Episode Dua

641 18 2
                                    

Hayy el-Sabik, Maret 1997.

Rizal mengayunkan langkah kakinya dengan cepat menyusuri trotoar di sepanjang pemukiman Hayy el-Sabik. Suasananya terasa sunyi dan sepi. Tak tampak kehidupan yang berarti di pagi buta itu. Hanya terlihat sekelompok orang yang berjalan pulang dari shalat shubuh, sama seperti dirinya. Beberapa diantara mereka adalah para mahasiswa dari Indonesia dan Thailand.

Kairo di bulan Maret. Di bulan ini cuaca Kairo masih menyisakan hawa dinginnya. Angin yang berhembus, utamanya di pagi hari, masih mampu membekukan tulang iga. Utamanya bagi mereka yang berasal dari negara tropis seperti dirinya.

Ini adalah tahun keempat Rizal berada di bumi para Nabi. Negara seribu menara. Negara dimana banyak para ulama mendedikasikan ilmunya untuk para pemuda Islam seluruh dunia secara cuma-cuma. Sudah lama Rizal memimpikan ingin kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir. Keinginan yang timbul sejak ia ada di tahun ke-4 pesantrennya. Rizal bertekad akan mewujudkan mimpinya itu. Selepas dari pendidikan Diploma yang diikutinya setelah lulus pondok, Rizal menghubungi kakak kelasnya yang sudah terlebih dulu belajar di sana. Dengan berbekal semangat dan niat yang kuat, Rizal berangkat sendiri ke Mesir dan mendaftar langsung ke kampus impiannya.

Kini Rizal tinggal menuntaskan tahun terakhirnya untuk meraih gelar 'Lc' di belakang namanya. Gelar yang menandakan lulusan strata satu dari negara Timur Tengah. Tapi bukan gelar itu yang menjadi tujuannya menuntut ilmu di Mesir. Rizal ingin mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dari para ulama yang banyak bertebaran di kota ini. Para ulama ini dengan mudah ditemui di masjid-masjid kecil yang ada di penjuru Mesir. Mereka mengajar siapapun yang ingin berguru dengan mereka. Tanpa imbalan apapun.

Rizal mengetatkan jaket coklatnya sambil terus menyusuri kawasan perumahan distrik. Beberapa menit kemudian ia sudah berada di depan bangunan empat tingkat bercat kusam yang ada di sebelah kiri jalan. Bergegas ia menaiki tangga menuju lantai dua imarah itu.

"Inta roga'?" Suara Wahyu menyapa setelah menjawab salam yang diucapkan Rizal ketika masuk rumah.

"Aywa." Rizal berhenti sebentar, menoleh pada Wahyu yang baru keluar dari kamarnya yang ada sebelah kiri pintu masuk, kemudian melangkah ke kamarnya di ujung kanan ruangan.

Wahyu adalah adik kelas Rizal di pesantren. Mereka sudah dua tahun tinggal serumah. Perasaan satu almamater menyebabkan mereka akrab dan dekat. Dengan dua orang senior mereka di pondok, Anam dan Sholeh, mereka menyewa saqah berkamar tiga di distrik Hayy el-Sabik kawasan Nasr City.

Kawasan Nasr City adalah salah satu kawasan pemukiman yang banyak dihuni para mahasiswa Asia yang kuliah di Universitas Al-Azhar. Kawasan ini memiliki beberapa distrik: Hayy el-Sabik, Hayy el-Tsamîn, Hayy el-'Ashr, Hayy el-Tsadits. Distrik-distrik ini sangat populer di kalangan mahasiswa Asia untuk dijadikan tempat tinggal.

Rizal tidak tahu pasti mengapa kawasan ini banyak dihuni oleh Azhariyyun dari Asia. Padahal kampus Al-Azhar untuk banin sendiri terletak di kawasan Husain, agak jauh dari Nasr City. Tapi menurut cerita, hal ini merupakan warisan dari para mahasiswa Indonesia yang duluan menginjakkan kakinya di Mesir. Mereka menempati saqah-saqah di dekat kampus Al-Azhar untuk banat yang memang terletak di kawasan Nasr City. Bisa jadi alasan para mahasiswa saat itu adalah untuk menjaga para mahasiswi yang tinggal di kawasan tersebut, disamping memang ada beberapa kantor administrasi kampus Al-Azhar yang terletak di sana.

Para mahasiswa dan mahasiswi di Kairo bisa terbilang kompak. Mungkin perasaan sebangsa dan setanah air itu yang menyebabkan mereka saling menjaga dan mengayomi satu sama lain. Mereka juga membuat komunitas kekeluargaan sesuai dengan suku, daerah, dan almamater tempat mereka sekolah. Serasa hidup dalam miniatur kecil Indonesia.

ADA CINTA DI HAJAR ASWADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang