sudah tiada. Rizal bahkan tidak sempat melihat jasadnya untuk terakhir kali.

Ibu adalah penguat utama Rizal jika menghadapi ketakutan dan ketidakberanian menghadapi ayahnya. Kini, Rizal harus menghadapi kenyataan bahwa mulai sekarang ia dan adik-adiknya harus menghadapi ayahnya sendirian. Ayahnya yang terlihat kaku, pendiam, dan tegas di hadapan anak-anaknya, juga tak bisa dibantah kata-katanya.

Ada rasa kekecewaan yang tiba-tiba muncul. Kekecewaan pada kenyataan bahwa Rizal tidak diberitahu sejak awal tentang kondisi ibunya yang kritis dua hari sebelumnya.

"Kenapa Apak tak kasih tau si Zal ketika ibu kritis?"

"Apak tidak mau mengganggu belajarmu."

Jawaban Apak membuat Rizal menahan napas, menahan emosi yang ingin meledak saat itu juga. Tapi ia tidak memiliki keberanian untuk meluapkannya.

Ibu mau meninggal dan Apak bilang tidak mau menggangguku? Apa Apak tidak sadar kalau ibu yang melahirkanku sedang dalam kondisi hidup dan mati? Seharusnya sebagai anak pertamanya aku bisa di samping ibu lebih cepat kalau Apak memberitahuku saat itu!

Semakin lama Rizal terpaku di sana, rasa itu semakin memuncak. Rasa penyesalan, kemarahan, kekecewaan, dan ketakutan menggumul menjadi satu di dada. Rizal tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi kematian ibunya. Apakah ia sanggup melalui hidup ini tanpa kehadiran ibu?

Tiba-tiba perasaan itu menyeruak hadir sebagai pelampiasan rasa yang tak mampu terungkap. Aku benci Apak!

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang